BJ Habibie dan Problem Kesinambungan Industri Dirgantara
Oleh : Ricky Rachmadi, SH, MH (Penulis mantan Pemimpin Redaksi HU Suara Karya. Saat ini Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi DPP Partai Golkar)
Tulisan ini dipersiapkan guna mengenang satu tahun wafatnya (Alm) Prof Dr Ing BJ Habibie yang telah pergi meninggalkan bangsa ini kurang lebih setahun lalu yaitu pada 11 September 2019. Bangsa ini tentu sangat berduka atas kepergian alm akibat jasa-jasanya yang besar dan luar biasa semasa hidup dalam meletakkan kiprah industri dirgantara di tanah air, utamanya dalam membangun serta meletakkan mimpi bangsa ini untuk memiliki pesawat sendiri atau yang diciptakan sebagai karya putra-putri bangsa ini dengan perencanaan teknologi mutakhir di bawah cita-cita, kemampuan, dan kepemimpinan alm yang tergolong gigih untuk mewujudkannya.
Dalam mengenang alm, menurut UU No. 20 Th 2009 bahwa Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan dengan tujuan untuk menghargai jasa setiap orang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi yang telah mendarmabaktikan diri termasuk berjasa besar dalam berbagai bidang kehidupan berbanga dan bernegara. Tanda Kehormatan itu diberikan untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan, kepatriotan, dan kejuangan bagi setiap orang untuk mengembangkan kemajuan dan kejayaan bangsa atau negara.
Menurut Pasal 1 UU tersebut, bintang adalah tanda kehormatan tertinggi. Sementara dalam Pasal 25, disebutkan syarat umum yang harus dipenuhi bila orang ingin mendapatkannya, bahwa orang yang bersangkutan haruslah WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah NKRI, memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, juga tidak pernah dipenjara berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara singkat 5 tahun.
Berkaitan dengan UU tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan itu, maka Almarhum BJ. Habibie adalah orang yang mendapatkan semua tanda kehormatan bintang (sipil maupun militer) dengan kelas tertinggi; Bintang Repubik Indonesia Adipurna, Bintang Republik Indonesia Adipradana, Bintang Mahaputera Adipurna, Bintang Mahaputra Adipradana, Bintang Jasa Utama, Bintang Budaya Parama Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama.
Bintang-bintang di atas diberikan negara dalam kiprah almarhum di Indonesia. Namun demikian, dunia internasional pun mengakui kontribusi Presiden Indonesia Ke-3 ini. Dalam kapasitasnya sebagai pakar pesawat, negara-negara maju yang mempunyai perhatian sangat besar pada dunia dirgantara seperti Amerika, Prancis, Inggris, Jerman mendudukkan Habibie sebagai Anggota Kehormatan di berbagai komunitas akademik dan profesional Aeuronautika. Bahkan Jepang dan Malaysia mencantumkannya sebagai anggota kehormatan di Persatuan Insinyur Malaysia dan Japanese Academy of Engineering.
Penghargaan nasional dan internasional di atas hanyalah bagian dari penghargaan formal dan penghargaan yang bisa diungkapkan.
Selain itu banyak penghargaan yang tidak bisa diungkap, yakni Habibie adalah figur yang mendapat penghargaan di hampir benak setiap orang tua di Indonesia. Bagi banyak orang tua di Indonesia, nama Habibie selalu berkorelasi erat dengan kecerdasan. Karenanya bagi banyak orang tua di Indonesia, penyebutan nama Habibie bukan hanya sekadar penyebutan sebuah nama, tapi juga doa. Mereka selalu berharap bahwa anak-anaknya kelak akan seperti Habibie yang pintar dan sukses. Karena itu tidak heran banyak anak yang bermimpi ingin menjadi hebat dan pintar dengan mengatakan mereka ingin seperti Habibie.
Riwayat Habibie pun memang berkaitan erat dengan kepintaran dan kecerdasan. Gelar doktor aeronatika di RWTH Aachen Jerman Barat, diraih dengan predikat Summa Cum Laude.
Habibie adalah Menteri Riset dan Teknologi terlama di negara ini selama 20 tahun. Tidak terlupakan julukannya sebagai Mr Crack, setelah dunia Aeronatika buntu menghadapi problem retakan pesawat yang mengancam keselamatan penerbangan, maka Habibie datang dengan kemampuan rumusan menghitung rambatan.
Rumusan Habibie itu adalah yang sangat detail tentang “Crack” yaitu penghitungan sampai tingkat atom, yang bukan hanya bisa memprediksi pergerakan retakan pesawat dan menghindarkannya dari kecelakaan penerbangan, tetapi juga bisa merumuskan langkah-langkah memperpanjang umur pesawat.
Namun dibalik sinonimnya nama besar Habibie dengan kecerdasan dan telah menginspirasi banyak orang tua di Indonesia, justru disini juga letak permasalahannya. Banyak orang dan pengambil kebijakan pemerintah seolah menganggap segala hal yang diraih Habibie murni berkaitan dengan kecerdasan. Mereka lupa melihat bahwa Habibie muncul dan menjadi ikon pengembangan Iptek di Indonesia itu berkaitan dengan adanya komitmen, dedikasi, dan political will para pengambil kebijakan negara.
Bila kita kembali ke masa-masa awal pengembangan dunia dirgantara di Indonesia, maka kita akan melihat Habibie sebagai figur yang tidak diperhatikan. Bila titik tolak dunia dirgantara Indonesia ditandai dengan peristiwa gotong royongnya masyarakat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli Dakota RI-001 Seulawah pada 16 Juni 1948, maka pada tahun yang sama orang yang dikirim Soekarno ke FEATI (Far Eastern Air Transport Incorporated) Filipina untuk mempelajari dunia dirgantara adalah Nurtanio Pringgoadisuryo.
Tujuh tahun berikutnya, 1955, ketika Presiden Soekarno membiayai banyak anak bangsa untuk bersekolah ke luar negeri, Habibie adalah rombongan kedua yang khusus di kirim ke Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule untuk belajar di jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang.
Namun, toh, Habibie belajar ke Jerman atas biaya sendiri, bukan melalui beasiswa penuh dari pemerintah sebagaimana pelajar Indonesia lainnya. Karenanya Habibie mesti menyandingkan kecerdasan yang dimilikinya dengan kerja keras untuk membiayai studinya. Dan karena kecerdasan dan kerja keras inilah Habibie sanggup meraih predikat Summa Cum Laude dengan nilai rata-rata 9,5 dari Aachen.
Begitu juga ketika memutuskan kembali ke Indonesia. Habibie kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto pada tahun 1973. Sebelum lima tahun kemudian didudukkan menjadi Menristek RI. Sementara pada saat bersamaan, Habibie di Jerman sedang menduduki dua jabatan prestisius sekaligus, Director of Applied Technology dan Vice Presiden di perusahaan kedirgantaraa Jerman Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) Jerman Barat. Posisi ini adalah capaian tertinggi yang pernah diduduki orang asing di perusahaan tersebut.
Jadi bila kita review saat penarikan Habibie dari Jerman oleh Presiden Soeharto, kita akan menemukan situasi yang kontras antara Habibie dengan Jerman dan Habibie dengan Indonesianya. Masa penarikan Habibie dari Jerman adalah masa ketika Habibie mempunyai masa depan karier yang cerah di negara maju. Sedangkan saat bersamaan, Indonesia pada tahun 1973 adalah masa-masa awal Orde Baru yang jalannya masih tertatih-tatih.
Indonesia masa itu adalah Indonesia yang masih berjibaku dengan akhir Orde Lama yang meninggalkan krisis ekonomi dan kemelut politik akut. Sebaliknya justru pada masa-masa keemasan di Jerman dan masa-masa Indonesia yang tidak menentu lah Habibie kembali ke Indonesia. Tindakan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang cerdas yang juga memiliki dedikasi, komitmen, dan kemauan untuk bekerja keras.
Akhir-akhir ini kita tentunya masih ingat problem yang dihadapi LPDP, Lembaga Pengembangan Dana Pendidikan. Sebuah lembaga yang dibentuk masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang bertugas mengumpulkan dan mengelola dana untuk mengirim ribuan siswa terbaik Indonesia belajar di Luar Negeri. LPDP menghadapi problem pelik banyaknya pelajar yang sudah diberi beasiswa belajar di Luar Negeri, malah pada akhirnya tidak ingin kembali lagi ke Indonesia. Setelah mendapatkan pendidikan terbaik yang dibiayai uang masyarakat (negara), mereka memilih meneruskan kariernya di luar negeri. Karena mereka melihat masa depan yang lebih cerah ketimbang kembali ke Indonesia.
Lantaran melihat Habibie sebagai figur yang pintar, kita juga abai melihat bahwa kemunculan figur seperti Habibie berkaitan dengan political will pemerintah dalam memajukan industri dirgantara nasional, sekaligus memanfaatkan potensi terbaik anak bangsa yang memang unggul.
Alm Presiden Soeharto tidak hanya memanggil Habibie untuk pulang ke Indonesia, tetapi diikuti memberikan posisi yang tepat dan signifikan untuk figur sebesar Habibie.
Akan tetapi, saat ini kita menghadapi problem pelik political will pemerintah dalam memanfaatkan potensi-potensi terbaik anak bangsa. Banyak anak bangsa terbaik yang enggan kembali ke Indonesia bukan karena tidak ingin mengabdi ke negerinya, tetapi mereka tidak mendapatkan kejelasan peran dan posisi apa yang akan mereka lakukan bila harus kembali ke Indonesia.
Bagaimanapun, tempat terbaik mereka adalah di luar negeri karena di sanalah mereka mempunyai lahan untuk mengeksplorasi bakat yang mereka miliki.
Pada titik inilah kemudian kita melihat bahwa harapan kemunculan “The New Habibie” bukan pada ada dan tidaknya anak bangsa yang sejenius seperti Habibie, tetapi karena memang kita tidak memberikan lahan bagi munculnya orang-orang seperti Habibie untuk berkarya. Apa kurang pintarnya Ilham Habibie?
Ilham Habibie bukan hanya anak Habibie, dia pun memiliki kepintaran yang luar biasa dibarengi motivasi terkait dedikasi yang tinggi sebagaimana Bapaknya. Bahkan, Ilham mempunyai ide turunan langsung dari ayahnya tentang pengembangan industri dirgantara nasional dan ia pun sudah menjalankan idenya tersebut.
Namun ketika ide dan langkah yang sudah dimulainya untuk memajukan dunia dirgantara dengan memunculkan pesawat R-80, tapi rupanya mengalami naas karena langkah mewujudkan R-80 telah dikeluarkan oleh pemerintah dari program/proyek strategis nasional. Itu berarti bukan hanya tidak ada political will untuk memajukan industri nasional dirgantara, tetapi juga tidak ada political will untuk memunculkan Habibie baru. Pemerintah seperti kehilangan hasrat untuk memfasilitasi anak-anak terbaik bangsa dalam mengeksplorasi kemampuannya di negeri sendiri.
Jadi, pertanyaannya bukan siapakah penerus Habibie, tapi maukah kita memunculkan Habibie baru? Karena jangan-jangan Habibie baru itu sudah ada tapi tidak pernah difasilitasi oleh pemerintah untuk maju dan berkembang.
Semoga tulisan dalam rangka mengenang satu tahun meninggalnya alm BJH ini akan terus relevan dan akan kerap menemukan momentum bagi kebangkitan Indonesia, baik dalam membangun potensi anak bangsa yang dapat melanjutkan warisan Habibie khususnya dalam mengembangkan potensi kedirgantaraan di tanah air dan sekaligus untuk melanjutkan cita-cita alm BJH, ataupun yang sengaja mempersiapkan negara Indonesia menjadi juara di bidang kedirgantaraan secara internasional. ****