Ketika Pedaringan Kosong

*) Oleh: Mokhlas Pidono

TAHUN POLITIK, tahun gaduh antar kubu mulai ditabuh genderangnya sejak pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mendeklarasikan diri mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Berbagai macam gerakan muncul ke permukaan, menyeruak dalam bisingnya beban kehidupan yang semakin hari semakin menekan. Tagar di media sosial saling berebut followers, berebut menjadi trending topic dan menjadi gerakan dengan pengikut terbanyak.

Banyak yang merasa penat akan caci dan saling hujat, padahal sama dalam hajat, agar pemimpin bangsa yang terpilih adalah pemimpin yang pro rakyat, yang bertujuan ingin menyejahterakan rakyat.

17 April 2019, masih 9 bulan mendatang, kita akan memilih untuk menentukan siapa pemimpin Bangsa ini 5 tahun ke depan. Bukan hanya presiden, kita juga akan memilih wakil rakyat mulai dari DPRD Kabupaten/Kota sampai ke jenjang DPR RI di senayan sana. Bahkan kita juga memilih calon wakil daerah kita di parlemen dalam jalur DPD RI. Pantas saja jika pesta yang besar menimbulkan kegaduhan yang luar biasa.

Hampir dalam setiap forum, resmi ataupun tidak, dari ball room hotel sampai pos ronda, lulusan SD hingga S3, pejabat negara atau tukang becak, tema diskusinya hampir sama, tentang politik, tentang Pilpres, tentang klaim ‘surga dan neraka’, memilih si A masuk surga, memilih si B membeli tiket neraka, sampai segitunya, saking ngebetnya, saking pengennya, saking bebasnya politik di negara berideologi Pancasila ini.

Pijat Refleksi

Media sosial, mulai dari Facebook, instagram dan yang lainnya, ramai dengan bahasa panggilan untuk kubu masing-masing. Saling blokir pertemanan, saling unfollow persahabatan, bahkan saling tak menyapa kala berpapasan, fakta ini semakin kelihatan.

Satu sisi, ini menandakan masyarakat Indonesia sudah semakin cerdas, mulai kritis akan kondisi bangsa, mulai bisa membicarakan tema politik, di luar tema sehari-hari terkait sandang, pangan, papan. Sisi lainnya, kegaduhan, rusaknya persaudaraan, saling jegal gerakan bahkan kajian keagamaan, menjadi bumbu tak mengenakan di tengah keasyikan politik yang menjadi perdebatan dan perbincangan.

Saking asyiknya membahas politik, saling bela junjungan, saling serang aib lawan, padahal kita kenalpun tidak, saudara bukan, teman juga bukan, tapi kita mati-matian bahkan rela mati beneran untuk membela sang calon.

Memilih itu kewajiban sebagai warga negara, golput bukan pilihan, mengampanyekan jagoan menjadi sebuah keharusan, tapi tetap dalam batas kewajaran, tidak mencaci dan menghujat teman di kubu lawan. Jangan sampai karena sibuk diskusi membela jagoan kita lupa, bahwa ‘pedaringan di rumah sudah kosong’, tak ada beras di dalamnya, anak istri hendak makan apa dengan harga selangit dan tempe yang sudah setipis kartu ATM, dolar meroket tak terkira, sembako di ambang batas daya beli.

Siapapun presidennya, Jokowi atau Prabowo, saya akan tetap menjadi rakyatnya yang legowo. (***)

*) Mokhlas Pidono; Penulis adalah Pegiat Sosial

 

KPU Cilegon Terimakasih
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien