Jangan-jangan Kita Merasa Sudah Tak Butuh Allah?
SEKITAR 3 tahun lalu, Cak Nun pernah berkelakar di Kenduri Cinta, bahwa dalam beberapa tahun kedepan kita akan melihat banyak sekali kelucuan-kelucuan yang akan membuat kita semakin tertawa melihat banyak peristiwa yang terjadi di Indonesia. Dan ternyata, kelakar Cak Nun saat itu benar-benar terbukti hari ini.
Bagaimana saya melihat tingkah laku orang-orang menyikapi isu yang berkembang di Indonesia hari ini, yang saya rasakan adalah ekspresi emosional, bukan ekspresi orisinalitas mereka. Mungkin saya salah, tetapi setidaknya saya bisa merasakan aura itu yang muncul. Sebut saja isu-isu yang muncul beberapa bulan terakhir; Pancasila, Kebhinnekaan, Khilafah, Pansus KPK, hingga Setnov.
Dinamika politik 2014 silam membuka mata saya bahwa masyarakat akhirnya benar-benar terbelah dalam wilayah-wilayah yang bagi saya sangat menyedihkan. Yang menjadi pertimbangan adalah like and dislike. Celakanya, sikap suka atau tidak suka tersebut lahir dari perbedaan pandangan politik yang hakikatnya bukan urusan primer dalam kehidupan yang mereka jalani. Masyarakat kita saat ini memilih untuk masuk ke dalam jurang perbedaan yang terus menerus dipelihara; kalau kau sependapat denganku, kau kelompokku, tapi kalau kau tak sependapat denganku, kau bukan kelompokku.
Sepertinya memang kita belum sepenuhnya siap dengan era kebebasan berpendapat. Karena pada faktanya, kita tidak benar-benar bebas berpendapat, karena ada saja orang yang tidak menghargai pendapat kita, karena pendapat kita tidak sama dengan pendapatnya. Semua orang menginginkan agar semua memiliki pendapat yang sama. Atau minimal, jika tidak sama pendapatnya, maka yang diharapkan adalah yang tidak sama pendapatnya agar tidak bersuara.
Sekarang, ketika kita memiliki perbedaan pendapat, maka salah satu hal yang akan dilihat adalah di kubu mana keberpihakan politik kita. Entah sudah berapa tali persaudaraan yang sudah pecah akibat perbedaan pandangan politik yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan, yang memilih untuk tidak berpihak kepada salah satu kubu pun tetap akan dianggap lawan karena tidak bersama-sama di gerbong politik yang sama.
Hari ini, terlalu banyak orang yang mengikrarkan dirinya bahwa dirinya adalah yang paling Indonesia, dirinya yang paling Nasionalis, dirinya yang paling Pancasilais, dirinya yang paling Islam, dirinya yang paling benar. Jika orang lain berbeda pandangan, maka dianggap salah.
Situasi dan kondisi seperti ini pada akhirnya justru semakin menjauhkan kita pada hal-hal yang sifatnya substansial. Karena pertimbangan kita pada akhirnya hanya bersifat material. Setiap saya melihat isu yang bergulir di media sosial hari ini, maka dengan mudah akan dapat terpetakan dua kubu yang saling berlawanan. Tidak bisa dinafikkan bahwa kubu politik yang berseberangan sejak Pilpres 2014 semakin terawat dengan baik hingga hari ini, bahkan mungkin hingga tahun politik 2019 nanti.
Mungkin memang sikap Ahmaq yang semakin tumbuh subur di Indonesia yang mengakibatkan situasi dan kondisi ini. Sikap bebal yang akhirnya benar-benar menghalangi diri kita untuk menerima kebenaran dari Allah. Kebenaran yang kita akui adalah kebenaran yang kita yakini, dan kebenaran orang lain yang sependapat dengan kita.
Saya sangat percaya bahwa hidayah Allah itu selalu ada, dan diturunkan untuk semua orang. Hanya saja, tidak semua orang mampu atau mau mengakses hidayah dari Allah itu. Ada orang yang secara hardware dan
software dalam dirinya memenuhi syarat untuk mengakses hidayah Allah, tapi tidak ia lakukan. Ada orang yang secara hardware maupun software memang tidak mampu mengakses hidayah Allah, yang lebih parahnya ia tidak mau meng- upgrade perangkat-perangkat itu dalam dirinya.
Memang mungkin penyakit yang ada di Bangsa Indonesia ini sudah terlanjur kompleks, sehingga hanya Allah yang mampu menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bisa jadi, kita juga salah memahami; Innallaha Laa yughoyyiru maa bi qoumin, hatta yughoyyiru maa bi anfusihim . Kita menganggap bahwa berubahnya nasib kita ada di tangan kita sendiri, padahal jika kita mau memahami ayat tersebut lebih jauh, Allah lah yang memiliki peran primer atas perubahan yang terjadi.
Seorang petani, peran ”yughoyyiru” yang ia lakukan adalah nyingkal tanah, menanam padi, mengairi, memberi pupuk, menjaga tanaman padi dari hama tikus, wereng. Kepastian puncak
“yughoyyiru” panen adalah hak prerogatif yang dimiliki oleh Allah. Kita sering lupa dengan aturan main ini. Seolah-olah di setiap peristiwa yang kita alami, tidak ada peran Allah sama sekali.
Mungkin ini yang menjadi penyebab utama kenapa sampai hari ini Allah belum mau menolong kita. Kita masih terlalu ge-er dan pede dengan kemampuan kita. Kita merasa yakin bahwa apa yang kita lakukan akan membawa kita ke arah yang lebih baik. Kita tidak sepenuhnya benar-benar melibatkan Allah dalam proses perjuangan kita. Kita tidak sepenuhnya menganggap bahwa ada peran Allah dalam kehidupan kita. Atau jangan-jangan kita merasa sudah tak butuh Allah?
5, Oktober 2017
Fahmi Agustian (Penulis Penggiat Maiyah, saat ini tinggal di Jakarta).
(Tulisan ini juga dimuat pada Rubrik Esai-Manek Blimbing di Caknun.com)