Rupiah Hampir Rp15 Ribu, Industri Ini Mulai Kembang Kempis

KPU Cilegon Coblos

FAKTA BANTEN – Industri produsen kemasan kaleng dan tutup botol mengaku sangat kesulitan dengan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sudah menyentuh angka di atas Rp14.900 per dolar AS.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Kemas Kaleng Indonesia (APKKI) Arief Junaidi mengungkapkan, hal itu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar telah melebar jauh dari asumsi nilai tukar yang dipatok dalam perencanaan keuangan perusahaan di 2018 yang sebesar Rp13.500 per dolar AS.

“Terkait nilai tukar, pasti kami kesulitan. Dalam perencanaan keuangan perusahaan atau bujet 2018, kami sudah patok dengan Rp13.500, tetapi saat ini sudah Rp15 ribu. Koreksinya terlalu besar,” ungkapnya, Rabu (5/09/2018).

Di samping itu, lanjut dia, sebagai industri yang mayoritasnya menggunakan bahan baku impor, berupa tinplate atau baja berlapis timah sebanyak 90 ribu ton per tahun, maka selisih pelebaran kurs tersebut tentu akan menaikkan biaya produksinya.

“Sedangkan penjualan kami 80 persen ke domestic market dengan rupiah. Pembayaran-pembayaran yang jatuh tempo juga sangat terasa memberatkan karena pembayaran harus full amount dangan US$,” kata dia.

Meski begitu, lanjutnya, dengan pelebaran kurs tersebut, industri kemas kaleng dan tutup botol tidak serta merta dapat menaikkan harga jual. Hal ini disebabkan karena adanya penolakan dari konsumen atau pelanggan mereka yang sama-sama tengah menghadapi kondisi pelemahan nilai tukar.

“Saat ini, mereka juga sedang melakukan cost efficiency dan justru meminta penurunan harga. Bisa dibayangkan tekanan yang bertubi-tubi ini. Bila kita memaksa naik harga jual, pilihannya adalah naik di bawah empat persen, itu pun bila pelanggan mau atau mereka impor langsung dari luar negeri dengan bea masuk nol persen,” tambahnya.

Pilihan untuk menaikkan harga jual ataupun melakukan impor langsung oleh pelanggan tersebut dikatakannya tidak mungkin dilakukan, sebab hanya akan memperparah pelebaran impor yang berdampak pada neraca perdagangan Indonesia, sehingga semakin memperparah nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Karena itu, kata dia, strategi yang bisa dilakukan industri diantaranya bertahan dengan makin mengencangkan ikat pinggang dengan menurunkan profit penjualan dan terus melakukan inovasi untuk menghasilkan cost saving, menahan investasi, ataupun pengurangan karyawan.

“Pengurangan karyawan ini sebenarnya pisau bermata dua. Satu sisi mengurangi fixed cost tapi juga akan mengganggu operational produksi karena manpower yg berkurang yang ujung-ujungnya menurunkan omzet juga. Pengurangan karyawan juga memicu gejolak atau unjuk rasa dan menambah pengangguran yang berujung goyangnya stabilitas nasional,” tutur Arief.

Terlebih, tambah dia, dalam tahun politik ini industri tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bertahan dan menunggu langkah konkrit pemerintah untuk memberikan solusi. “Kondisi saat ini, sangat serius dan bersifat nasional,” tegasnya. (*/Viva)

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien