Fenomena Abu Janda yang Aman Sejahtera Dibawah Lindungan Kakak Pembina
JAKARTA – Di sosial media masih hangat dibicarakan sosok Permadi Arya alias Abu Janda, pegiat media sosial yang dilaporkan ke polisi karena perkara dugaan tindak pidana ujaran kebencian berbau sara. Ia dilaporkan oleh Ketua Bidang Hukum Dewan Pimpinan Pusat KNPI Medya Rischa Lubis karena cuitannya.
Alasan pelaporan ini karena pemilik akun Twitter @permadiaktivis1 diduga telah menghina fisik masyarakat Papua melalui cibirannya terhadap Natalius Pigai eks Komisioner Komnas HAM (Hak Asasi Manusia).
Dalam pelaporan ini, Abu Janda diduga melanggar Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) dan atau Pasal 45 A ayat (2) Jo Pasal 25 ayat (2) dan atau UU Nomor 19 Tagun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP tentang kebencian permusuhan individu dan atau antar golongan (SARA).
Meskipun Abu Janda dan Natalius Pigai dikabarkan sudah bertemu dan sudah berdamai namun kasus pidananya harusnya terus berlanjut dan tidak boleh hilang begitu saja. Bahkan banyak yang berharap Abu Janda segera di tahan oleh pihak yang bewajib untuk dijadikan sebagai tersangka. Karena yang bersangkutan sudah terlalu sering melakukan perbuatan serupa.
Namun harapan publik itu ternyata hanya sia sia belaka. Kedatangannya ke Mabes untuk diperiksa berakhir dengan begitu saja. Yang bersangkutan tetap melenggang seolah olah hukum memang tidak mampu menjangkaunya. Dia sepertinya tetap aman sejahtera dibawah perlindungan kakak Pembina yang selama ini menaunginya.
Bukan Yang Pertama
Bukan sekali ini saja Abu Janda dilaporkan ke polisi karena ulahnya. Sebelumnya sudah berkali kali ia dilaporkan karena diduga menghina tokoh dan menghina islam lewat cuitan dan pernyataan pernyataannya.Tercatat Abu Janda pernah dilaporkan oleh Alwi Muhammad Alatas merupakan Anggota Majelis Taklim Al-Munawwir Bekasi ke Polda Metro Jaya.
Ia dilaporkan karena menyebut bendera tauhid bukan bendera Nabi, namun bendera teroris yang menjadi musuh semua agama. Perkara yang dilaporkan adalah ujaran kebencian dan penodaan agama namun hingga kini tidak jelas bagaimana tindaklanjut dari kasusnya.
Pada 2018, Abu Janda pernah dipolisikan juga karena menyebut Aksi Bela Tauhid sebagai aksi politik terselubung melalui sosial media. Abu Janda dilaporkan oleh seorang guru asal Jakarta bernama Mintaredja ke Bareskrim Polri karena tuduhannya. Pelapor menilai Abu Janda telah menyebar berita bohong dan fitnah terhadap islam sebagai agama.
Setahun kemudian yaitu tahun 2019, Abu Janda juga dipolisikan karena menyebut Islam sebagai Agama Teroris. Dia dipolisikan ke Bareskrim Polri oleh Ikatan Advokat Muslim Indonesia. Mereka menilai, ucapan Abu Janda tersebut merupakan ujaran kebencian karena dia menyebut teroris punya agama dan agamanya adalah Islam. Namun hingga saat ini kasus itu hilang tak ada kabar beritanya
Abu Janda juga pernah dipolisikan oleh Ustaz Maaher At-thuwailibi atau Soni Eranata yang baru saja meninggal dunia. Maaher melaporkan balik Permadi Arya alias Abu Janda ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik pada dirinya. Maaher menilai Abu Janda menuduhnya sebagai tukang fitnah pada hal tidak ada buktinya.
Bukan hanya Ustad Maaher saja yang melaporkan Abu Janda, Sultan Pontianak ke IX Kalimantan Barat, Syarif Machmud Melvin Alkadrie juga pernah melaporkannya. Ia mempolisikan Abu Janda atas dugaan pencemaran nama baik di sosial media. Sultan Syarif mempolisikan Abu Janda di Polda Kalimantan Barat (Kalbar) pada Juli tahun 2020 lalu dengan dugaan pencemaran nama baik dan penghinaan, yang dilakukan Abu Janda.
Sangat Berbahaya
Laporan laporan anggota masyarakat atas tindakan Abu Janda ke aparat kepolisian hampir semuanya kandas karena tidak jelas seperti apa tindaklanjutnya termasuk laporan yang diadukan oleh KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Pada hal apa yang dilakukan oleh Abu Janda itu sangat berbahaya. Dalam kasus penghinaan terhadap Pigai misalnya, tindakan Abu Janda itu bisa memecah belah persatuan bangsa karena semua warga Papua akan merasa terhina dengan pernyataannya.
Karena itu wajar kalau banyak tokoh kemudian mengecam aksi aksi yang dilakukan oleh Abu Janda. Sebagai contoh Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengecam pernyataan Abu Janda. Menurutnya, ucapan Abu Janda merupakan tindakan rasis dan kepolisian harus segera menindaklanjutinya.
“Polisi harus segera menyikapi kasus rasisme maupun agama yang dilakukan oleh Abu Janda, karena ini jelas-jelas hate speech berbau SARA, jadi polisi harus tangkap. Ini jangan sampai dibiarkan karena bisa menciptakan konflik dan perpecahan,” kata Sahroni, Jumat (29/1) seperti dikutip media.
Bagi Sahroni, tindakan tegas dari Polisi untuk kasus Abu Janda penting untuk menimbulkan efek jera.”Penindakan atas Abu Janda oleh kepolisian ini dibutuhkan untuk memberikan efek jera. Saya, tak ada lagi pihak-pihak yang menggunakan isu rasis maupun agama di masyarakat,” tambahnya. Lebih lanjut, dari kasus Abu Janda, Sahroni berharap tak ada lagi pihak yang sembarangan menghina seseorang atas dasar rasisme maupun agama.
Selain Sahroni, diketahui, tokoh nasional lainnya telah bereaksi menyikapi kasus Abu Janda di antaranya tokoh MUI Anwar Abbas, bahkan Mantan Menteri KP Susi Pudjiastuti mengajak un-follow akun Abu Janda.
Wajar kalau banyak tokoh bersuara karena apa yang dilakukan oleh Abu Janda menyangkut nasib bangsa yang terancam terbelah karena ujaran kebencian dan penghinaan berbau Sara. Bahkan secara umum sikap dan perilaku Abu Janda bisa mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. Keberadaan Abu Janda sebagai buzzer atau pendengung sangat mungkin menutupi permasalahan yang seharusnya diselesaikan pemerintah yang sekarang berkuasa.
Karena keberadaan buzzer seperti Abu Janda ini akan mengarahkan percakapan dan opini publik sesuai misi dan tujuannya. Kalau informasi dan opini sudah diarahkan, maka publik tidak lagi bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah karena informasi yang disebar sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Bahayanya, publik bisa tidak mengetahui problem besar apa yang terjadi di Indonesia karena berusaha ditutupi atau dikamuflase sedemikian rupa sehingga tidak diketahui fakta yang sebenarnya.
Bentuk bentuk pengiringan opini yang dilakukan oleh buzzer seperti Abu Janda cs bisa dalam bentuk hoaks, fitnah, membiaskan informasi hingga propaganda. Sebagai bentuk penggiringan opini, maka buzzer bisa mengalihkan fokus perhatian publik terhadap masalah utama bangsa. Sebagai contoh maraknya korupsi yang menguras keuangan negara akhir akhir ini bisa luput dari perhatian publik karena ada buzzer yang berusaha mengarahkan fokus perhatian pada masalah teroris, isu larangan jilbab atau masalah lainnya.
