Loading...

Amalan 10 Hari Ke-2 Bulan Ramadhan dengan Rembug Sedulur Beristigfar

Loading...

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

SETELAH melewati 10 hari pertama bulan Ramadhan 1439 Hijriyah, dimana Allah SWT memberikan Rahmat dan limpahan pahala dari berbagai amalan yang kita lakukan selama puasa. Secara logika, fase-fase 10 hari pertama Ramadhan nisa jadi fase terberat dan sulit karena merupakan fase peralihan dari kebiasaan pola makan normal menjadi harus menahan lapar dan haus mulai dari Hubuh hingga Maghrib.

Namun secara abstraks, dimana definisi Rahmat yang tak bisa dijangkau secara ilmiah. Rahmat juga bisa merupakan akumulasi kemudahan dari Allah SWT berupa nuansa, nilai kasih serta berbagai kemungkinan yang justru mempermudah kita dalam menjalani ibadah puasa.

Perbanyak Istighfar di 10 Hari Kedua Ramadhan

Maka, pada 10 hari kedua Ramadhan yang akan kita hadapi mulai besok Minggu (27/5/2018), mungkin secara adaptasi fisik akan terasa lebih ringan tubuh sudah mulai terbiasa dengan aktivitas puasa yang menuntut seseorang untuk tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga saat matahari terbenam.

Untuk keutamaan 10 hari kedua bulan Ramadhan adalah Maghfiroh. Seperti yang disebutkan didalam hadist Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)”. Nah, pada fase kedua atau fase 10 hari kedua Ramadhan inilah Allah membukakan pintu magfirah atau ampunan yang seluas-luasnya.

Pada waktu-waktu inilah saat yang paling tepat untuk memperbanyak doa serta memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lalu agar diampuni dan dibebaskan dari hukuman. Namun pada relaitanya pada fase pertengahan ini, mungkin tidak sedikit diantara kita yang justru malah disibukan pada hal-hal yang erat kaitannya dengan urusan materi sebagai bekal perayaan untuk lebaran. Hal ini didindikasikan dari mulai majunya Shaf jama’ah Tarawih.

Padahal, pada 10 hari kedua Ramadhan ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengurangi dosa-dosa yang telah kita perbuat. Dengan memohon ampunan dengan tulus dan bersungguh-sungguh serta bertobat dari hati yang terdalam, Insya Allah pasti mendapatkan ampunan-Nya.

Sedangkan pada 10 hari ke 3 bulan Ramadhan sebagai dijelaskan pada Hadist diatas, sebagai Itqun Minan Nar. Bagi sebagian muslim, fase ini adalah upaya meningkatkan intensitas ibadah dengan memperbanyak dzikir, i’tikaf dan sebagainya. Meski tidak bisa dipungkiri, bagi bagian sebagian muslim lainnya yang biasanya justru malah disibukan pada urusan yang bersifat duniawi. Seperti belanja pakaian dan makanan lebaran.

Ayo Rembug Sedulur Beristighfar

Untuk berkaca pada dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat selam ini, ada baiknya kita berguru pada _mbah buyut_ kita Nabi Adam As, manusia pertama yang begitu menyadari kesalahannya memohon ampunan kepada Allah SWT:

_Rabbana Dholamna anfusana wai`llam taghfirlanaa watarhamna lanakuunanna minadholimiin_

“Ya Allah, kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak Engkau ampuni kami dan merahmati kami, tentulah kami menjadi orang yang rugi,”

Loading...

Begitu juga Nabi Yunus As yang menyadari kesalahannya ketika tengah kesulitan berada dalam perut ikan, beliau berdo’a kepada Allah SWT. Maka ketika kita sedang dalam kesulitan atau ada petaka yang menimpa atau di dalam bahasa zaman sekarang saat-saat kecemasan (emergency), perlulah individiu seorang mukmin juga berdo’a seperti beliau;

_Laa Ilaha Anta Subhanaka inni kuntu minadholimiin_َ

“Tiada tuhan kecuali Engkau. Maha suci Engkau, sesungguhnya kami tergolong orang-orang dholim,”

Ya Allah, kurang dholim apalagi kami? Ketika berjejer kejadian yang meniadakan kemanusiaan, kami malah asyik terjebak dalam siapa benar siapa salah. Apakah kita telah lupa bahwa kebenaran hanya milik Allah? Tidak. Kita tidak lupa.
Hanya kesadaran kita yang terlalu berpatok panca indera sehingga tak mampu keluar dari kubangan kesementaraan.

