Oleh Hanibal Wijayanta
Menurut Noam Chomsky, Strategi Manipulasi Masyarakat yang pertama adalah Strategi Gangguan. Strategi gangguan ini adalah elemen utama kontrol sosial. Strategi ini sengaja dipakai untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting dan perubahan yang ditentukan oleh elit politik dan ekonomi. Caranya dengan membanjiri masyarakat dengan gangguan informasi yang tak signifikan. Strategi gangguan juga penting untuk mencegah minat publik untuk memahami berbagai bidang ilmu, terutama ekonomi, psikologi, neurobiologi dan cybernetics.
Dalam buku Silent Weapons for Quiet War disebutkan berbagai metode yang diterapkan untuk masing-masing sarana manipulasi: “Media: Keep the adult public attention diverted away from the real social issues, and captivated by matters of no real importance; Schools: Keep the young public ignorant of, real mathematics, real economics, real law, real history; Entertainment: Keep the public entertainment below a sixth-grade level; Work: Keep the public busy, busy, busy, with no time to think; back on the farm with the other animals.”
“Media: Upayakan agar perhatian masyarakat dewasa teralihkan dari masalah-masalah sosial riil, dan menjadi terpikat akan masalah-masalah yang tidak penting; Sekolah: Upayakan agar publik muda bodoh/tidak faham akan matematika nyata, ekonomi riil, hukum yang hak, dan sejarah yang sesungguhnya; Hiburan: Berikan hiburan untuk masyarakat umum pada level rendah, di bawah tingkat kelas enam SD; Pekerjaan: Jagalah agar publik selalu sibuk, sibuk, dan sibuk, sehingga tiada waktu lagi untuk berpikir; kembali ke peternakan dengan hewan-hewan lainnya (istilah dalam Novel Animal Farm karya George Orwell yang menggambarkan keteraturan bekerja hingga seperti mesin).”
Apakah menurut Anda jargon kerja, kerja, kerja agak mirip dengan metode ini?
Buku Silent Weapons for Quiet War adalah sebuah buku manual rekayasa sosial Amerika Serikat, tertanggal Mei 1979 yang didedikasikan sebagai terbitan dalam rangka ulang tahun “Perang Dunia Ketiga” yang biasa disebut sebagai Quiet War. Buku ini ditemukan pada 7 July 1986 dan kemudian dibocorkan oleh bekas intel Angkatan Laut Amerika Serikat Milton William Cooper. Buku ini menjadi buku paling kontroversial setelah The Protocols of The Learned Elder of Zion.
Dari penjelasan Chomsky maupun uraian buku Silent Weapons for Quiet War, kita dapat menyaksikan bahwa apa yang berseliweran di media kita kebanyakan adalah banjir informasi yang sebenarnya tidak terlalu penting-penting amat. Cobalah tengok media massa kita, baca berita-berita yang ditulis dan ditayangkan, lihatlah talkshow-talkshow di televisi kita. Benar mereka menyinggung berbagai masalah, tapi rata-rata hanya berputar-putar di permukaan, menonjolkan dampak, memunculkan pro kontra ecek-ecek, tapi tak menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
Lihatlah apa yang dipelajari anak-anak kita di sekolah. Apakah mereka mendapat pengajaran yang baik tentang matematika, pengetahuan alam, sejarah, informatika dan bahasa. Bukankah masyarakat selalu saja diributkan soal ganti buku tiap naik kelas, kualitas buku ajar yang buruk, materi pelajaran yang ajaib-ajaib? Belum lagi soal mahalnya buku dan hilangnya mata pelajaran penting, sementara mereka terus dicekoki dengan berbagai PR dan tugas-tugas yang kadang tak jelas apa maksudnya.
Tengok pula dunia entertainment kita. Betapa banyak tayangan hiburan yang melecehkan akal sehat; talkshow-talkshow dagelan yang memamerkan kebodohan orang; komedi-komedi porno, slapstick, dan sarkastik; gambar-gambar seronok dan gosip-gosip murahan berlabel infotainment, informasi selebritis, dan investigasi selebritis, muncul di mana-mana. Anehnya, tayangan-tayangan below sixth-grade level itu disiarkan berjam-jam, dengan alasan rating dan share tinggi serta slot iklannya laku dijual.
Rutinitas pekerjaan kaum buruh, karyawan, dan kaum menengah perkotaan di Jakarta dan lima kota besar Indonesia menggambarkan betapa sibuknya mereka. Meski strategi gangguan mungkin belum sempat diterapkan untuk membuat super sibuk, mereka sudah dibuat repot dengan kemacetan, transportasi massal yang tak memadai, dan lingkungan kerja yang tak kondusif. Akibatnya mereka sudah tak ada waktu lagi untuk berpikir serius di luar pekerjaan, atau kembali mengurus lingkungan sekitar. Di waktu senggang mereka mencoba rehat dengan olah raga, rekreasi dan entertainment. (*/kanigoro.com)