Contoh lain ketika banjir besar melanda Semarang, di media sosial nampak sepi sepi saja karena hampir tidak ada kelompo buzzer yang meramaikannya. Berbeda halnya dengan banjir yang melanda Jakarta yang ramai dengan cuitan menyerang Gubernur DKI Jakarta. Pada akhirnya ketika masyarakat teralihkan dari masalah utama bangsa karena dibelokkan informasinya oleh para buzzer maka yang terjadi kemudian adalah hilangnya kontrol masyarakat kepada penguasa sehingga penguasa bisa melakukan kebijakan yang menyimpang tanpa halangan suatu apa karena tidak ada yang mengontrolnya.
Para buzzer bisa juga melakukan pembelaan membabi buta pada kebijakan salah yang diambil oleh pejabat yang di dukungnya. Yang dicari kemudian bukan kebenaran tapi pembenaran dengan argumentasi yang diupayakan masuk akal supaya dapat diterima oleh pihak yang dijadikan sasarannya.Pendengung atau buzzer pendukung pemerintah bisa menghalangi proses demokrasi karena para buzzer akan menghalau kritik yang disuarakan masyarakat kepada pemerintahannya.
Tokoh nasional DR. Rizal Ramli mengatakan, para buzzer kerap membuat narasi yang tidak beretika dan mengarah pada body shaming terhadap masyarakat yang kritis, serta memuat konten yang berisi kebohongan alias dusta. Menurutnya, para buzzer politik itu telah menghadirkan ilusi, memabrikasi kebohongan demi kebohongan, memecah belah anak bangsa, dan akhirnya hanya akan merusak pondasi demokrasi di Indonesia. “Mereka tidak banyak, tetapi ulah mereka sangat berbahaya,” katanya.
Sementara itu Ketua YLBHI Asfinawati menyatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah dengan isi tergantung orderan yang diterimanya . Menurutnya, dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi, bahkan bukan hanya menurunkan tetapi telah menjadi penyakit demokrasi karena bisa melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan alias dusta.
Adanya buzzer di era pemerintah Jokowi ini bahkan mampu membuat tokoh nasional seperti Kwiek Kian Gie merasa takut memberikan alternatif pemikiran kepada pemerintah yang berkuasa.
Kwik khawatir usai mengemukakan pendapat berbeda dengan rezim akan langsung diserang buzzer di sosial media. Pernyataan itu diungkap Kwik di akun Twitter pribadinya, @kiangiekwik. Menurutnya, pendapat berbeda yang diutarakan bukan untuk menyerang, melainkan memberi masukan alternatif yang mungkin bisa digunakan oleh pemerintah yang berkuasa.
“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil,” kata Kwik seperti dikutip pers, Senin (8/2).
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid itu kemudian membandingkan saat dirinya menyampaikan kritik saat Soeharto berkuasa.Kwik mengaku leluasa melontarkan kritik ke rezim Orde Baru di kolom Harian Kompas. Menurutnya, kritik yang dirinya sampaikan saat itu juga tergolong tajam, “ tapi .tidak sekalipun ada masalah,” ujarnya.
Di negara komunis seperti Rusia, dan juga China, buzzer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda.Tugasnya menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah yang berkuasa. Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritiknya.
Dengan demikian keberadaan buzzer sesungguhnya bukan ciri dari negara demokratis melainkan komunis dimana informasi dicengkeram pemerintah, hukum yang menjadi alat kekuasaan, serta lawan-kawan politik yang dibungkamnya. Adu domba pun dilakukan serta opini publik dimainkan sedimikian rupa untuk kepentingan penguasa.
Menurut Rizal Ramli, buzzer di Indonesia memang disengaja dipelihara oleh pemerintah yang berkuasa.“BuzzerRP menghadirkan ilusi, mempabrikasi kebohongan demi kebohongan, memecah belah anak bangsa, dan akhirnya merusak fondasi demokrasi. Mereka dipelihara oleh kekuasaan. Cc @jokowi Mas @Dr_Moeldoko,” tulis Rizal Ramli dalam akun Twitternya, Jumat (5/6/2020).
