Ketika Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Maklumat Kapolri soal FPI
JAKARTA – Sungguh sial sekali nasib Front Pembela Islam alias FPI . Ormas ini akhirnya dibubarkan oleh rezim yang berkuasa saat ini. Bukan hanya di bubarkan saja tetapi semua kegiatan yang berbau FPI tidak diperkenankan lagi. Ormas FPI oleh Pemerintah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di NKRI. Tokoh utama FPI yaitu Habib Rizieq Shihab (HRS) bahkan harus mendekam dibalik terali besi.
Sebagai bentuk pelarangan itu, beberapa jam setelah pengumuman pembubaran FPI, tentara dan polisi langsung didatangkan ke markas besar FPI di Petamburan untuk mencopoti semua atribut atribut FPI yang masih terpasang disana sini termasuk plang organisasi ikut dicabuti. Polisi juga melarang pengurus FPI untuk mengadakan konperensi pers sehubungan dengan pembubaran ormas FPI.
Ternyata aksi “perang” yang digelorakan oleh pemerintah terhadap FPI tidak cukup sampai disini. Sebagai bentuk pengawasan terhadap Ormas FPI, Kapolri juga mengeluarkan sebuah Maklumat yang belakangan mengundang kontroversi.
Maklumat yang dikeluarkan tanggal 1 Januari 2021 itu bernomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI).
Salah satu isi Maklumat Kapolri yang paling mendapatkan perhatian khalayak saat ini adalah Pasal 2d, yang dinilai aneh dan karenanya menuai kontroversi. Dalam isi pasal tersebut, Kapolri meminta masyarakat untuk tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI.
Karuan saja Maklumat Kapolri tentang FPI tersebut mendapatkan protes disana sini. Yang bersuara paling nyaring adalah komunitas pers karena merasa berkaitan langsung dengan kegiatan mereka sehari hari.
Komunitas pers yang terdiri dari Forum Pemred, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menilai isi maklumat itu tak sejalan dengan semangat demokrasi dan menghormati kebebasan memperoleh informasi.
Maklumat itu juga dinilai mengancam tugas jurnalis dan media dalam mencari informasi dan menyebarluaskannya kepada publik, dalam hal ini terkait FPI. Atas hal ini, komunitas pers pun meminta agar ketentuan dalam poin 2d tersebut segera dicabut alias tidak diberlakukan lagi.
Menurut komunitas pers, Maklumat Kapolri dalam Pasal 2d itu berlebihan dan tidak sejalan dengan semangat kita sebagai negara demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi.
Jajaran komunitas pers juga merasa bahwa maklumat itu mengancam tugas jurnalis dan media, yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Pada hal hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang isinya menyatakan,
“(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Isi maklumat itu, yang akan memproses siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai “pelarangan penyiaran”, yang itu bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang Undang Pers itu sendiri.
Wajar kalau kemudian jajaran komunitas pers mendesak Kapolri mencabut Pasal 2d dari Maklumat itu karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senafas dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan Undang Undang Pers yang berlaku saat ini.
Protes terhadap Maklumat Kapolri tetang FPI tak cuma disuarakan oleh kalangan pers saja tapi juga politisi. Dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Fadli Zon, menilai maklumat yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Idham Azis tersebut bahkan sudah kebablasan karena dianggap tidak pro terhadap demokrasi.”Maklumat kebablasan dan antidemokrasi. Harus dicabut!” kritik Fadli Zon di akun Twitternya sembari menautkan artikel penolakan maklumat dari komunitas pers, Sabtu dinihari (2/1).
Politisi lainya dari Partai Demokrat, Rachland Nashidik juga mengkritik tindakan Kapolri Idham Azis yang membuat maklumat terkait penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI).Hal itu dikatakan Rachland dalam keterangan tertulis di akun Twitter pribadi miliknya @RachlanNasidik pada Sabtu, 2 Januari 2020.
