Dari Revolusi Prancis Menuju Runtuhnya Keraton Surosowan Banten

DPRD Pandeglang Adhyaksa

*Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

FAKTA BANTEN – Masa Revolusi Prancis atau Révolution française (1789–1799), adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Prancis yang memiliki dampak besar terhadap sejarah Prancis dan lebih luas lagi terhadap Eropa serta kepada dunia secara keseluruhan. Hingga dampaknya juga dirasakan bagi Indonesia yang berada jauh di sebrang Benua biru tersebut.

Adanya dorongan Bangsa Eropa kala itu dalam mencari (gold) kekayaan, keinginan menyebarkan agama (gospel), dan mencari kejayaan (glory). Setelah berhasil membuat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka berlomba-lomba melakukan penjelajahan samudera untuk mencapai ketiga ambisi tersebut.

Situasi politik Eropa saat itu sampai berpengaruh terhadap situasi penjajahan di Indonesia.
Pada tahun 1792-1802, di Eropa terjadi perang revolusioner Prancis yang melibatkan banyak Negara seperti Rusia, Inggris, Belanda, Austria.

Pada tahun 1795, Belanda dapat dikalahkan oleh Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang menyingkirkan Raja Willem van Oranje. Pada saat itu, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Belanda, dengan demikian, secara tidak langsung Indonesia berada di bawah penguasaan Prancis.

Persaingan terkuat pun akhirnya terjadi antara kerajaan Prancis dengan Kerajaan Inggris. Persaingan yang bukan saja terjadi di daratan Eropa, melainkan juga di wilayah koloni mereka seperti Afrika, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.

Prancis yang menaklukan Belanda ketika masih menjajah Indonesia. Dan Belanda yang sudah menjadi bagian dari Prancis, tentu saja segala bentuk kekuasaan pemerintahan dan kebijakan-kebijakan diatur dan ditinjau langsung oleh Prancis.

Belanda yang sudah menjadi vasal dari Kerajaan Prancis, sejak saat itu dipimpin oleh Louis Napoleon adik kandung Napoleon Bonaparte.

Pada masa Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis pada tahun 1800, konstelasi perdagangan dunia telah membentuk blokade kontinental terhadap Kerajaan Inggris. Blokade kontinental sengaja dilakukan beberapa kerajaan Prancis untuk menghentikan peredaran dan sirkulasi ekspor terhadap kerajaan Inggris.

Namun, bersamaan dengan hal ini beberapa kepulauan milik Prancis telah jatuh pada armada armada laut Inggris, seperti kepulauan Mauritius, Sri Lanka dan selat Malaka. Raja Napoleon Bonaparte tentu saja bereaksi dengan segera memilih orang yang dianggap sebagai Perwira mumpuni untuk segera memobilisasi pasukan menjaga pasukan Inggris memasuki Pulau Jawa.

Herman Willem Daendels yang telah membantu bebarapa penyerangan dalam perang yang berkecamuk di rusia, segera di panggil. Herman Willem Daendels adalah seorang perwira Belanda. Pada tahun 1808 Louis Napoleon mengirimkannya ke Batavia sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu). Tugas utama Daendels adalah melakukan reorganisasi pemerintah serta mempertahankan wilayah Hindia dari kemungkinan datangnya serangan Inggris.

Ketika itu pemerintahan Indonesia dipusatkan seluruhnya di Jawa. Salah satu tuntutan Prancis terhadap Raja-Raja Jawa ketika itu adalah tuntutan agar para penguasa di Surakarta, Yogyakarta dan Banten memperlakukan utusan-utusan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai wakil Pemerintah Eropa sehingga mereka harus diperlakukan sederajat dengan raja-raja itu sendiri. Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta menolak tuntutan tersebut.

Pada bulan Desember 1810, Daendels membawa 3.200 serdadu ke Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwono II turun dari tahta kemudian menunjuk putera mahkotanya, Sultan Hamengkubuwono III sebagai penggantinya.

Untuk menjalankan tugas utamanya untuk menjaga pertahanan di pulau Jawa, Kesultanan Banten yang wilayah pesisir utaranya menghadap ke selat Malaka dimana armada Inggris sedang mengintai.

Deandels membangun jalan di sepanjang pantai Utara Jawa yang dimulai dari (titik nol) Anyer sampai Panarukan sepanjang 1000 Kilometer yang dikenal sebagai jalan pos besar. Pembangunan jalan ini adalah proyek monumental Daendels, namun harus dibayar mahal dengan banyak pelanggaran hak-hak asasi manusia karena dikerjakan secara paksa tanpa imbalan atau kerja rodi. Ribuan rakyat pribumi meninggal dalam kerja paksa ini.

Pembangunan jalan Daendels dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) pada tahun 1809 – 1810 yang pada awalnya bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antar Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat dan semenjak saat itu, jaringan transportasi darat dipulau Jawa mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Dalam pembangunan proyek ini, Daendels mewajibkan penguasa pribumi /Kesultanan Banten untuk memobilisasi rakyat, sadisnya lagi priyayi atau penguasa pribumi yang gagal mengerjakan proyek tersebut, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Tak hanya itu, kepala mereka lalu digantung di pohon-pohon kiri-kanan ruas jalan. Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, dia kejam, sadis dan tak kenal ampun. Korban pada pembuatan jalan Batavia-Banten saja sejarah masih simpang siur mencatatnya, menurut beberapa sejarawan, korban meninggal sekitar 15.000 orang dan banyak yang meninggal tanpa dikuburkan secara layak.

Loading...

