Dewan Pers Soroti Dilema Ekonomi Media Digital: Konten Kreator Makin Banyak, Pendapatan Makin Susut
JAKARTA – Ketua Komisi Digital dan Sustainability Dewan Pers, Dahlan Dahi, mengungkapkan paradoks yang dihadapi para kreator konten di era digital.
Dalam Dialog Nasional SMSI Songsong HPN 2024 “Media Baru vs UU ITE”, Dahlan menyoroti strategi platform digital yang justru membuat konten kreator semakin sulit secara ekonomi.
“Makin banyak orang bikin blog, makin murah biaya advertising. Waktu itu publisher paling 100, tapi sekarang tiba-tiba 1000 orang, tiba-tiba 2000 orang, tiba-tiba 3 juta orang,” papar Dahlan di hadapan peserta dialog, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, platform sengaja mendorong sebanyak mungkin orang untuk memproduksi konten agar harga semakin murah.
”Platform mendorong sebanyak mungkin orang untuk memproduksi konten supaya harganya makin murah. Jadi ini paradoks sekali. Makin banyak konten makin murah. Platformnya makin kaya tapi konten kreatornya makin miskin,” tegas Dahlan.
Dia mengilustrasikan pengalamannya di media konvensional yang kini menghadapi kenyataan pahit di dunia digital.
“Revenue per page view dulu berapa, sekarang sudah anjlok ke level berapa dan ini akan terus anjlok. Jadi ini akan ada saturasi di sini,” jelasnya.
Kondisi serupa juga terjadi di platform video.
”Strategi yang dipakai di website sekarang juga dipakai di platform video. Audiens kita di YouTube malah lebih besar daripada di website – ada kurang lebih 42 juta video views per hari. Tapi bukan berarti makin banyak video views makin banyak pendapatan. Enggak. Yang terjadi adalah makin banyak video views makin sedikit pendapatannya,” ujarnya.
Dahlan mengingatkan adanya dua tantangan besar yang dihadapi media saat ini.
“Ada persoalan profitability dalam jangka pendek, tapi ada persoalan sustainability dalam jangka panjang. Toh semua orang didorong untuk memproduksi sebanyak konten sebanyak-banyaknya tetapi harganya menjadi semurah-murahnya,” tandasnya.
Persoalan terbesar, menurut Dahlan, adalah bagaimana membiayai high quality journalism di tengah kondisi seperti ini.
“Dari sisi demokratize, artinya memberi akses kepada semua orang untuk memproduksi informasi, mendistribusikan informasi, ini bagus sekali. Tapi dari sisi bagaimana membiayai high quality jurnalisme, ini menjadi persoalan besar yang perlu kita carikan jawabannya sama-sama,” tegas Dahlan.
Menyoroti status media baru, Dahlan menekankan pentingnya pembedaan antara aktivitas jurnalistik dan praktik pers.
”Hak berserikat dan berkumpul kan dijamin oleh undang-undang. Tapi ada aturannya. Saya rasa tidak boleh ada larangan bagi siapapun untuk mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi. Itu mestinya asasi, mesti diberikan kebebasan. Tapi ketika dia menyatakan diri sebagai pers, nah ini sudah ada persyaratannya,” tutur Dahlan menegaskan kembali.
”Seseorang mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi lalu dia disebut wartawan. Apa bedanya dengan seseorang yang lain mencari, mendistribusikan informasi dan tidak disebut wartawan? Ini basic sekali,” imbuhnya.
Dialog yang diselenggarakan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) ini menjadi platform penting untuk membahas masa depan media digital di Indonesia, sekaligus mencari solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi para pelaku media baru.***