Sementara itu Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) juga meminta pencabutan terhadap maklumat yang kontroversial ini.Menurut HNW, Maklumat Kapolri tersebut lebih khusus pada poin 2 huruf d yang berisi tentang larangan bagi masyarakat untuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial itu, dapat menjadi penghambat dalam menuntaskan kasus penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) .
“Jadi kalau demikian halnya maklumat ini menjadi potensial untuk kemudian memetieskan atau tidak memungkinkan untuk dilanjutkannya pengusutan terhadap penembakan 6 Laskar FPI ,” ujar HNW, seperti dikutip media WE online Jakarta Sabtu (2/1/2021).
Menanggapi soal Maklumat Kapolri ini dilingkungan FPI sendiri ditanggapi dengan enteng dan terkesan tidak terlalu peduli. Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar mengaku itu bukan urusan lagi karena FPI sudah dibubarkan.
“Tenang saja, kita akan tetap sebarkan dengan nama Front Persatuan Islam dan tetap gaungkan tentang proses penegakkan hukum terhadap enam syuhada pengwal HRS,” kata Aziz saat dikonfirmasi, Jumat (1/1/2021).
Menanggapi protes dan tudingan yang bertubi tubi, pihak Kapolri sendiri akhirnya angkat suara untuk menanggapi. Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono dikutip Kantor Berita Politik RMOL menyatakan bahwa Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) sama sekali tidak mengekang kebebasan pers dalam menyebarkan informasi. Pun demikian, tidak bertentangan dengan demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi.
“Artinya bahwa pada poin huruf d tersebut selama tidak mengandung berita bohong, gangguan Kamtibmas, mengadu domba ataupun perpecahan dan sara tidak dipermasalahkan. Namun jika mengandung hal tersebut tentunya tidak diperbolehkan apalagi sampai mengakses/ mengapload/ menyebarkan kembali yang dilarang ataupun yang ada tindak pidananya dapat dikenakan UU ITE,” kata Argo sambil memperlihatkan Maklumat Kapolri.
Mengancam Kebebasan Pers dan Berekspresi
Sejak reformasi Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Di dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak untuk menerima dan menyebarkan segala informasi ada di negaranya karena jaminan konstitusi. Oleh karena itu, peran pers menjadi sangat penting untuk dapat menghidupkan nilai-nilai demokrasi.
Dewasa ini, nampaknya kemudahan menerima dan menyebarkan informasi menjadi suatu ancaman bagi pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan `gelap` di Indonesia yang tujuannya diduga untuk mempertahankan kursi.
Hal tersebut kerap kali berujung kepada pembungkaman jurnalis atau media yang dianggap menghalangi visi dan misi selama menjadi penguasa di NKRI. Pada hal Indonesia sebenarnya sudah menjamin kebebasan pers itu sendiri.
Kebebasan pers di negeri ini tertuang di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 yang didasari oleh pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini. Namun, pada faktanya masih banyak anomali yang justru menyebabkan Indeks Kebebasan Pers di Indonesia cukup rendah sekali.
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang April 2019 – Mei 2020 terdapat 31 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh anggota POLRI. Hal tersebut merupakan data yang ditemukan saat terjadi demonstrasi besar pada bulan Mei dan September tahun 2019 yang lalu ketika Pilpres baru usai.
AJI mencatat terdapat 785 jurnalis yang menjadi korban kekerasan khususnya yang dilakukan oleh Polri. Kekerasan tersebut terdiri dari berbagai jenis kekerasan seperti kekerasan fisik dengan jumlah 239 perkara, pengusiran atau pelarangan peliputan dengan jumlah 91 perkara, dan ancaman teror dengan jumlah 77 perkara yang berhasil dideteksi.
Dan setelah didata yang melakukan kekerasan terhadap pers yang terjadi pada dua demonstrasi besar tersebut terdiri dari 65 orang anggota polisi, 60 orang massa, dan 36 orang tidak dikenali. (Briantika, https://tirto.id, akses 26 Desember 2020).
Sejauh ini kondisi kebebasan pers di Indonesia memang cukup memprihatinkan sekali. Fenomena ini bisa diukur melalui Indeks Kebebasan Pers Dunia, di mana pada tahun 2020 Indonesia menduduki peringkat ke-119 dari 180 negara yang dinilai.
