ACARA SAKRAL yang dilakukan satu tahun sekali oleh masyarakat Baduy dengan membawa hasil panen mereka kepada bapak gede (Gubernur Banten), kerap kali dianggap menyerahkan upeti hasil bumi dari tanah Baduy menuju beberapa tempat di banten: Lebak, Pandeglang, dan terpusat di Serang.
Hasil bumi berupa kelapa, pisang, padi, gula aren dan lainnya, adalah hasil lelaku bertani yang mereka tekuni dari amanat leluhurnya. Hasil bumi yang seyogyanya menyiratkan sistem akur antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, serta manusia dengan Tuhan. Menjadi bukti-kelindan dengan patokan laku-lampah hidupnya “Lojor teu menang dipotong, pendek teu menang disambung”.
Sampai hari ini masyarakat Baduy masih menjalankannya dengan keterbatasan-keterbatasan pertahanan budaya yang semakin terkikis akibat digempur oleh budaya luar. Yang mana budaya luar ini, kerap kali tak memperhitungkan sistem akur yang dianut oleh masyarakat Baduy; perusakan alam, eksploitasi hewan, dan efek negatif lainnya bagi kelangsungan hidup manusia.
Menurut beberapa aktivis Banten, selain konteks ritual tujuan utama dari Seba Baduy adalah sebentuk penyampaian pesan tentang menjaga alam di tanah Banten bahkan muka bumi, karena mereka merasa alam ini hanyalah titipan. Pesan itu terus berulang disampaikan setiap datang waktu Seba kepada pemerintah yang dianggap oleh mereka memiliki kewenangan dan menurunkan kebijakan.
Maka jelas-kiranya pembawaan hasil bumi merupakan pembuktian bahwa bila kita menjaga alam dengan benar, hasil bumi pun akan melimpah-ruah serta keselamatanpun akan menaunginya.
Hal ini lah yang kerap disalah artikan dari Seba Baduy, sebagian masyarakat cenderung menganggap Seba Baduy hanya sebatas penyerahan upeti pada pemerintah, bahkan ada yang menganggap Seba Baduy adalah bentuk keta’atan dan rasa takluk kepada penguasa Serang. Hal ini kerap disayangkan, karena dapat menurunkan esensi dan nilai Seba Baduy yang adiluhung itu, konon nilai ini terkoneksi dengan ajaran karuhun Nusantara.
***
Seba dan Penyelenggaraan Acara
Seba Baduy yang terlaksana saat ini, rupanya menjadi program rutin pemerintah Provinsi Banten. Sejurus dengan itu sebagian orang menganggap, acara Seba Baduy menjadi lahan basah-mengambil keuntungan serta menganggap acara tersebut sebagai proyek penyelenggaraan, entahlah.
Hal ini terasa dari penyambutan yang sangat meriah serta jamuan hangat dari Bapak Gede (GUBERNUR) serta beberapa petinggi Banten pada saat kedatangan masyarakat Baduy ke Serang dengan membawa hasil bumi mereka. Kemeriahan penyambutan dari siang sampai malam hari yang dipenuhi dengan banya nya kegiatan acara, seperti wayang golek, tari-tarian, dan musik, serta lainnya.
Yang menarik dibicarakan ulang adalah acara pada saat malam hari, yang mana acara penyambutan berlangsung di dua tempat. Pertama, dilaksanakan di Museum Banten dengan isian acara penampilan wayang golek. Dan tempat kedua dilaksanakan di Alun-alun Serang dengan isian acara penampilan tari dan pentas musik. Serta keduanya berlangsung secara bersamaan seolah berlomba-lomba saling mengalahkan. Penabrakan dua kegiatan di Alun-alun dan museum setidaknya hanya menghamburkan dana karena tidak adanya kelindan yang purna.
Ironisnya setelah acara selesai, pihak panitia tidak memikirkan nasib masyarakat Baduy akan tidur dan istirahat dimana. Dengan tenda BNPB yang hanya ada beberapa, di tambah tidak ada penutup serta bocor pada saat hujan. Membuat terlantarnya masyarakat Baduy. Ada yang tidur di teras museum, ada yang tidur di trotoar museum, ada yang tidur di bawah pohon, bahkan ada yang tidur di depan toilet.
Seolah Seba Baduy hanyalah sebuah event belaka. Mereka datang bukan untuk jalan-jalan atau mencari hiburan, meski sekalipun ditemukan hari Seba tidak disambut dengan meriah mereka akan tetap datang, sebab pesan yang akan terus didengungkan adalah menjaga alam.
Salahnya mengartikan Seba Baduy membuat banyak pihak seolah berlomba-lomba mendapatkan proyek dan menihilkan nilai utama yang terkandung didalamnya. (*)
Penulis: Jafra, Mahasiswa UIN SMH Banten