*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
PADATNYA INDUSTRI di Kota Cilegon yang semula hanya berada di wilayah empat kecamatan yakni Kecamatan Ciwandan, Citangkil, Grogol dan Pulomerak, nampaknya para pemangku kebijkan di kota kecil seluas 175,5 Km2 ini tidak puas cukup sampai disitu.
Pasalnya, di wilayah Kecamatan Cibeber saat ini sudah tampak juga ada pembangunan pabrik yang bermunculan, meski masih dalam skala kecil menengah. Dan bisa jadi jika tidak upaya pembatasan di semua kecamatan akan berdiri pabrik-pabrik sehingga Cilegon kedepan bisa jadi akan dikepung oleh pabrik.
Meski ada dampak positif dari sisi ekonomi khususnya terbukanya lapangan pekerjaan, namun keberadaannya yang sudah sedemikian banyaknya kenapa belum bisa menjawab tingkat pengangguran di Cilegon. Inilah PR yang kiranya perlu dikerjakan oleh Pemkot Cilegon dan bagi para pelaku industri di Cilegon.
Namun, yang sangat substansial adalah tergusurnya lahan-lahan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Cilegon sebelum berkembangnya industri yang historisnya berasal dari dunia Barat.
Selain itu, banyak dampak negatif industri yang dalam polarisasinya secara tidak langsung mempreteli kearifan-kearifan lokal di Cilegon. Mulai dari banyaknya para pendatang dari luar daerah maupun luar negeri hingga dunia hiburan malam yang konon sudah menjadi komoditas industri yang membawa perubahan sosio culture masyarakat Cilegon.
Setali tiga uang, status Cilegon yang berubah menjadi kota sejak memisahkan diri Kabupaten Serang di tahun 1999 silam, yang kemudian mau tidak mau harus ada perubahan status Desa menjadi Kelurahan sesuai dengan Permendagri Nomor 28 Tahun 2006.
Dengan adanya perubahan desa menjadi kelurahan, tentu akan banyak perubahan substansial bagi masyarakat di wilayah perkampungan. Kepala Desa yang dipilih langsung tidak lagi terjadi karena dengan Cilegon menjadi wilayah perkotaan, kedaulatan Kades lebih cenderung berada di bawah kendali pejabat diatasnya. Lurah yang menjabat di Desa A, bisa jadi bukan asli kelahiran Desa A yang secara naluri cinta kedaerahan dan kedekatan dengan masyarakat memungkinkan terdapat jarak ruang dan waktu.
***
Maka, perlu adanya pembangunan yang berbasis pedesaan dengan mengedepankan kearifan lokal kawasan pedesaan yang mencakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial budaya, karakterisktik fisik/geografis, pola kegiatan usaha pertanian, pola keterkaitan ekonomi desa-kota, sektor kelembagaan desa, dan karakteristik kawasan pemukiman.
Fenomena kesenjangan perkembangan antar wilayah di suatu negara, meliputi wilayah-wilayah yang sudah maju dan wilayah-wilayah yang sedang berkembang memicu kesenjangan sosial antar wilayah. Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota karena pembangunan ekonomi sebelumnya cenderung bias kota (urban bias) berupa adanya kecenderungan disentralisasi kota.
Diketahui dana APBD Kota Cilegon yang direalisasikan untuk pembangunan lingkungan ke semua kelurahan sebanyak 43 kelurahan hanya 5% saja melalui program Dana Pembangungan Wilayah Kelurahan atau DPW-Kel.
Sebagai dampak pemberlakuan model pembangunan yang bias perkotaan, sektor pertanian yang identik dengan ekonomi perdesaan mengalami kemerosotan drastis setiap tahunnya di Cilegon.
Dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektor pertanian menjadi semakin tertinggal. Untuk mengatasi hal tersebut, setiap negara sudah sepatutnya mencoba melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah dengan melakukan pembangunan pedesaan berbasis pertanian dengan melindungi lahan pertanian sebagaimana amanah UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian serta melakukan pembatasan industri agar tidak mengepung desa.
***
Desa adalah romantisme akan sebuah kehidupan yang ideal. Lebih dari sekedar itu sebetulnya, desa adalah sebuah bahan referensi. Referensi dari bagaimana kehidupan masih berlangsung secara sederhana. Masih seimbang ekologinya, masih rendah senjang ekonominya, masih lebih seimbang segala sesuatunya.
Melihat realitas saat ini saja, meski masih banyak di perkampungan yang masih melakukan regenerasi kearifan-kearifan lokal sosio culture dan keagamaan. Namun, banyak atau mungkin kedepam akan lebih banyak lagi generasi bangsa di Cilegon ini yang hanyut mengikuti arus kemajuan kota dan cenderung melupakan desa.
Tak perlu membuat Badan tertentu untuk sekedar menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi masyarakatnya. Siapa yang sakit dijenguk, siapa yang sehat menjenguk. Ahli kesehatan tidak memasang tarif, yang datang berobat juga tidak ngemplang meski tak dipasangi tarif.
Tidak harus seorang warga desa menyukai pisang untuk beralasan ia menanam pisang. Pisang bermanfaat untuk cangkingan pada saat berkunjung, atau untuk mengoleh-olehi orang yang bertamu. Sebagai balasan cangkingan tak harus ada kesetaraan nilai ekonomi benda, pisang dibalas dukuh tidak menjadi soal. Dukuh ditukar kambing tetap ridho bi ridho.
Sementara penganut madhzab modernitas terus nombok membadani sistem jaminan sosial. Orang-orang modern pun hanya berpangku tangan menyaksikan kencangnya inflasi harga oleh-oleh. Maka, tak ada salahnya kita memungut referensi-referensi dari universalitas ilmu dari desa. Ada fakultas ekologi manusia, ekonomi, kesehatan masyarakat dan entah berapa banyak lagi ada sumber pembelajaran di desa.
Maka, sebelum kedepan Cilegon dikepung oleh pabrik-pabrik industri dan terus pupusnya desa sebagai mana digambarkan dalam jarak pandang, sudut pandang, resolusi pandang tentang “kualitas” kehidupan desa dan “kuantitas” kehidupan kota. Cilegon harus mengidentitaskan kedaulatan dirinya mulai saat ini. Masyarakat Cilegon harus berdaulat dan percaya diri pada personalisasi dirinya yang berangkat dari masyarakat pedesaan. Cilegon dapat salam dari desa. (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online