“Untuk Banser: Ada Puluhan Juta Orang Siap Disebut Mayat”
*) Oleh: Asyari Usman
KETIKA Hizbut Tahir Indonesia (HTI) dibubarkan tahun lalu oleh pemerintah, nyaris tidak ada reaksi keras dari umat Islam. Memang banyak pernyataan sikap yang sifatnya menyayangkan pembubaran itu, tetapi umat bisa menerimanya. Kondusif. Tidak ada masalah.
Seharusnya, kelompok pembenci HTI, khususnya warga Banser, sudah cukup sampai di situ. Kalau mau berjaga-jaga, silakan. Tak ada yang melarang.
Mantan warga HTI juga tidak “ngeyel” setelah gugatan mereka di PTUN ditolak awal Mei 2018. Mereka mematuhi konsekuensi pelarangan terhadap eksistensi mereka. Tidak ada keributan. Mereka menutup semua kantor atau tempat kegiatan milik HTI di seluruh Indonesia. Mereka patuh sesuai ketentuan hukum.
Sekali lagi, seharusnya cukup sampai di situ bagi elemen yang membenci HTI. Tetapi, rupanya orang-orang yang mengaku pelindung NKRI, yaitu Banser (Barisan Ansor Serbaguna), masih menjadikan HTI sebagai “monster”. Entah karena apa. Bisa jadi karena betul-betul benci. Bisa jadi juga karena alasan lain. Wallahu a’lam.
Mungkin saja Banser perlu berteriak-teriak tentang ancaman HTI supaya mereka tetap punya aktivitas. Banyak yang menduga itu merupakan “alasan eksistensional” Banser sendiri. Padahal, lembaga pemangku tugas keamanan dan pengamanan negara yang paling relevan terhadap ancaman HTI, yaitu TNI, tidak pernah meletakkan HTI sebagai monster yang bakal hidup kembali.
Bukankah TNI lebih paham soal ancaman terhadap Pancasila dan NKRI dibandingkan Banser? Apakah Banser mengira TNI tidak punya perangkat untuk mendeteksi ancaman ekstremisme? Bukankah TNI akan lebih mudah menghancurkan ancaman HTI? Atau, Banser merasa lebih hebat dari TNI? Wallahu a’lam.
Itu pun tidak masalah bagi orang lain. Nah, prsoalan kemudian muncul ketika Banser berbuat ceroboh. Kalimat tauhid di atas kain hitam yang menyerupai bendera HTI, mereka bakar. Di Garut (22 Oktober 2018). Membakar pakai ritual lagi. Ada lagu mars, ada kepalan tinju, ada emosi yang tinggi.
Terjadilah perdebatan. Yang dibakar itu bendera HTI atau bukan. MUI mengatakan bukan bendera HTI. Sedangkan NU dan Banser mengatakan itu bendera HTI. Polisi menyimpulkan yang dibakar itu bendera HTI.
Tetapi, masyarakat yakin itu bukan bendera HTI. Hanya kalimat tauhid. Rekaman video “upacara pembakaran” menunjukkan bahwa kalimat tauhdi di kain-kain hitam itu tidak menerakan tulisan HTI.
Ada kesan bahwa kesimpulan “yang dibakar adalah bendera HTI”, dipaksakan sebagai kebenaran. Tetapi, umat Islam tampaknya merasa tak penting lagi dengan perdebatan itu. Umat yakin oknum-oknum Banser membakar kalimat tauhid seperti tampak di rekaman vodeo yang viral di YouTube dan platform media sosial lainnya.
Ada satu hal yang mungkin dianggap remeh atau tak diduga oleh para oknum Banser. Anda berpikir bahwa umat Islam tidak akan bangkit membela kalimat tauhid karena takut disebut HTI. Keliru sekali, menurut hemat saya.
Jangankan cuma disebut HTI, dikatakan mayat pun orang tak peduli kalau sudah menyangkut penghinaan terhadap kalimat tauhid. Ada puluhan juta orang yang siap disebut mayat. Baik itu orang yang beriman lemah, apalagi yang beriman keras.
Ini yang mungkin perlu dipikir ulang oleh saudaraku dari Banser agar tidak lagi salah langkah. Agar tidak lagi main bakar. Tidak main persekusi seenaknya. Agar tidak berucap dan bertindak sesuak hati. Agar tidak lagi main labelisasi bahwa orang lain tak pancasilais, orang lain anti-NKRI, dlsb.
Sebagai penutup, sikap pimpinan Banser yang menolak untuk meminta maaf atas pembakaran kalimat tauhid itu, tidak mencerminkan sifat-sifat mulia Anda sebagai penjaga NKRI. Sepemahaman saya, menjaga NKRI tidak hanya dengan seragam loreng. Tidak harus dengan gaya militeristik seperti yang selalu Anda pamerkan.
Menjaga NKRI tidak mesti dengan otot, 24 jam. Perlu juga pakai nalar yang sehat. Yaitu, nalar yang meramu kemuliaan akhlak dan lidah. Bukan nalar yang disungkup oleh arogansi, tetapi nalar yang didominasi oleh elegansi. (***)
*) Penulis adalah wartawan senior