Pemeringkatan tersebut didasarkan pada tiga aspek yang menjadi tolak ukur untuk menilai kondisi kebebasan pers di sebuah negara yang dinilai. Ketiga aspek tersebut antara lain adalah iklim hukum yang menyoroti aspek regulasi negara tersebut terhadap kebebasan pers dinegara yang dinilai, iklim politik yang menyoroti kebijakan yang memiliki dampak terhadap kebebasan pers, dan iklim ekonomi yang menyoroti lingkungan ekonomi negara yang memiliki dampak terhadap kebebasan pers di negara yang dinilai.
Sejauh ini memang terdapat indikasi bahwa kebebassan pers terkesan dikebiri lewat sebuah regulasi yang dilakukan oleh rejim yang berkuasa saat ini. Tanda tandanya sudah bisa dibaca sejak lama lewat pembuatan serangkaian regulasi.
Adanya 10 pasal, yakni Pasal 219, 241, 246, 247, 262, 263, 281, 304, 440, dan 446 yang terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai dapat mengancam kebebasan pers itu sendiri.
Korban pertama bila pasal tersebut kembali diberlakukan adalah dunia pers karena bisa dikriminalisasi . Sebab pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan dengan sesuai keinginan sendiri. Bila ada narasumber atau media kritis, dengan mudah penguasa akan membungkamnya dengan berbagai dalih dan argumentasi.
Sejauh ini sudah banyak diberitakan orang orang yang ditangkapi karena dianggap menjadi penyebar ujaran kebencian atau dianggap melawan penguasa saat ini. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika juga tidak berupaya menghapus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di ranah Internet sebagai media untuk bereskpresi.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga masih memuat ancaman pemidanaan terhadap kebebasan berpendapat sehingga menjadi acaman bagi mereka yang suka mengkritik atau atau mereka yang menjadi oposisi.
Karena itu dari sini bisa dinilai bahwa pemerintah tak serius dalam menjaga kebebasan pers sebab UU ITE dinilai mencederai hak asasi dalam berekspresi dan berinformasi. Pada hal hak berekspresi dan mendapatkan informasi dijamin oleh konstitusi.
Menyoal Maklumat Kapolri
Ancaman terhadap kebebasan pers dan berekspresi semakin terasa saat ini setelah keluarnya beberapa peraturan yang aneh aneh seperti Maklumat Kapolri. Sebenarnya keluarnya Maklumat Kapolri ini sudah beberapa kali terjadi meskipun menuai kontroversi.
Dulu pada saat Tito Karnavian menjadi Kapolri pernah mengeluarkan sebuah Maklumat yang juga menuai protes karena terindikasi adanya pemihakan polisi. Saat itu melalui Maklumat Kapolri muncul larangan menggelar acara Tamasya Al Maidah yang dipelopori oleh FPI.
Saat itu Tito mengeluarkan perintah kepada seluruh jajaran kapolda di Jawa dan Sumatera untuk untuk mengeluarkan larangan pengerahan massa dalam jumlah besar jelang pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI.
Larangan ini akan berlaku bagi aksi Tamasya Al Maidah yang merupakan kegiatan mengerahkan massa mengamankan tempat pemungutan suara dalam rangka pilkada DKI.
Alasan Tito saat itu mengeluarkan Maklumat Kapolri karena polisi memang diberi hak untuk mengeluarkan diskresi. Diskresi ini merupakan keistimewaan bagi kepolisian untuk mengeluarkan kebijakan setelah memperhatikan situasi dan kondisi.
Maklumat Kapolri juga dikeluarkan oleh Jenderal Idham Azis pada saat pandemi.Kali ini Kapolri Jenderal Idham Azis menjelaskan alasannya menerbitkan Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Covid-19 yang terus terjadi. Alasannya adalah karena keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Dalam maklumatnya Idham meminta masyarakat untuk tidak mengadakan kegiatan yang mengumpulkan orang dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri.”Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Itulah alasan Polri mengeluarkan maklumat,” kata Idham seperti dikutip Antara, Kamis (26/3).
Kini keluar lagi Maklumat Kapolri yang salah satu isinya melarang masyarakat menguggah dan mengakses konten FPI. Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun diskresi polisi.
Menurut hemati kami pelarangan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, dan berlebih, mengingat pelarangan tersebut hanya bersandarkan kepada maklumat polisi. Pada hal maklumat itu bertentangan dengan hak azasi untuk kebebasan berekspresi sebagaimana yang dijamin di konstitusi.
Bila maklumat dijadikan sandaran terkait larangan mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI, maka harus ada aturan terkait sanksi.Biasanya sanksi pidana yg dihubungkan dengan pengumuman atau maklumat yang berisikan larangan hanya berlaku dalam kondisi perang atau kondisi yang gawat sekali.
Pada hal seperti diketaui saat ini kita tidak berada dalam kondisi tersebut sehingga syarat keluarnya maklumat yang mengandung sanksi bisa dinilai tidak terpenuhi.
Justru dengan adanya maklumat yang mengandung sanksi tersebut bisa dinilai pihak kepolisian bukannya menerapkan diskresi tapi akan terbaca sebagai penyalahgunaan kewenangan oleh aparat untuk melawan pihak pihak yang selama ini tidak disukai dalam hal ini FPI.
Dengan sendirinya aparat akan dinilai telah menjadi alat kekuasaan ketimbang sebagai pengayom dan pelindung masyarakat sipil saat ini.
Lagi pula secara yuridis formal masih perlu dipertanyakan legalitas dari sebuah Maklumat seorang Kapolri. Apakah Maklumat Kapolri bisa menjadi sumber hukum yang bisa dijadikan untuk menerapkan sebuah sanksi ?.
Sumber hukum di Indonesia adalah undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan yang lain lainnya, tidak dikenal adanya Maklumat Kapolri.
Lebih jauh karena Maklumat Kapolri itu memuat aspek pembatasan hak asasi manusia dimana salah satu yang paling kontroversial adalah perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial serta disertai ancaman tindakan hukum maka Maklumat itu bisa dikatakan bertentangan dengan Konstitusi.
Perlu diketahui akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi UUD 1945. Khususnya dalam ketentuan Pasal 28F, dan juga sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP), yang telah disahkan dalam hukum Indonesia melalui UU No. 12/2005.
Dalam hukum hak asasi manusia, setidaknya ada tiga persyaratan yang harus diperhatikan untuk memastikan legitimasi dari suatu tindakan pembatasan yang dibolehkan dalam pengaturannya.
Ketiga syarat tersebut sering dikenal sebagai tiga uji elemen yang mengharuskan setiap pembatasan: diatur oleh hukum (prescribed by law), yang oleh sejumlah ahli ditafsirkan harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan; untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim), yaitu: keamanan nasional, keselamatan publik, moral publik, kesehatan publik, ketertiban umum, serta hak dan reputasi orang lain; pembatasan itu benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality).
Prinsip ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memastikan tidak dilanggarnya hak asasi warga negara dalam setiap tindakan pembatasan yang dilakukan.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, pertanyaannya kemudian apakah Maklumat Kapolri No. 1/Mak/I/2021 telah memenuhi persyaratan prescribed by law, legitimate aim, dan necessity ?. Kalau syarat syarat ini tidak dipenuhi mengapa Maklumat itu harus diberlakukan kepada rakyat untuk membatasi kebebasan mereka ?.
Bukankah lebih tepat kalau Maklumat itu hanya ditujukan kepada internal anggota Polri saja, yang berisi perintah dari Kepala Polri kepada bawahannya ?. Karena wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik sebab diluar kewenangannya.
Oleh karena itu ketika Maklumat ini dipaksakan untuk diberlakukan maka yang menjadi pertanyaan adalah sebenarnya Maklumat itu dibuat untuk kepentingan siapa ? Benarkah dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia ? Melindungi dan mengayomi rakyat dari ancaman siapa ?. (*/LJ)