Ya Allah, bukankah Kau ciptakan alam semesta ini berdasar cinta? Sehingga Nur Muhammad-lah yang pertama Kau ciptakan. Lantas mengapa kami, manusia, tak kunjung bisa keluar dari kegelapan nafsu?

Memang perbedaan adalah keniscayaan. Namun perbedaan macam apa yang melahirkan penistaan, penghakiman sepihak, pembelaan membabibuta, peniadaan diri-Mu dalam seluk beluk proses perjalanan hidup kami? Nama-Mu memang selalu bergema, ditempatkan dalam singgasana yang “dirasa” termulia di kalbu masing-masing kami. Namun bila yang muncul malah perdebatan yang tak pernah usai, pertentangan yang semakin menajam dan keinginan untuk menyakiti yang semakin tinggi, masih layakkah kami mengharap ridlo-Mu?

Ya Allah, bangsa kami terkenal sebagai bangsa yang ramah. Bangsa yang paling banyak tersenyum. Namun bila indikator keramahan hanya diukur dari senyum, maka kami berpotensi menjadi bangsa yang paling kejam. Karena senyum bisa menjadi sumber luka. Apalah arti menampakan barisan gigi, bila dibaliknya tersembunyi hati yang siap membenci.

Bangsa kami memang bangsa yang ramah, tapi seringkali tak tepat menempatkan keramahannya. Pada orang asing selalu kita ramah-ramah, namun kepada saudara dan tetangga tak jarang kita marah-marah. Ya Allah, kami memang orang dholim. Orang yang belum mampu untuk tahu diri. Kalau pun tahu, itu hanya sebatas ada mau.

Semata harta dan tahta itulah mau kami. Coba kita lihat sumber seluruh pertentangan kita, lepaskah dari dimensi harta dan tahta? Bilapun ada yang mau lepas, hujan nyinyir sesegera mungkin menerpa tubuhnya.

Mengutip lirik lagu “Keluarga Cemara” yang dinyanyikan Ibu Novia Kolopaking, di era tahun 90an, “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Kami itu keluarga, keluarga seiman, sesuku, sebangsa dan setanah air, lebih jauhnya lagi kami itu keluarga sesama manusia, sesama mahluk ciptaan Allah SWT. Bila kesadaran keluarga telah tertanam dimasing-masing diri, masihkah ingin mengorbankan harta yang paling berharga ini hanya demi harta yang semu?

Kami itu bersaudara, tapi nuansa persaudaraan kami tenggelam oleh kompetisi menang-kalah benar-salah. Kamilah pengejar rasa menang, hingga tanpa sadar kekalahan pun dihisap-hisap serasa menang. Hanya karena kami puas melihat saudara sendiri kelojotan dibawah tatapan mata sendiri. Kami itu mabuk rasa. Kami itu membutakan rasa. Harta, tahta dan syahwat yang mengalir dari perut kebawah itulah rasa sejati kami.

Ya Allah, kami memang dholim. Pekerjaan kami hanyalah memutus-mutus tali silaturahmi. Menjilat remah-remah sampah kehidupan. Mengagung-agung pengaruh, wibawa dan kuasa. Hingga tanpa sadar kami semua saling bunuh nurani.

Kami memang dholim Ya Rabb, namun saat ini tak ada lagi yang bisa menolong kami. Tak ada sesiapa lagi yang bisa menyatukan kami, kecuali Engkau Ya Allah. Setelah sekian lama kami menyelingkuhi-Mu, perkenankanlah kami kembali. (*)

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Loading...
WhatsApp us
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien