Khusyu’ Kepada Corona
Oleh : Emha Ainun Nadjib
Breaking News ketika saya menulis ini pasien Coronavirus di Indonesia melonjak menjadi 309, sumber lain mengatakan 311 orang. Sudah pasti itu tidak hubungannya dengan tulisan “Lockdown 309 Tahun”-nya Ashabul Kahfi. Yang jelas prosentase keterjangkitan dan kematian yang dialami bangsa Indonesia, utamanya penduduk Pulau Jawa, masih sangat kecil dibanding yang pernah dialami oleh nenek moyang.
Bakteri Yersinia Pestis, suatu virus dengan kutu dan tikus sebagai carrier di tahun 1330 yang mewabah di Jawa kamudian diimpor ke sepanjang pantai Samudera Atlantis dan membunuh 75 sd 200 juta penduduk Eropa. Kalau kita hidup di era itu pasti sudah menyimpulkan bahwa Hari Kiamat telah tiba.
Wabah Pes kemudian merenggut nyawa penduduk Banten (Kesultanan) dari 100.000-an menjadi tinggal 50.000-an disekitar 1625. Sebaliknya kemudian “Maut Hitam” yang mengurangi 30 persen penduduk Inggris dan Belanda diekspor ke Jawa.
Hari-hari ini kita sedang “khusyu’” dengan Coronavirus yang kita impor dari Wuhan, Negeri China. Di Al-Quran ada kosakata yang terdiri dari huruf “w”, “h”dan “n”, meskipun rangkaian katanya berbeda; “Wahnan ‘ala wahnin” — suatu keadaan di mana manusia menjadi lemah dan semakin lemah. Saya sebut “khusyu’” meminjam dari idiom firman Allah: “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur
an ini ke sebuah gunung, kamu akan melihatnya tunduk dan terpecah-pecah dan terbelah-belah karena merasa ngeri kepada Allah”. Memang benar, kita ini, baik sebagai individu, masyarakat maupun rakyat suatu Negara — rasanya belum pernah sekhusyu’ ini kepada Tuhan, melebihi kepada Corona yang amat sangat kecil itu.
Keluarga Maiyah sedang menggarap skenario drama yang akan dipentaskan akhir April 2020 kalau Allah mengizinkan, yang temanya adalah “Musyawarah Alam Semesta di mana Sunan Sableng mengajukan tema usulan dan permohonan kepada Tuhan agar mempercepat Hari Kiamat”. Dengan argumentasi bahwa seluruh perilaku dan peradaban ummat manusia dewasa ini memang tidak lain tidak bukan sedang melangkah cepat menuju jurang kehancurannya sendiri. “Mbok sudah dipercepat saja”, kata Sunan Sableng, “Hitung-hitung untuk mengurangi waktu di mana manusia berbuat perusakan, pendhaliman dan penghancuran”.
Lakon ini masih dalam proses latihan tapi Tuhan seakan-akan sudah merespons dan sedikit mangabulkan, dengan dilimpahkannya Coronavirus yang hari-hari ini berlangsung seperti Kiamat Kecil bagi manusia sedunia.
Paduka Petruk, yang dalam lakon itu merupakan lawan dialog Sunan Sableng, tidak menyetujui usulan Sunan Sableng. “Itu namanya putus asa”, katanya, “Apapun saja yang dialami oleh manusia di dunia ini, hendaknya jangan membuat manusia bunuh diri, meskipun tindakan bunuh diri itu dihiasi dengan ide yang seolah-olah mulia, yakni mempercepat Hari Kiamat.
Sunan Sableng kemudian menjelaskan lebih luas dan jauh, sehingga akhirnya kentara bahwa emphasis idenya bukanlah soal mempercepat Kiamat, melainkan rasa tidak tega kepada nasib ummat manusia, terutama kelak di Akhirat. Usul percepatan Kiamat itu hanya formula agar manusia tidak lebih parah dan lebih berkepanjangan kedholimannya, kebodohan dan policy penghancurannya atas kehidupan.
Allah Yang Maha Mengerti dan memiliki hak mutlak untuk menilai, berapa angka Sunan Sableng dan berapa Paduka Petruk. Yang batas pengetahuan dan ilmu manusia bisa memastikan adalah bahwa entah satu dua orang, entah sekelompok manusia, entah ummat atau Jamaah Maiyah — mulai hari ini kita berjuang untuk lebih “nganggep” Allah dengan keluasan pandangan maupun detail ilmu sebagaimana selalu diworkshopkan di Maiyahan-maiyahan. Lebih menemukan peran Allah di setiap serbuk benda, di janin sebelum bayi, di keluarnya bayi dari perut ibunya, di helai dedaunan, di galaksi-galaksi, di mana dan kapanpun saja manusia mengalami sesuatu. Berikhtiar untuk lebih khusyu’ kepada kekuasaan Allah, daripada dipaksa khusyu’ oleh Allah melalui letusan gunung, gempa, banjir bandang, wabah dan pegeblug-pageblug. (*/Red)