Dari Bumi Jawara Hingga Bumi Seribu Mesjid

 

Penulis : Taufik Hidayatullah 

Perantauan menjadi hal biasa bagi seorang taufik, mengarungi kehidupan menjadi seorang yatim semenjak ayahnya meninggal pada saat usianya menginjak 11 tahun.

Ya, kala itu taufik masih duduk dibangku SD(Sekolah Dasar). Pasca lulus dari sekolah Dasar Negeri Pontang 2 tepatnya tahun 2009.

Lulus dari sekolah tersebut ia memulai perantauanya ke Provinsi Jawa Barat tepatnya di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat asuhan KH. Irfan Hielmy.

Ia tinggal di lingkungan komplek pesantren tersebut kurang lebih satu tahun, semua berjalan berdasarkan takdir Tuhan.

Alih-alih mendapat kabar baik, kabar dukapun muncul. Ia justru masuk rumah sakit dikarenakan gigitan nyamuk cikungunya yang membuat persendianya tak bisa digerakkan layaknya seorang yang lumpuh.

Hal tersebutpun membuatnya pindah sekolah. Selain masih kecil dari segi usia sosok taufik juga merasa lebih baik jika berpindah sekolah menjadi jawabanya. Pindahlah ke sekolah swasta yang tidak berbasis pondok pesantren namun lebih sekolah biasa yang berbasis agama yaitu madrasah Tsanawiyah Ashabul Maimanah Sujung Tirtayasa.

DPRD Cilegon Hari Santri

Alih-alih menyukai pembelajaran agama, ia justru menyukai dunia computer. Ia menekuni computer dan berkeinginan masuk Sekolah Menengah Kejuruan dengan fokus Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ).

Semua berjalan dengan keinginannya dengan restu ibunya yang menyetujui niatnya tersebut. Namun, manusia punya niat namun Tuhan punya maksud dan tujuan lain.

Ia justru ditemui bibinya sendiri diminta untuk menemani cucunya masuk pesantren Al-Rahmah Islamic Boarding School Serang Banten.

Taufik pun hanya terbujur kaku karena ibunya bilang hanya mengantar saja, alih-alih mengantar taufik justru ikut mengikuti test seleksi masuk pesantren bersama cucu dari bibinya tersebut.

Dikarenakan tidak ada niat untuk masuk pesantren lagi layaknya dulu ia justru lulus dari pondok tersebut. Semua berjalan di luar dugaan ia memasuki dunia pesantren lagi tak ada niat tak ada pula keinginan ataupun list sekolah pesantren dalam otaknya.

Dikarenakan dia menyukai dunia komputer. Satu hari di pesantren bagaikan satu bulan dan satu bulan baginya bagaikan satu tahun.

Di pesantren berbagai amanah ia pernah emban mulai dari penjaga kantin pesantren hingga toko buku pesantren. Dalam kontestasi pemilihan ketua OSIS pun ia mengambil peran cukup krusial ia terpilih menjadi wakil ketua OSIS kala itu dengan visi misi yang ia utarakan pada saat debat kandidat Pemilihan OSIS.

Semua berjalan tidak sesuai rencana dikarenakan takdir Tuhan yang berbicara. Pasca lulus taufik berkesempatan duduk dibangku perkuliahan dengan program beasiswa bidik misi KIP kala itu tepatnya 2016.

Semasa duduk dibangku perkuliahan pun asanya tak pernah habis untuk mempelajari budaya sasak dan ikut berbaur dengan masyarakat berbeda budaya dan adat istiadat kala itu.

Pengajian agama di Islamic Centerpun rutin ia ikuti yang diisi oleh tokoh poltik dan agama sebut saja DR. TGH Zaibul Majdji dan tokoh Muhammadiyah hingga Nahdlatul Ulama. Kehidupan di perantauan membuatnya mengerti akan kerasnya hidup, terbukti ia termasuk mahasiswa yang aktif ikut perlombaan kampus kala itu, seperti lomba debat bahasa arab dalam ajang porseni maupun perlombaan di luar kampus lainya.

Dunia kampus membuatnya terlibat dalam dunia aktivis jalanan yang sering unjuk lewat demonstrasi bersama rekan-rekanya. Geliatnya pun cukup konsisiten mengawal isu-isu kerakyatan. Meskipun didalam kamous ia hanya katif sebagai Kabid HMJ(Himpunan Mahasiswa JUrusan) Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Dua tahun berselang kabar tak sedap menimpanya yang mana kampusnya rusak terdampak gempa bumi. Pada saat gempa menerjang ia sedang menonton sepak bola di televisi bersama bapak kostnya pada saat malam hari, alih-alih terdengar suara gemuruh goal masuk ke gawang.

Ia justru mendengar suara gemuruh keras yang ternyata gempa bumi yang membuatnya loncat secara spontak dan memegang motor pemilik kost untuk menahan goyangan gempa yang kuat untuk menahan badanya agar tidak terombang ambing.

Sosok taufik tetap bertahan disana meski ibunya menelfonya dan meminta dirinya pindah kampus dan pulang kampung lewat jalur udara. Namun dia tetap konsisten dengan tetap bertahan di bumi seribu masjid dan tetap melanjutkan pendidikanya disana.

Gempa bumi telah meluluh lantahkan Lombok pada tahun 2018 kala itu. Banyak kantor pemerintahan ambruk dan sekolah-sekolah rusak parah dan tak sedikit yang hancur luluh lantah. Selesai gempa bumi cobaan menghantamnya pula tepat dengan hadirnya virus Covid19 pada awal tahun 2020.

Ibunya sempat khawatir sampai taufik menyetok makanan mie instan hingga telur dan beras dikarenakan akses jalan sempat ditutup di sekitar kostnya khawatir terdapat orang asing diluar lingkungannya yang masuk. Saat virus tersebut menjamur hingga ratusan ribu yang meninggal dia tetap bertahan dikarenakan sedang menyelesaikan tugas skripsi yang ia jalani. Sungguh tragedy tersebut membuatnya amat sulit berkomunikasi secara langsung dengan dosen pembimbingnya hingga dia mesti menyetorkan hafalan dua juz al-Qur’anya via video call bersama dosennya sebagai syarat mengikuti ujian skripsi.

Bumi seribu masjid menjadikanya pula menemukan dengan sosok wanita yang ia cintai kala itu, sebut saja Salsabilha dia merupakan santri putri yang sempat ia ajar pada saat PKL dulu. Kisah cintanya namun kandas dikarenakan jarak yang memisahkan mereka.

Namun kita tidak tahu takdir tuhan, sosok wanita cantik tersebut merupakan anak yang cerdas dan pintar di sekolahnya dengan segudang prestasi yang ia dapat dan sekarang gadis cantik tersebut mengikuti jejak taufik yang berkuliah di Universitas Islam Negeri Mataram Nusa Tenggara Barat. ***

Dindik HUT Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien