*) Oleh: Yahya C Staquf
ADAKAH ALTERNATIF selain perdamaian? Ada. Yaitu, terus berperang sampai salah satu pihak musnah, terusir, atau hancur sehancur-hancurnya. Pada era pramodern, pilihan kedua ini cenderung lebih disukai.
Iskandar Agung tak pernah berhenti berperang sejak naik takhta hingga wafatnya. Imperium Romawi kuno pun tegak di atas rezim peperangan ekspansionis yang tak ada hentinya, walaupun penguasa dan bentuk sistem politiknya berubah-ubah.
Turki Usmani, menjalani sejarah serupa selama 500 tahun. Pada era modern orang belajar begitu peperangan dimulai, hasil akhirnya tak dapat dipastikan. Tak ada yang mengira, Inggris dan sekutunya mengalahkan aliansi Turki Usmani dan Kerajaan Prusia dalam PD I.
Jerman pun pada mulanya yakin 100 persen akan menang dalam PD II. Variabel yang terlibat dalam setiap peperangan semakin kompleks dan sulit dikalkulasi, sementara skala kehancuran semakin masif karena daya rusak senjata yang meningkat.
Konflik Israel-Palestina sudah berlangsung sekitar 70 tahun tanpa kunjung terlihat hasil akhirnya. Apakah Israel yakin pasti menang? Tidak juga. Itu sebabnya ia tak pernah berhenti menggalang dukungan internasional untuk menguatkan posisinya.
Konflik ini juga melibatkan hampir semua negara di Timur Tengah, menyeret dunia Islam, dan menyentuh kepentingan strategis kekuatan militer terbesar di dunia, yaitu AS, sejumlah negara di Eropa Barat, Rusia, dan Cina. Aspirasi untuk perdamaian Israel-Palestina digaungkan.
Perundingan diadakan tetapi hingga kini konflik tak terhentikan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, upaya perdamaian macet, sedangkan ketegangan dan perbenturan fisik terus tereskalasi.
Upaya diplomasi antarnegara jelas hanya melibatkan pemerintah negara bersangkutan. Semua fokus pada target “mencuri” keuntungan sebesar-besarnya. Sejumlah kesepakatan memang pernah berhasil dicapai.
Namun, kalau belakangan salah satu menyadari kerugian di pihaknya, ia tak segan melanggar kesepakatan. Celah apa yang masih tersisa? Baik Israel maupun Palestina menganut sistem demokrasi. Nasibnya bergantung pada aspirasi rakyatnya.
Kalau aspirasi untuk perdamaian bisa digenjot di kalangan rakyat, mungkin ada peluang mengubah perilaku diplomatik pemerintahnya. Itulah yang terpikir ketika sekitar tiga bulan lalu, penulis dihubungi American Jewish Comittee (AJC).
Penulis diundang untuk menghadiri dan menyampaikan pidato di Forum Global mereka di Yerusalem. AJC adalah organisasi Yahudi internasional terbesar dan mungkin paling tua –sudah 100 tahun umurnya–dan paling berpengaruh.
Apa pun yang keluar darinya bisa diharapkan punya dampak berarti, baik terhadap publik dalam negeri Israel, kalangan Yahudi internasional, maupun masyarakat dunia pada umumnya. Tapi, penulis tidak serta-merta membuat keputusan. Penulis minta waktu.
Para pengasuh jiwa penulis merestui penulis datang ke Yerusalem dengan syarat sungguh-sungguh merancang cara agar kehadiran ke sana membawa manfaat.
Penulis pun lantas menghubungi teman yang punya akses ke lembaga-lembaga publik nonpemerintah di Israel untuk menjajaki kemungkinan melancarkan “kampanye” di Israel. Teman-teman itu menyatakan sanggup membantu sepenuhnya.
Dengan bekal itu, barulah penulis memutuskan memenuhi undangan.
Karena ingin mengambil untung sebesar-besarnya, penulis memberi syarat agar diperbolehkan membawa tiga orang teman dan tinggal selama sepekan dengan seluruh biaya perjalanan dan logistik ditanggung panitia. AJC menyanggupi.