Rizal Ramli mengaku, sebagai mantan Menko Kemaritiman tahun 2015 (periode pertama Presiden Jokowi), dirinya mendapat serangan dari pendukung Joko Widodo di media sosial denga tiga kata.“Ketika buzzerRP hanya punya 3 kata untuk menyerang RR: nyinyir, pecatan, tua — susah untk tidak menduga IQ mereka
Wajar kalau buzzer seperti Abu Janda c situ dipelihara karena bisa dipakai untuk mengokohkan atau membangun pencitraan dan untuk menghancurkan lawan lawan politiknya.Buzzer akan terus dipelihara untuk mengcounter serangan serangan dari para pengkritik pemerintah yang bertebaran di sosial media.
Para buzzer itu bisa saja akan berhenti bekerja kalau dikecewakan oleh pihak yang telah merekrutnya. Para buzzer yang kecewa itu bisa juga melakukan eksodus untuk berbalik arah menyerang penguasa yang di dukungnya karena biasanya memang tidak ada idiologi perjuangannya melainkan hanya kepentingan pragmatis semata.
Aman dan Sejahtera
Sejauh ini kehidupan para buzzer khususnya Abu Janda nampak aman aman saja dan sejahtera hidupnya. Biarpun berkali kali dilaporkan ke pihak berwajib namun tetap saja bisa berkeliaran bebas tidak ditahan sebagai tersangka. Ia tetap aman aman saja menjalankkan aksinya.
Fenomena Abu Janda cs yang terkesan kebal hukum ini telah membuat aktifis yang selama ini kritis kepada pemerintah ikut buka suara. Jonru Ginting misalnya pria yang pernah dipenjara 18 bulan karena kasus ujaran kebencian ini menganggap para buzzer Rp itu tak ubahnya binatang dan kebal hukum, demikian pernyataan sarkasme di akun twitter milik pribadinya.
Selain aman aman saja, para buzzer seperti Abu Janda c situ rata rata sejahtera hidupnya bahkan sering terlihat jalan jalan ke mancanegara. Lewat video yang banyak beredar di sosial media, Abu Janda sendiri mengaku kalau dia digaji dengan nominal yang cukup besar pada saat Pilpres yang dimenangkan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Selain gaji bulanan, selama kampanye dia ikut keliling ke berbagai kota di Tanah Air, bahkan hingga ke mancanegara. “Iya, saya pernah diminta jadi pembicara dalam kampanye di Hong Kong dan Jepang,” ujarnya.
Sementara itu dalam sebuah program berita InewsTV, mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai yang dihina Abu Janda menyebut pelaku rasis sekali tweet di Twitter dibayar Rp 30 juta. Ini masih dugaan dari obrolan warung kopi. Hal ini ia singgung untuk menimpali Ketua Umum Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer yang diwawancara bersamaannya.
Pigai mengatakan obrolan warung kopi pelaku rasis dibayar Rp 30 juta sekali tweet di Twitter harus dibuktikan kebenarannya. “Pembicaraan di warung kopi harus dibuktikan. karena mereka tweet bayarannya Rp 30 juta. Kalau mereka video bayarannya Rp 30 juta. Eben jangan bohong, kita kan teman. kita tahu semua ini,” kata Natalius Pigai dalam pernyataannya.
Kalau memang benar Abu Janda mendapatkan bayaran yang cukup fantastis maka perlu dipertanyakan apakah uang tersebut berasal dari uang pribadi, uang kampanye atau uang negara ?.Jika uang yang digunakan untuk membayar Abu Janda itu berasal dari anggaran negara maka sudah jelas ini merupakan pelanggaran Pemilu dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa.
Jika Abu Janda dibayar menggunakan uang Tim Kampanye Nasional (TKN) yang di ketuai Erick Thohir, maka bisa dikategorikan sebagai tindakan politik uang karena Abu Janda tidak terdaftar sebagai anggota Tim Kampanye Jokowi-KH Ma’ruf Amin di Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat dan daerah seluruh Indonesia.
Namun pengakuan dari Abu Janda tersebut sejauh ini dianggap biasa biasa saja pada hal sebenarnya mempunyai konsekuensi hukum karena bisa masuk kategori pelanggaran pemilu yang mempunyai konsekeunsi pidana. Hal ini memang tidak mengherankan karena terhadap kasus kasus sebelumnya yang dilaporkan ke aparat saja tidak ada tindak lanjutnya. Semuanya aman aman saja bagi Abu Janda sehingga menguatkan dugaan bahwa dia memang dipelihara oleh orang yang punya kuasa karena hukum tidak mampu menyentuhnya.
Lalu siapakah kiranya yang telah membuat para buzzer seperti Abu Janda cs ini bisa aman aman saja menjalankan aksinya dan sejahtera hidupnya ?.Dalam sebuah program berita InewsTV, Natalius Pigai membongkar sosok kakak pembina buzzer pelaku rasis kepada dirinya. Kakak pembina itu dia bongkar saat membicarakan kasus rasis gorila Ambroncius Nababan, politikus partai Hanura.
“Kakak pembina itu siapa? Ini kan permainan kakak pembina. Kalian tau kan kakak pembina itu siapa?”, kata Pigai dalam acara talk show bertajuk “Ketika Pigai Bertikai” di iNews Room, Selasa (26/1).
Pigai tak menyebut nama siapa kakak pembina yang dimaksudkannya.Ia hanya menganalogikan kakak pembina itu sebagai majikan yang memegang remot kontrol untuk mengatur dan mengarahkan buzzer atau herder peliharaannya.“Anjing-anjing, herdernya dilepas oleh majikannya, karena itu remot kontrolnya selalu dikuasai oleh kekuasaan,” ucapnya.
Siapapun kakak Pembina yang dimaksudkan oleh Pigai itu, pastilah ia adalah orang yang sangat berkuasa. Mungkin karena pengaruh dan kekuasaanya sehingga membuat aparat penegak hukum tidak berani menetapkan orang seperti Abu Janda menjadi tersangka untuk diadili dan dimasukkan ke penjara. Biarpun banyak tekanan dari mana mana yang menginginkan Abu Janda dijadikan tersangka sepertinya tak mampu membuat pihak berwenang mengeksekusinya.
Padahal seperti disinggung di depan, keberadaan para buzzer seperti Abu Janda ini sangat berbahaya bagi persatuan bangsa dan kerukunan bangsa. Dalam istilah Rizal Ramli, keberadaannya adalah sampah demokrasi yang tidak semestinya ada.
Jika orang orang seperti Abu Janda ini tetap bisa berkeliaran menjalankan aksinya maka semakin mengukuhkan anggapan publik bahwa hukum memang tidak ditegakkan secara adil untuk semua anak anak bangsa. Hukum hanya berlaku bagi pihak tertentu saja yang berlawanan dengan kepentingan penguasa.
Adapun bagi orang orang yang berjasa pada penguasa, yang biasa memuji memuji dan mengamankan kebijakan kebijakannya, maka hukum tidak berlaku baginya. Nampaknya tebang pilih begitu kasat mata terjadi di dunia penegakan hukum kita.
Mengutip pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebut sebuah negara bisa hancur jika pemerintah yang berkuasa bersikap tak adil terhadap satu golongan atau pihak tertentu saja.
“Siapapun, pemerintah yang sekarang, dulu, dan di masa yang datang sama saja tuntutannya yaitu menegakkan keadilan bagi seluruh warga bangsa. Itulah yang perlu di lakukan kalau keutuhan bangsa ini dengan segala harmoni yang dibangunnya ingin tetap dijaga,” tegasnya. Lalu apakah negara harus kalah dengan seorang Abu Janda ? (*/Red/LJ)