Antara Krakatau Steel, Pemkot Cilegon dan Tanah Kuburan

Sankyu

Oleh: Ali Fahmi

STATEMENT yang pertama kali diungkapkan oleh Bapak Silmi Karim setelah dikukuhkan sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, adalah terkait dengan lahan PT KS yang masih digunakan/dimanfaatkan oleh gedung-gedung Pemerintah Kota Cilegon dan DPRD, dan beberapa fasilitas umum lainnya. Statement ini entah akan bermuara ke arah mana, disusul kemudian oleh statement Walikota Cilegon Edi Ariadi, yang membenarkan hal tersebut, yang terkesan hanya menegaskan bahwa itu adalah kesalahan yang dibuat oleh pejabat yang sebelumnya.

Tanpa disadari pernyataan dari masing-masing pihak hanya menggambarkan hanya mewakili pribadinya, bukan representasi dirinya sebagai pemimpin dalam institusi atau instansinya, pernyataan ini sudah lama namun tidak berkelanjutan pada pembicaraan upaya penyelesaian. Tentu disadari bahwa persoalan ini hanya akan menjadi bom waktu bagi kedua belah pihak, dan lagi-lagi hanya akan merugikan masyarakat.

Tentu dari masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda, tapi seharusnya ada titik persamaan yang bisa dikerjakan secara bersama demi atas nama kepentingan masyarakat.

Semua sudah mafhum bahwa lahan PT KS hampir menguasai sebagian Kota Cilegon pada titik yang strategis, sehingga bukan soal mudah sepertinya bagi Pemkot Cilegon dalam melakukan penataan kota.

Ada banyak cerita fasilitas umum yang ikut digusur namun entah siapa yang menerima kompensasinya, ini pun seakan mencari jarum dalam jerami, itu cerita lama yang seharusnya menjadi PR bersama untuk didiskusikan oleh para pemangku kepentingan. Kemudian berlanjut pemerintah daerah mengurus dan menerbitkan status dan kelengkapan administrasinya,

Sekda ramadhan

PT KS telah membangun banyak fasilitas sekolah dari tingkatan SD hingga SLTA, Pusdiklat bahkan Untirta, kolam renang perhotelan dan fasilitas-fasilitas komersil lainnya. Namun ada hal yang tidak dilakukan oleh PT KS, dan ini miris sebab PT KS tidak membangun makam/TPU, padahal urbanisasi dalam jumlah besar ini terjadi disebabkan oleh pembangunan industri yang kian tumbuh pesat.
Menjadi miris ketika fasilitas makam/TPU masih mengandalkan tanah wakaf yang ada.

Mencuatnya kasus Makam Balung dan yang terbaru adalah kabar makam Kubang Wates, ini harus kita jadikan sebagai warning, di tengah pengembangan pembangunan yang terus bergerak, namun di lain sisi adalah terbatasnya lahan dan pada akhirnya menyisakan tanah makam-makam yang strategis.

Harus ada kebijakan yang bijaksana, dan harus mulai menata pembangunan dalam rentang waktu panjang dengan landasan pijakan kearifan lokal, sehingga ada yang bisa kita sisakan untuk masa depan anak cucu kita.

Mencuatnya persoalan Makam Balung dan kemudian baru-baru ini mencuat soal makam Kubang Wates, ini tentu menjadi kehawatiran sekaligus warning akan menjadi sebab keretakan sosial, dan membuka ruang kepada persoalan kesenjangan sosial, di tengah meningkatnya pengangguran, kualitas hidup yang menurun hingga pemilik negeri kemudian menjadi penghuni rumah rumah bedeng, dan banyak lagi persoalan-persoalan sosial yang ada.

Harapan satu satunya yang bisa menyelesaikan masalah adalah mari kembali mengacu kepada kearifan lokal.
Dalam arti yang lain adalah gagasan, nilai, pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya, sebagaimana bangsa ini didirikan dari azas kebersamaan, dengan nilai-nilai gotong-royong, namun dibuat ripuh oleh nilai-nilai kepentingan kapitalisasi industri.

Teringat dengan yang disampaikan oleh Anis Baswedan sebagai Gubernur Jakarta, maju kotanya bahagia warganya, dengan pengertian bahagia adalah pemenuhan hak-hak yang mendasar sebagai warga dapat terpenuhi selama hidupnya bahkan saat dimakamkan pun mendapat tempat yang layak.

(Penulis adalah Pengamat Sosial di Kota Cilegon)

Honda