Ke dalam daftar rombongan, penulis memasukkan Kiai Ahmad Nadlif dari Kajen, Pati, dan Kiai Aunullah Al Habib dari Boyolali. Mereka kiai-kiai muda berbakat. Pasti besar manfaatnya bagi masa depan jika mereka bisa belajar sesuatu dari perjalanan ini.
Seorang lagi adalah C Holland Taylor, teman dekat almarhum Gus Dur–dan juga Gus Mus–warga AS yang hampir 20 tahun malang-melintang di dunia diplomasi publik internasional, pernah dipuji Wall Street Journal sebagai pembawa panji diplomasi publik masa depan, dan telah diangkat menjadi duta khusus Gerakan Pemuda Ansor untuk PBB, Amerika, dan Eropa.
Masalah selanjutnya, pesan apa yang harus penulis sampaikan? Enam belas tahun lalu, Gus Dur melontarkan gagasan untuk menambahkan elemen agama dalam upaya perdamaian Israel-Palestina.
Selama ini, upaya hanya melibatkan aspek politik dan militer, semua gagal. Tapi Gus Dur pun mengelaborasi, agama membawa kesulitan-kesulitannya sendiri. Antara lain, karena di setiap agama ada mazhab dan kelompok berbeda yang saling bersaing. Jadi harus bagaimana?
Untuk memotong kompas pertentangan dalam agama, penulis yakin yang diperlukan adalah menemukan nilai transendental yang menjadi aspirasi bersama dari semua agama. Maka itu, penulis berangkat ke Yerusalem dengan menyiapkan dua artikulasi.
Pertama, tantangan untuk pemimpin dan orang shaleh dari semua agama. Di tengah suasana peradaban yang terancam runtuh oleh berbagai konflik ini, apakah agama punya sesuatu untuk ditawarkan sebagai inspirasi menuju solusi?
Kedua, seruan kepada dunia, “Mari kita memilih rahmah!”. Ini nilai inti dalam Islam dan penulis yakin akan disepakati semua agama. Dengan rahmah, pihak-pihak yang bermusuhan akan lebih siap bekerja sama untuk mewujudkan perdamaian yang nyata.
Penampilan penulis di malam pembukaan AJC Global Forum (Ahad malam, 10 Juni 2018) rupanya dianggap memiliki gaung sehingga Senin siang esok harinya, penulis mendapat pesan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meminta pertemuan hari Kamis (14/6/2018). Hari berikutnya, datang permintaan Presiden Reuven Rivlin untuk bertemu pada Rabu (13/6/2018). Penulis memperjelas posisi yang datang atas nama pribadi. Harapan penulis ada perdamaian dan ajakan untuk merengkuh rahmah.
Pada dasarnya, Presiden Rivlin dan PM Netanyahu menyatakan setuju dengan artikulasi penulis. PM sempat menekankan keinginannya menormalisasi hubungan Israel-Indonesia. Penulis menyatakan, itu tak dapat dipisahkan dari konfliknya dengan Palestina.
Peluang normalisasi hanya mungkin muncul jika terjadi proses konkret dan kredibel menuju perdamaian Israel Palestina. PM mengerti dan menyatakan akan terus berupaya agar semua masalah itu ditemukan jalan keluarnya.
Penulis tetap menjalankan “kampanye” sesuai rencana, antara lain, dengan kegiatan bersama The Truman Institute di Hebrew University, The Israel Council on Foreign Relations, dan Mothers for Peace (gerakan gabungan kaum ibu Yahudi dan Palestina untuk menyuarakan perdamaian).
Penulis juga membuat kerja sama untuk memproduksi video musik (hasilnya akan diluncurkan dua pekan yang akan datang) dengan Koolo ‘Lam (frasa Ibrani yang berarti “Alam Semesta”) dengan melibatkan 1.000 orang partisipan dari semua agama dan kelompok etnis, bahkan sejumlah orang dari Gaza.
“Tidak ada jaminan Yahya Staquf akan berhasil”, tulis editorial Jerusalem Post, (16/6/2018), “Tapi seseorang harus mulai melakukan sesuatu dari satu titik”. (*)
*) Penulis adalah Direktur Urusan Keagamaan pada Bayt Ar-Rahmah, Winston Salem, North Carolina, AS