Honda Slide Atas

Excavator Mengaum, Tanah Direbut, Jayasari Potret Suram Hukum Agraria di Tanah Multatuli

 

LEBAK – Dugaan penyerobotan lahan bersertifikat di Desa Jayasari, Cimarga, Kabupaten Lebak, kembali membuka tabir lama tentang relasi timpang antara rakyat kecil dan mereka yang memegang kuasa.

Di salah satu daerah di Kabupaten Lebak, tepatnya di Desa Jayasari terlihat jelas bahwa hukum kerap terasa seperti ornamen belaka indah dalam teks, ompong dalam praktik.

Kasus yang menyeret perusahaan tambang pasir PT Mulya Kuarsa Anugerah (MKA), yang warga kaitkan pemiliknya ialah mantan Bupati Lebak “JB” figur yang kerap dijuluki “God Father Lebak”.

Ini menjadi cermin betapa hukum di republik ini masih tunduk pada kekuatan modal dan jejaring kuasa. Tumpul ke atas, tajam ke bawah bukan lagi metafora ia menjelma menjadi kenyataan di tengah tengah masyarakat kecil.

Belakangan ini seorang Anggota DPRD Lebak dari Fraksi PDI Perjuangan, Tika Kartika Sari, membawa kasus ini dengan memikul ratusan harapan warga yang tanahnya dirampas paksa.

Tanggal 6 November 2025, wakil rakyat itu bersama para korban mendatangi Kompleks Parlemen DPR RI, meminta Komisi XII tidak berhenti pada ucapan simpati, melainkan mengambil sikap nyata terhadap dugaan penyerobotan yang dilakukan perusahaan tambang tersebut.

Sebab penerimaan yang hangat di Senayan tidak akan mengembalikan sawah yang sudah rata oleh ekskavator, atau kebun yang dulu menjadi nafkah kini berubah menjadi cekungan tanah tandus.

Ketika alat berat telah bekerja lebih cepat dari proses hukum, keadilan sesungguhnya sudah kalah sebelum bertanding.

Ironinya, penyerobotan dilakukan secara terbuka, seolah-olah sertifikat bukti kepemilikan paling sah yang dikeluarkan negara tak lebih dari selembar kertas yang mudah diabaikan.

Warga Jayasari menghadang alat berat dengan dokumen kepemilikan di tangan, namun suara mesin ekskavator lebih nyaring daripada jeritan mereka. Lahan pun digasak habis.

Pemerintah desa yang seharusnya berdiri di sisi warga justru tampak tak berdaya, bahkan patuh pada kuasa yang lebih tinggi.

Oknum perangkat desa disebut-sebut ikut “mengamankan” sertifikat warga dengan dalih perubahan data.

Namun di balik alasan administratif itu, alat berat sudah siap menggantikan argumen.

Indonesia memang negara hukum setidaknya dalam konstitusi. Tetapi di Jayasari, prosedur administrasi berubah menjadi labirin yang menyesatkan warga.

Sertifikat yang seharusnya menjadi benteng terakhir justru kehilangan daya di hadapan kepentingan para pemilik modal.

Kerusakan yang terjadi tidak kecil, lahan garapan warga hancur, rumah dan permukiman retak, bangunan pesantren rusak, fasilitas pendidikan ikut terdampak. Namun hingga kini, kompensasi nihil.

Ini bukan semata pelanggaran hukum, melainkan pengabaian moral yang telanjang.

Di tengah itu semua, warga merasa hukum tidak pernah benar-benar membuka pintu bagi mereka. Laporan diabaikan, proses mandek, dan lebih ironis lagi ada warga yang melapor malah berujung dipidana.

Jika begini wajah penegakan hukum, apa pesan yang ingin disampaikan negara? Bahwa diam lebih aman daripada mencari keadilan?

Diamnya negara terhadap kesewenang-wenangan adalah kekalahan yang memalukan. Ia mengonfirmasi bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas bukan lagi sekadar pepatah, tapi sebuah pola yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kasus Jayasari bukan persoalan sengketa tanah biasa. Ini adalah alarm keras bahwa sistem perlindungan warga telah bocor dari banyak sisi digerogoti oleh modal, koneksi politik, dan arogansi kekuasaan.

Dan ketika rakyat kecil harus berjalan jauh ke Senayan hanya untuk didengar, itu tanda bahwa jarak antara keadilan dan kenyataan semakin melebar, nyaris tak terjembatani. (*)

Penulis: Aji Permana

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien