Kisah BJ Habibie, Sang Penemu Faktor Habibie yang Dipakai Seluruh Penerbangan Dunia
SERANG– Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan salah satu sosok yang sangat dibanggakan oleh masyarakat Indonesia terutama dalam persoalan penerbangan.
Pria yang akrab disapa Habibie lahir pada 25 Juni 1936 di Pare-Pare Sulawesi Selatan yang merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Sejak kecil, kepandaian Habibie memang sudah terlihat jelas karena seringnya membaca buku-buku hingga di bangku sekolah dasar pun, Habibie terkenal sangat cerdas.
Putra dari pasangan Raden Ajeng Tuti Martini Puspowodjojo dan Alwi Abdul Jalil Habibie ini memang dibekali dengan pendidikan yang cukup. Tidak hanya secara ilmu pengetahuan, tetapi juga agama.
Semasa kanak-kanak, sang ayah sering memperdengarkan lantunan ayat suci Al-quran. Tidak mengherankan jika saat usia 3 tahun, Habibie sudah fasih membaca Al-qur’an. Saat kepergian sang ayah tercinta pada 3 September 1950, membuat kehidupan keluarga berubah. Rumah dan kendaraan yang ada di Pare-Pare dijual oleh sang ibu dan tak lama kembali ke Bandung. Tidak ada lagi suami, sang ibu kemudian membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kedelapan buah hatinya.
Di masa-masa itu, keinginan Habibie untuk terus belajar juga sangat kuat. Dia pun melanjutkan sekolah di Gouvernments Middlebare School (SMAK Dago Bandung). Saat masa SMA, bakat Habibie dalam pelajaran eksakta semakin menonjol. Ketertarikan besar jelas ditunjukkannya pada fisika. Sosoknya menjadi idola sekolah kala itu.
Kecerdasan Habibie muda berhasil mengantarkannya tembus kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kala itu bernama Universitas Indonesia Bandung. Jurusan Teknik Mesin menjadi tempatnya menimba ilmu kala itu.
Namun pendidikan yang dijalaninya tidak pernah selesai. Setahun kemudian, Habibie memutuskan untuk melanjutkan studi di Aachen, Jerman Barat. Sang ibulah yang membiayai kuliahnya sebelum akhirnya pemerintah menggelontorkan beasiswa. Di kampus barunya, Habibie memilih untuk mengambil teknik penerbangan, tepatnya tentang konstruksi pesawat terbang. Sepuluh tahun pun dihabiskan untuk menuntut ilmu.
Gelar diplom ingenieur akhirnya berhasil di raih dari Rhein Westfalen Technische Hochschule (RWTH) pada 1960. Kemudian melanjutkan kuliahnya lagi untuk mendapatkan gelar doctor ingenieur dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.
Selama menempuh pendidikan, Habibie juga menyempatkan diri untuk kembali ke Indonesia. Dia datang untuk mengunjungi keluarga dan juga makam sang ayah. Selain itu, ternyata kepulangannya juga memiliki misi lain, yakni meminang Hasri Ainun Besari.
Meski sempat beberapa kali menjalin kisah dengan perempuan Jerman, rupanya pelabuhan akhir Habibie tetaplah pada Ainun. Pada 12 Mei 1962, Ainun akhirnya resmi menyandang status sebagai istri Habibie. Dia lantas diboyong ke Jerman karena Habibie belum menyelesaikan pendidikannya.
Hidup sebagai mahasiswa yang sudah berumah tangga di negeri orang tentu tidak mudah. Kerja keras dan penghematan pun dilakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Berjalan kaki menuju tempat bekerja biasa dilakukan Habibie. Mengantri di tempat pencucian umum juga dilakukan oleh Ainun demi berhemat.
Begitu meraih gelar doctor ingenieur pada 1965, Habibie langsung mendapat pekerjaan di Perusahaan Penerbangan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB). Di perusahaan yang berkantor utama di Hamburg Jerman ini, Habibie mengawali karir sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktur Pesawat Terbang.
Empat tahun berselang, Habibie mendapat kedudukan sebagai Kepala Divisi Metode dan Teknologi dalam industri pesawat militer dan komersial. Lagi-lagi dalam empat tahun, Habibie kembali mendapat jabatan baru. Kinerjanya membuat dia dipercaya menjadi Direktur Teknologi merangkap Vice President di perusahaan tersebut selama lima tahun. Dia menjadi satu-satunya orang Asia yang dipercaya sebagai Vice President di MBB. Tak lama kemudian, Habibie mendapat kedudukan sebagai Penasihat Senior bidang teknologi pada 1978.
Memiliki karir cemerlang di MBB tidak membuat Habibie lupa dengan tanah air. Pada 1968, sebanyak 40 insinyur Indonesia berhasil mendapat pekerjaan di MBB berkat rekomendasinya. Rupanya hal itu dilakukan untuk mempersiapkan sumber daya jika sewaktu-waktu menciptakan produk kedirgantaraan di Tanah Air.
Pada masa itu, Habibie juga berhasil menemukan sebuah teori baru yang sangat bermanfaat bagi dunia penerbangan. Habibie muda menemukan cara bagaimana untuk menghitung keretakan (crack propagation on random) pada pesawat bahkan sampai ke bagian atom.
Sebelum adanya teori Habibie ini, adanya keretakan dalam pesawat yang sulit untuk dideteksi lebih awal. Jalan yang dilakukan adalah meningkatkan faktor keamanan dengan menambah massa konstruksi yang dipakai. Bobot pesawat pun akan bertambah sehingga tidak efektif dalam penerbangan.
Namun setelah muncul terobosan yang sering disebut faktor Habibie ini hal tersebut tidak lagi perlu dilakukan. Letak dan besar retakan bisa dihitung. Dengan begitu, standar keamanan pesawat meningkat. Teori ini pun sudah digunakan oleh berbagai industri maskapai di dunia.
Selain berhasil menciptakan Faktor Habibie, ia juga berhasil mengantongi Edward Warner Award dan Award von Karman yang hampir setara dengan hadiah Nobel. ITB tempatnya menimba ilmu juga tidak mau ketinggalan. Mereka memberi penghargaan tertinggi sebagai Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana. Selain itu, karena dianggap berjasa bagi pemerintah Jerman, Habibie juga diberikan dua penghargaan sekaligus, yaitu Das Grosse Verdientkreuz dan Das Grosse Verdenstkreuz Mit Stern und Schulterband.
Kecerdasan dan prestasi Habibie yang gemilang ini rupanya didengar oleh Soeharto, Presiden yang menjabat kala itu. Melalui seorang utusan bernama Ibnu Sutowo, Soeharto meminta Habibie untuk kembali ke Indonesia. Kepulangan Habibie diharapkan akan menggebrak dunia industri Tanah Air, khususnya dibidang penerbangan.
Tanpa berpikir dua kali, Habibie bersedia meninggalkan karir cemerlangnya di Jerman untuk mengabdi di Indonesia. Pada 1973, Habibie pun kembali ke Indonesia. Tetapi jabatannya sebagai Vice President di MBB belum selesai. Dia pun harus bolak-balik Indonesia-Jerman untuk memenuhi tanggung jawab.
PT Pertamina menjadi tempat pertamanya mengabdi di Indonesia. Lalu pada 1976, Habibie ditunjuk untuk menjadi orang pertama yang memimpin PT Dirgantara Indonesia. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Vice President MBB, Habibie akhirnya benar-benar pulang pada 1978.
Dia pun langsung mendapat mandat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jabatan itu dipegangnya dalam kurun waktu dua dekade dan ia juga memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis.
Pada 14 Maret 1998, Habibie digaet menjadi Wakil Presiden mendampingi Soeharto,tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama. Selang dua bulan, terjadi demo besar-besaran yang akhirnya meruntuhkan masa pemerintahan Soeharto.
Kecerdasan Habibie di dunia penerbangan dibuktikan dengan keberhasilannya membuat pesawat terbang pertama buatan Indonesia, N250 Gatot Kaca. Pesawat yang sudah didesain apik ini mampu terbang tanpa mengalami oleng berlebihan, atau istilah penerbangannya dutch roll.
Desain awal pesawat itu dibuatnya selama lima tahun. Teknologi yang ditanamkan pun dirancang untuk tetap eksis hingga 30 tahun ke depan. Pesawat ini menjadi satu-satunya pesawat turboprop yang mengaplikasikan teknologi fire by wire. Bahkan pesawat yang dibuatnya sudah terbang 900 jam dan tinggal sejengkal untuk sertifikasi Federal Aviation Administration (AFF).
Tetapi sayangnya, saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1996 hingga 1998, PT IPTN yang membawahi proyek itu tiba-tiba dihentikan oleh Soeharto. Selain itu, adanya syarat agar proyek dihentikan demi mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) juga membuat mimpi Habibie soal N250 Gatot Kaca kandas.
Mundurnya Soeharto dari jabatan presiden akibat Tragedi Mei 1998 membuat posisi Habibie naik dari Wakil Presiden menjadi Presiden pada 21 Mei 1998, namun sayangnya hanya sampai 20 Oktober 1999. Meski begitu, banyak hal yang sudah dilakukan olehnya, seperti beberapa Undang-undang (UU) menjadi terobosan baru, yaitu UU Otonomi Daerah, UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, serta UU Partai Politik.
Selain itu, ia juga membebaskan atau memberikan peluang kepada masyarakat banyak untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini membuat berbagai partai politik bermunculan sehingga aturan yang melarang berdirinya serikat buruh independen juga dihapus.
Dalam masa singkat itu nilai tukar dollar terhadap rupiah juga berhasil ditekan. Sempat melonjak di kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu, Habibie mengakhiri masa kepemimpinannya dengan nilai tukar rupiah naik menjadi Rp 6.500.
Meski begitu, saat Habibie menjabat menjadi presiden, Indonesia harus kehilangan Timor-Timur. Hal itu terjadi setelah adanya survei yang menunjukkan jika 78,5 persen penduduk wilayah tersebut menolak tawaran Indonesia soal otonomi khusus yang kemudian Timor-Timur berubah menjadi negara Timor Leste.
Lepasnya Timor-Timur rupanya dijadikan kesempatan bagi pihak oposisi untuk melengserkan Habibie. Pada saat itu, laporan pertanggungjawabannya juga tidak diterima oleh MPR. Habibie memilih untuk kembali ke Jerman dan menjadi orang biasa. Namun saat era Susilo Bambang Yudhoyono Habibie kembali ke Indonesia dan menjadi penasihat presiden.
Kisah kasih Habibie dan Ainun telah menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Perjalanan cinta Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang lebih dikenal dengan BJ Habibie dengan sang istri Ainun Habibie disebut sebagai Romeo-Juliet Indonesia. Bahkan, kisah perjalanan pasangan yang selalu memperlihatkan keromantisannya ini diangkat menjadi sebuah film pada tahun 2012 yang membuat banyak orang meleleh iri.
Di dalam hidup Habibie, Ainun merupakan segalanya. Begitu juga sebaliknya. Sepanjang kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun Ainun beranjak meninggalkan sisi Habibie. Dia selalu mengikuti kemanapun sang suami melangkah. Mendampinginya dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar.
Namun 48 tahun kebersamaan mereka harus berakhir saat Ainun menghembuskan nafas terakhir akibat kanker ovarium. Dunia Habibie pun jungkir balik dan separuh jiwanya telah pergi. Kepandaiannya dalam ilmu pengetahuan seolah tiada guna saat dirinya buta soal sang istri yang ternyata mengidap kanker stadium lanjut.
Sepeninggal Ainun, kondisi fisik Habibie memang menurun. Beberapa kali dia harus menjalani perawatan di rumah sakit untuk memulihkan kondisinya. Habibie memang benar-benar tumbang pasca kepergian sang istri. Menulis pun menjadi pelariannya untuk menghilangkan sepi. Buku yang menceritakan kisah perjalan cinta mereka bertajuk Habibie & Ainun pun menjadi pengobat rindu.
Kondisinya yang menurun pasca kepergian Ainun rupanya dimanfaatkan beberapa pihak tidak bertanggung jawab untuk menyebar kebohongan. Sudah lebih dari dua kali mantan presiden RI ketiga itu diisukan meninggal. Dimulai dari Desember 2014 saat dirawat akibat sakit keras lalu berlanjut pada November 2016. Terakhir, isu tersebut kembali hangat di April 2018. Hingga akhirnya, pada Rabu 11 September 2019 pukul. 18.05 WIB, BJ Habibie benar-benar wafat di usia 83 tahun pasca dirawat intensif sejak 1 September 2019 di RSPAD Gatot Soebroto karena penyakit yang dideritanya.
Dari kisahnya BJ Habibie menunjukan bahwa ia merupakan seorang yang memiliki jiwa nasionalisme dan cinta tanah air yang sangat tinggi. Ini terlihat, walau BJ Habibie mengenyam pendidikan dan sempat bekerja di luar negeri, namun ia tetap tidak melupakan tanah kelahirannya Indonesia. Bahkan ia rela melepaskan karier bagusnya di luar negeri hanya untuk membangun Indonesia agar lebih maju di masa depan. (*/Red)