Konsistensi PII Terhadap Azas
Oleh: HM Halimi Djazim Hamidi (Ketua Umum KBPII Yogyajarta Besar)
Menjelang akhir dasawarsa 1970-80 an digulirkan wacana oleh pemerintah pada saat itu, berkenaan UU tentang OrSosPol dan Ormas yang salah satu pasalnya menyebutkan keharusan untuk mencantumkan Pancasila sebagai satu satunya azas bagi orsospol dan ormas. PII sebagai ormas tentu saja merasa khawatir dan was was akan hal itu. Tetapi, dengan alasan itu masih wacana yang sumir, PII menyelenggarakan muktamar tahun 79-80 di Surabaya dapat berjalan dengan lancar tetap dengab azasnya lslam.
Wacana tentang azas tunggal semakin menguat, yang walaupun belum diputus DPR RI, tetapi seolah olah sudah harus berlaku. Pada muktamar berikutnya, Yogyakarta yang ditetapkan sebagai tuan rumah, kebetulan pada awalnya saya yang ditunjuk menjadi ketua panitia lokal muktamar, kemudian dilanjut oleh saudara Khusnul Yakin, PII diwajibkan untuk mencantumkan Pancasila sebagai satu satunya azas organisasi.
Pada saat itu kita beri penjelasan, nanti yang memutuskan muktamar, mereka tidak mau terima, sehingga proses ijin muktamar berlarut-larut, dan akhirnya berlangsung di Jakarta secara diam diam tanpa mengantongi izin. Hasilnya semua PW PII (kecuali Maluku yang agak ragu-ragu) tetap memutuskan azas Islam sebagai azas organisasi PII.
Kemudian pada Mukatamar PII berikutnya, muktamar dilakukan secara diam-diam, dan Islam tetap menjadi azas PII.
Singkat cerita
Pada akhir pemerintahan Soeharto , sebagai akibat Soeharto dikecewakan oleh para taipan cs (bisa diulas tersendiri) Soeharto lebih dekat dengan umat Islam. Terlihat pemerintahannya, dengan susunan kabinet, ABRI, anggota DPR RI-MPR RI terlihat ijo royo-royo. Disitulah PII didesak oleh berbagai pihak, khususnya juga para alumninya untuk mendekati para pejabat pemerintah itu untuk menerima azas Pancasila (ingat pertemuan KB PII di Benteng Vredenburg dan di Abiseka mendesak dengan sangat keras agar PII mengumumkan penerimaan azas Pancasilsa).
Seiring dengan itu berkembang strategi di PII yang dikenal dengan strategi “kulit bawang” (maksudnya kalau berhadapan dengan yang berwenang mengatakan azasnya Pancasila, kalau kedalam azasnya Islam, khususnya untuk izin-izin kegiatan). PB melakukan manuver-manuver, dengan audensi ke Jendral Feisal Tanjung (Pangab) dan ke beberapa pejabat yang lain. Tetapi jelas itu bukan hasil muktamar PII, tetapi manuver dari orang orang PB dan mungkin juga PW sebagai suatu siyasah. (***)