Pendiri SMRC: Masyarakat Indonesia Umumnya Memang Tak Toleran

BI Banten Belanja Nataru

 

JAKARTA – Masyarakat Indonesia umumnya memang tidak toleran. Hal ini dikemukakan oleh pakar ilmu politik, Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ yang bertajuk “Masyarakat Kita Makin Intoleran?” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 14 April 2022.

Saiful menjelaskan bahwa salah satu elemen utama untuk mendukung demokrasi adalah adanya toleransi yang kuat dalam masyarakat. Selama ini banyak orang, terutama kalangan luar Indonesia, yang menganggap masyarakat Indonesia toleran, moderat, dan muslimnya moderat. Namun apakah memang demikian?

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini mengemukakan bahwa kalau ingin melihat seberapa jauh masyarakat Indonesia toleran atau tidak toleran, pertama-tama yang harus jelas terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud dengan toleransi.

Toleransi, menurut Saiful, adalah willingness atau keinginan untuk menerima perbedaan, termasuk dengan orang yang tidak setuju.

“Kita harus rela memberikan kesempatan yang sama pada siapa pun untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Kalaupun kita tidak setuju dengan yang diperjuangkannya, itu hak dia,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

“Kamu punya keinginan A, saya punya keingan B. Kita kontes saja,” jelasnya. Tapi semua ini harus dilindungi secara sama oleh negara. Bahwa si A bisa memperjuangkan hak-haknya, si B juga demikian.

“Toleransi adalah membolehkan atau memberi kesempatan pada orang, termasuk pada yang tidak kita sukai,” tambahnya.

Doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini mengemukakan bahwa adanya kelompok tertentu yang tidak disukai adalah hal yang biasa.

“Tapi jangan sampai ketidak-sukaan itu menghalang-halangi orang untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara. Jadi kalau ada yang tidak suka, misalnya dalam kasus Ade Armando, itu hak dia untuk tidak suka. Tapi kita tidak punya hak untuk menghalang-halangi Ade Armando hidup sebagai warga negara,” terangnya.

“Tidak suka dengan Ade Armando, misalnya, atau tidak suka dengan pemikirannya, boleh. Tapi tidak ada yang punya hak untuk menghalangi Ade Armando hidup di negeri ini. Itu yang fundamental. Hal itu dijamin oleh konsitusi dan hukum,” imbuhnya.

Karena itu, menurut Saiful, toleransi sangat berdampingan dengan penegakan hukum. Semakin sebuah negara beradab, maka upaya untuk penegakan hukum juga semakin kuat.

“Apakah sebenarnya masyarakat kita itu toleran atau tidak toleran secara umum? Seberapa toleran dan seberapa tidak toleran?,” ucapnya.

Saiful Mujani mengemukakan data survei yang dilakukannya dari 2004 sampai 2017. Pertanyaan mendasar yang diajukan dalam survei-survei itu adalah apakah ada masyarakat yang paling anda tidak sukai?.

Saiful mengingatkan bahwa ketidaksukaan seseorang pada satu kelompok masyarakat adalah sesuatu yang wajar.

“Tapi apakah dia tetap bisa mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara atau tidak. Kalau anda tidak toleran, maka anda tidak akan terima orang yang tidak disukai itu mendapatkan hak-haknya, misalnya menjadi pegawai negeri, menjadi pejabat publik, mendapatkan bantuan dari pemerintah, menjalankan agama dan keyakinan, dan seterusnya,” terangnya.

Itu semua, menurut Saiful, adalah hak yang dijamin oleh konstitusi.

Dari data itu ditemukan bahwa mayoritas warga menyatakan ada kelompok masyarakat yang paling mereka tidak sukai.

Angkanya fluktuatif, sempat 81 persen dan 85 persen, turun sampai 2013, tapi kemudian naik kembali. Pada survei 2017, angkanya 67 persen. Delapan tahun terakhir, angka ini mengalami kenaikan. Sementara yang menyatakan tidak ada kelompok yang dibenci, juga lumayan besar, tapi tidak mayoritas. Pada survei 2017, 32 persen.

“Dari data ketidaksukaan ini kemudian ditelusuri, apakah mereka ini menghalang-halangi hak warga yang tidak disukainya. Kalau mereka menghalang-halangi, berarti mereka tidak toleran. Sebaliknya, kalau mereka tidak menghalangi, berarti mereka toleran, walaupun tidak suka para orang-orang itu,” bebernya.

Saiful menjelaskan, ada beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur toleransi dan intoleransi itu.

Pertama, berpidato di sekitar tempat tinggalnya. Data dari 2008 sampai 2017, rata-rata 90 persen yang keberatan. Pawai di daerah situ, 90an persen yang keberatan. Demikian pula menjadi guru untuk sekolah negeri, secara umum ditolak. Juga tidak boleh jadi presiden atau pejabat pemerintah.

Pijat Refleksi

“Data itu menunjukkan, secara umum, tingkat intoleransi menguat di tengah masyarakat. Artinya kita tidak menoleransi orang-orang yang berbeda dengan kita untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara,” terang Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.

Kemudian yang lebih spesifik adalah keberatan masyarakat jika orang Kristen mengadakan kebaktian di daerah sini, 35 persen pada 2017, bahkan sempat 52 persen tahun 2010. Tentang membangun gereja di sekitar tempat tinggalnya, mayoritas keberatan, 50 persen ke atas.

Saiful menjelaskan kenapa angka keberatan tentang pembangunan rumah ibadah dan kebaktian Kristen lebih rendah dari angka data sebelumnya, karena kelompok yang tidak disukai pada poin sebelumnya tidak harus terkait dengan agama.

Ketika ditanya, kelompok mana yang tidak disukai? Ada yang menyebut Kristen, Yahudi, PKI, LGBT. Itu yang menyebabkan angka penolakannya lebih tinggi, menurutnya.

Saiful mengemukakan bahwa kalau lihat dari toleransi masyarakat, tantangan Indonesia tentang masalah kesetaraan dan toleransi di antara warga negara masih sangat berat.

Artinya, kata Saiful, aktivis seperti Ade Armando berhadapan dengan jumlah orang yang begitu besar. Dan bersamaan dengan itu, ini juga merupakan tantangan untuk negara. Karena negara yang paling bertanggungjawab untuk menjamin hak-hak warga negara.

“Ini masalah yang sangat mendasar, yaitu masalah hak-hak kewarganegaraan,” tegas Saiful.

Saiful menyimpulkan bahwa masalah besar ini mungkin terkait dengan dengan persoalan pendidikan. Nampaknya, pendidikan di Indonesia tidak begitu kuat untuk menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan.

Kedua, tentang penegakan hukum. Kualitas dan kuantitasnya perlu ditingkatkan, kata dia. Karena bagaimana pun, tegas Saiful, negara harus kuat, bukan dalam pengertian represif, tapi betul-betul terjadi penegakan hukum sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh DPR.

Lebih jauh Saiful menyatakan bahwa perjuangan, terutama bagi para aktivis, untuk membangun Indonesia sebagai negara yang toleran dihadapkan pada tantangan yang sangat berat di tingkat massa.

“Harapan saya, semua memberi perhatian, terutama pemerintah dan para elit politik untuk memperhatikan ini secara lebih sistematik untuk Indonesia yang lebih baik ke depan,” jelasnya.

Saiful menambahkan bahwa ada satu hal lain bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Konstitusi, yaitu UU tentang Penistaan Agama.

Dikatakannya, orang punya pandangan tertentu tentang agama kemudian dianggap sebagai suatu penistaan.

“Dan korbannya sudah banyak. Karena itu, di tingkat legal formalnya saja masih ada masalah,” katanya.

Dan toleransi, kata dia, harusnya menjamin hak-hak minoritas atau mereka yang berpandangan berbeda atau tidak mainstream untuk bersuara sesuai dengan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi.

Oleh karena itu, lanjutnya, menjadi sangat berat apabila kita berdiam diri menghadapi persoalan ini atau menganggap semuanya baik-baik saja. Ada momentum untuk melakukan kekerasan, maka itu akan terjadi. Itulah yang terjadi pada Ade Armando, kata Saiful.

Saiful mengkritik orang yang mempertanyakan mengapa Ade Armando ada di kerumunan massa aksi 11 April lalu.

“Itu hak warga negara,” tegas Saiful.

Apalagi, kata dia, Ade Armando datang ke sana untuk memberi dukungan pada aksi demonstrasi.

“Saya pun ada keinginan untuk datang ke sana. Tapi saya sedang kurang sehat,” ungkapnya.

Sekali lagi, Saiful menegaskan Itu tantangan yang sangat berat dan harus dihadapi.

“Tidak ada pilihan lain. Selama kita masih ingin Indonesia ada.” tandasnya. (*/Faqih)

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien