PP Muhammadiyah Vs The Wall Street Journal. Siapa yang Berbohong?
Oleh: Hersubeno Arief
Tuduhan laman The Wall Steet Journal (WSJ) bahwa sejumlah Ormas Islam Indonesia dan MUI disuap pemerintah Cina memasuki babak yang menarik. Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menuntut WSJ untuk segera minta maaf. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menempuh jalur hukum.
Tak tanggung-tanggung Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir turun tangan langsung. Bersama sejumlah pimpinan teras Muhammadiyah Senin (16/12) dia menggelar jumpa pers. Termasuk Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah Muhyidin Junaidi yang ikut berkunjung ke Xinjiang.
Bagi Muhammadiyah tudingan bahwa mereka mendapat gelontoran dana agar diam dalam kasus penindasan muslim Uighur, memang cukup serius. Bila tidak disikapi, apalagi bila tudingan tersebut terbukti, implikasiya sangat serius.
Ini menyangkut marwah, kredibilitas dan reputasi Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar, dan tertua di Indonesia.
Waktu yang akan membuktikan apakah Muhammadiyah yang benar, atau WSJ.
(Sama-sama kredibel)
Dari sisi kredibilitas, kedua lembaga sama-sama mentereng dan tak kalah keren.
Muhammadiyah adalah ormas Islam terkaya di Indonesia. Mereka memiliki lembaga pendidikan sejak TK sampai perguruan tinggi. Tahun 2015 tercatat mereka memiliki 7.651 sekolah dan madrasah, dan 174 universitas, sekolah tinggi, institut, dan akademi.
Di bidang pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat terdapat rumah sakit 457, panti asuhan 318 buah, panti jompo 54 buah, dan rehabilitasi cacat 82 buah. Mereka juga memiliki sejumlah BMT, mini market dan koperasi.
Dana likuid yang tersimpan di rekening mereka tercatat sebesar Rp 15 triliun (2014). Jadi tudingan mereka mendapat gelontoran dana dari pemerintah Cina, alias sogokan agar bungkam, sangat merendahkan.
WSJ adalah jaringan media sangat tua dan berpengaruh di AS. Didirikan pada 8 Juli 1889 di New York. Usia WSJ bahkan lebih tua dibanding Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta 18 November 1912.
Pada masa jayanya, WSJ pernah menjadi koran terbesar di AS dengan oplah harian 2,6 juta eksemplar (2005). WSJ juga menerbitkan edisi Asia dan Eropa.
WSJ dikenal dengan tradisi jurnalistik yang sangat kuat. Pilihan editorialnya cukup konservatif dan prudent. Bukan tipikal media yang bombastis seperti saingan utamanya, USA Today.
Tudingan WSJ terhadap Muhammadiyah, NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) muncul pada laman WSJ edisi Rabu (11/12).
Melalui artikel berjudul How China Persuaded One Muslim to Keep Silent on Xinjiang Camps, WSJ menyebut Muhammadiyah, NU, dan MUI mendapat gelontoran dana dari pemerintah Cina sehingga bungkam dan sikapnya berubah terhadap muslim Uighur.
Penulis artikel ini adalah Jonathan (Jon) Emont koresponden WSJ yang berbasis di Hongkong. Dia banyak menulis soal Uighur dan Rohingya.
Sebelum bergabung dengan WSJ, wartawan yang fasih berbahasa Indonesia ini pernah tinggal di Jakarta. Dia menjadi koresponden freelance untuk sejumlah media yang sangat prestisius New York Times, Washington Post dan Finacial Times.
Pemerintah Cina melalui Duta Besar RI di Jakarta sudah membantah keras tudingan itu. Secara terbuka dia menuding berita tersebut sebagai operasi media oleh pemerintah AS, sebagai bagian dari Perang Dagang kedua negara.
Artinya pemerintah Cina secara tidak langsung menuding WSJ digunakan oleh pemerintah AS, sebagai operasi intelijen terbuka dalam pembentukan publik opini dunia.
Sejauh ini pemerintah AS masih bungkam. Namun seperti diakui oleh Muhyidin, Kedubes AS di Jakarta sudah mengundang mereka untuk bertemu. Undangan itu ditolak karena Muhammadiyah ingin pertemuan berlangsung di tempat netral. Bukan di Kedubes AS.
Perang proxy
Lepas dari perseteruan WSJ dengan ormas Islam di Indonesia, kisruh ini jelas merupakan imbas Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara Cina dan AS.
Dalam pembentukan opini dunia, Cina kalah jauh dibandingkan AS. Cina babak belur di Hongkong. Mereka tampaknya benar-benar waspada dan mengantisipasi jangan sampai isu muslim Uighur berkembang menjadi bola liar yang panas. Apalagi kemudian menjadi Hongkong berikutnya ( the next Hongkong).
Undangan kepada sejumlah ormas Islam, akademisi, wartawan dari Indonesia dan Malaysia yang dilaksanakan Februari lalu, tampaknya merupakan upaya Cina memperbaiki citranya dan memenangkan opini dunia soal muslim Uighur.
Pemberitaan WSJ memberi pukulan telak dan menghancurkan upaya public relation dan pembentukan opini, yang susah payah dibangun Cina di negara-negara dengan mayoritas beragama Islam.
Ormas Islam Indonesia terkena dampak dari pertarungan dua negara adidaya itu. Apalagi isu Cina di Indonesia sangat sensitif. Baik berkaitan dengan dominasi ekonomi minoritas Cina di dalam negeri, maupun serbuan investasi Cina daratan di Indonesia.
Pemerintah Indonesia tampaknya sangat berhati-hati menyikapi isu ini. Bila salah dalam mengambil posisi, bisa menjadi musuh salah satu negara adidaya.
Bagaimana kelanjutan perseteruan Muhammadiyah dan WSJ? Kita masih harus menunggu perkembangan selanjutnya.
Media Barat tak selamanya benar. Dalam kasus Asia Sentinel, media berbasis di Hongkong ini terpaksa mencabut beritanya dan meminta maaf secara terbuka kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat.
Sebelumnya Asia Sentinel menurunkan artikel yang mengaitkan pemerintahan SBY dengan skandal Bank Century.
Apakah WSJ akan bernasib sama dengan Asia Sentinel, atau mereka bisa membuktikan tuduhannya? Kredibilitas WSJ sebagai media besar dan berpengaruh dipertaruhkan. (***)