Walaupun demikian Daendels semakin keras menghadapi rakyat, dia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun alasannya. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja (1808). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Tak Hanya itu, dalam upayanya menghadang armada Inggris memasuki pulau Jawa, Deandels membangun pangkalan militer di Ujung Kulon. Dan lagi-lagi rakyat pribumi yang dikorbankan untuk bekerja dengan mewajibkan Sultan Banten saat itu mengirimkan 1000 rakyat untuk kerja rodi.

Banyak diantara pekerja rodi yang terserang sakit Malaria, ada yang meninggal dan yang tidak tahan sampai kabur. Sehingga Patih Kesultanan Banten saat itu dianggap dalang atas kaburnya para pekerja tersebut.
Akibatnya pada tahun 1813, tiga tahun masa tugasnya (sejak 1810) Deandels menyurati Kesultanan Banten yang tiga point isinya;

1. Menyiapkan 1000 pekerja rodi setiap hari untuk membangun pangkalan perang di Ujung Kulon.

2. Menyerahkan Patih yang dianggap melawan terhadapnya.

3. Memindahkan aktifitas Kesultanan Banten ke Anyer, karena Keraton Surosowan akan digunakan Benteng militer Deandels menghadang menghadapi armada Inggris yang sudah ‘Kelinteran’ di Selat Malaka.

Karena permintaannya ditolak keras oleh Sultan Banten, Deandels yang bermarkas di Batavia (Jakarta, sekarang) marah besar yang akhirnya menyerang Kesultanan Banten dengan kekuatan penuh dan persenjataan lengkap, hingga menyebabkan kehancuran Keraton Surosowan Banten.

Gubernur Lord Minto dari Inggris, menganggap Daendels adalah monster yang terlahir dari kelamnya Revolusi Prancis, tidak mengenal peri kemanusiaan dan merupakan sangat tiran. Sedangakan Gubernur Thomas S Raflles berpendapat, Daendels adalah perwira yang disiplin dan pandai menata manajemen. Sedangkan Raja Raja Jawa sering menyebut Daendels adalah, Mas Guntur, Tangan Guntur.

Dan tentunya kita sebagai orang Banten, mungkin sudah tidak asing dengan Keraton Surosowan Banten. Keraton peninggalan zaman Kesultanan Banten di masa kejayaannya. Keraton yang dibangun sekitar 1522-1526 di masa pemerintahan Maulana Hasanuddin yang lebih dikenal dalam catatan sejarah sebagai pendiri dari Kesultanan Banten.

Di era selanjutanya, Keraton Surosowan mengalami perubahan yang melibatkan salah seorang arsitek yang bernama Hendrik Licasz Cardeel yang berasal dari negara Kincir Angin, Belanda yang diupah untuk mendesain keraton. Konon, arsitek yang membantu meningkatkan bangunan Keraton Surosowan tersebut kemudian memeluk agama Islam dan lebih dikenal dengan sebutan Wiraguna.

Bentuk arsitektur Keraton Surosowan Banten ini dapat dilihat keunikannya dengan adanya benteng kokoh dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 5 meter yang mengitari keraton. Keraton Surosowan juga memilki 3 gerbang masuk yang masing-masing terletak di bagian sisi utara, timur, dan selatan keraton. Tetapi, pintu di bagian selatan ditutup permanen dengan alasan yang sampai saat ini masih belum diketahui. Di bagian tengah-tengah keraton terdapat sebuah kolam dengan beberapa ruang pemandian yang dapat ditemukan di lingkungan keraton.

Kolam taman yang terletak di dalam keraton ini dinamakan dengan “Bale Kambang Rara Denok”. Terdapat pancuran untuk pemandian yang disebut dengan Pancuran Mas. Kolam Rara Denok adalah tempat pemandian berbentuk kolam persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 30 meter, sedangkan kedalaman kolam tersebut berkisar 4,5 meter. Air untuk kolam tersebut didapatkan dari sumber air yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Surosowan yang berbentuk sumur dan danau. Danau tersebut lebih dikenal oleh masayarakat setempat Danau Tasikardi.

Keraton yang dulu merupakan tempat tinggal Raja berserta keluarganya. Layaknya keraton-keraton yang ada di Jawa, Keraton Surosowan juga berfungsi sebagai tempat tinggal Raja, selain itu juga berfungsi sebagai pusat kerajan dalam menjalankan segala bentuk aktivitas kerajaan dan pemerintahan. Semua itu masih bisa dilihat dan ditemukan dari artefak yang ada, yakni alun-alun di sebelah Masjid Agung di bagian barat serta pasar dan pelabuhan di sisi utara dan timur keraton.

Kini, keberadaan Keraton Surosowan menjadi saksi bisu dari masa kejayaan Kesultanan Banten yang tersisa puing-puing bangunan yang berserakan dan beberapa bagian keraton yang masih utuh sampai saat ini.

Persilangan sejarah lintas Benua, Revolusi Prancis 1789-1799 yang juga telah melahirkan paham nasionalisme dan demokrasi yang kini sudah diadopsi dan dielu-elukan kebenarannya oleh dunia sampai saat ini, namun rentetan destruktif nya seakan dilupakan begitu saja oleh dunia bahkan oleh warga Banten nya sendiri.

Bukan bermaksud menyalahkan siapapun dari kejadian yang telah lampau, namun rekonstruksi sejarah juga harus dibagun seimbang, bukan?

Semoga ulasan sejarah ini bermanfaat buat pembaca, karena ibarat busur semakin ditarik ke belakang ia akan lebih jauh menjangkau kedepan.
Begitupun kita dengan lebih jauh mengenal sejarah kebelakang ia akan lebih jauh melihat kedepan dengan ‘karakter’ yang tak goyah oleh angin (perubahan zaman).

*Dari berbagai sumber/versi sejarah.

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien