Ini Jawaban Din Syamsuddin atas Konsep Khilafah-Khalifah yang Dapat Kritik Keras
oleh : Prof Dr Din Syamsuddin MA
JAKARTA – Saya sudah membaca tanggapan terhadap imbauan saya agar semua pihak tidak mengembangkan isu bernuansa keagamaan terkait Pilpres 2019, khususnya dari KH Hamdan Rasyid (NU/MUI DKI Jakarta) dan Dr Nadirsyah Hosen (Ketua PCINU Australia).
Saya mengucapkan terima kasih atas nasihat mereka agar saya belajar dan mendalami bahasa Arab, agar jangan sesat dan menyesatkan, serta tidak gagal paham tentang konsep khilafah.
Memang saya mengakui pengetahuan saya tentang bahas Arab sangat minim, walaupun merasa sudah belajar sejak Madrasah Ibtidaiyah, di Gontor, UIN, hingga S2 dan S3 yang ada seminar dengan menggunakan bahasa Arab di UCLA dulu. Oleh karena itu saya ingin berguru kepada Ust KH Hamdan Rasyid yg pengetahuan Bahasa Arabnya tinggi dan dalam.
Untuk itu saya ingin beliau menguji pemahaman saya tentang konsep Alquran, khususnya tentang khalifah dan khilafah. Yang disebut oleh Alquran memang hanya kata khalifah—tidak ada penyebutan kata khilafah. Namun, karena yang kedua adalah bentuk derivatif (turuanan) dari yang pertama (fa’il dan fi’alah/noun dan verbal noun), maka secara substansial khilafah juga dikandung oleh Alquran.
Tentu ini merupakan kesimpulan kaum substantivis, yang mungkin tidak diterima oleh kaum tekstualis. Sama halnya polemik tentang ‘aradh dan jauhar di kalangan mutakallimun maunpun falasifah, sebagaimana antara lain dibahas dalam Kitab Ushul al-Din karya Al-Baqillani, salah seorang ulama Sunni terkemuka.
Ini pulalah ynag kemudian diadopsi oleh fukaha seperti Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah yang pada baris pertama sudah menyebut khilafah dalam konteks khilafat al-Nubuwwah. Al-Mawardi tentu merujuk kepada konsep khilafah sejak Umawiyyyah hingga Abbasiyyah.
Khilafah sebagai lembaga politik selama itu berada di tangan para khalifah. Dari sinilah mulai muncul ‘alaqah ma’nawiyah’ bahkan tasyaqquq ma’nawi antara kedua istilah yang saling berkelit berkelindan, atau menurut Imam Al-Ghazali dalam bahas Persia disebut az yik modar omad.
Saya cukupkan sketsa pemahaman awam saya di sini dan dapat dikembangkan dengan membuku kitab para mutakallimun, fukaha, dan falasifah tentang maudhu ini.
Terkait bahasa Arab yang KH Hamdan Rasyid lebih luas ilmunya dari saya, mungkin beliau bisa jelaskan “apakah kata khilafah dan khalifah yang berbeda bunyi tidak memiliki kaitan maknawi?” Kalau tidak salah akar kata keduanya sama yaitu kha la fa, yang berarti mengganti, mewakili, atau datang kemudian.
Bukankah kalau demikian terdapat ‘alaqah ma’nawiyah, walau berbeda wazan. khalifah adalah orang/pelaku, sedangkan khilafah adalah wujud dari perbuatan khalifah, yang mengandung arti sistem nilai kehidupan. Memang orang yang memahami khilafah sebagai lembaga politik (hukumah siyasiyah/political authority or a form of government) akan mengatakan keduanya berbeda.
Hal demikian mafhum adanya. Konsep fukaha siyasah Sunni, sejak Ibn Qutaybah dengan ‘Uyun al-Akhbar, Ibn al-Muqaffa’ degann al-Adab al-Kabir wa al-Adab al-Shagir, hingga Al-Mawardi dengan Al-Ahkam al-Sulthaniyah maupun Al-Ghazali dengan kitab berbahasa Persianya Nashihat al-Mulk sudah lama dikritik oleh fukaha madzhab al-Siyasat al-Syar’iyyah seperti Ibn Taymiyyah maupun Ibn Jama’ah yang menulis Tahrir al-Ahkam.
Kritik lebih keras diberikan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah pada sebuah sub-judul Fi inqilab al-Khilafah ila al-Mulk. Ibnu Khaldun menganggap khilafah historis pasca-al-Khilafat al-Rasyidah adalah kerajaan karenanya merupakan sulthah madaniyyah bukan sulthah diniyyah. Khilafah historis itu adalah manifestasi dari patrimonalisme Arab.
Dalam kaitan ini, dari dulu saya tidak menyetujui konsep khilafah modern ala Rasyid Ridha (al-khilafat al- ‘uzma), atau Al-Nabhani, maupun Abul Kalam Azad. Ketaksetujuan terhadap konsep khilafah sebagi kekuasaan politik ini—tanpa harus mengecamnya sesat menyesatkan tapi menghargainya sebagai ijtihad—selain mempertimbangkan Ali Abd al-Raziq dengan Al-Islam wa Ushul al-Hukm, juga karena pertimbangan realistik bahwa masyarakat dunia sekarang sudah berada dalam Negara Bangsa (Nation State) yang menuntut pengamalan al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship). Lebih dari pada itu, di Indonesia tercinta, kita sudah mengukuhkan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah(Abode of Consensus and Abode of Testimony).
Namun, konsep khilafah tidak berarti harus ditiadakan, karena khilafah memiliki konteks pengertian non-politis. Dalam kaitan misi mondial manusia yakni sebagai khalifatullah fi al-ardh, maka khilafah dalam tafsir kontekstual dapat berbentuk sistem peradaban yang menampilkan prinsip wasathiyah dan rahmatan lil ‘alamin.
Pada hemat saya, sistematika baru ajaran-ajaran Islam bisa mengambil bentuk: Tauhid > Khilafah > Ishlah yang berdimensi ganda al-wasathiyah (jalan tengah) dan al-‘ashriyyah(kemodernan/kemajuan).
Dalam perspektif bahasa Arab yang sedikit saya pahami, khalifah dan khilafah, yang berasal dari akar kata yang sama memiliki ‘alaqah ma’nawiyah jauhariyyah bahkan tasyaqquq ma’nawy.
Maka saya prihatin dengan gegap gempita pengganyangan khilafah politis yang telah membawa dampak sistemik penegasian khilafah kultural dan sivilisisional. Jika ini berkembang, maka Peradaban Islam sebagai al-badil al-tsaqafi, meminjam istilah Tariq Ramadhan, ditutup pintu kebangkitannya. Lebih dari pada itu, mengangkat khilafah sebagai isu politik perpilpresan dan mempertentangkannya dengan Pancasila dalam nada labelisasi dan generalisasi pejoratif, pada hemat saya, potensial mengungkit luka lama yang dengan susah payah kita semua jernihkan tentang hubungan Islam dan Negara Pancasila.
Pada latar pikiran di atas itulah Dewan Pertimbangan MUI lewat Rapat Pleno ke-37 pada 27 Maret 2019 mengeluarkan Taushiyah. Terima kasih atas tanggapan baik yang positif maupun yang negatif. Allahu a’lam bi al-shawab. (***)