Kejati Banten Serius Dalami Perkara BPO WH-Andika, Tersangka Menanti?
SERANG – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten melalui Bidang Intelijen menindaklanjuti laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait dugaan korupsi biaya penunjang operasional (BPO) Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021.
Kejati Banten nampak serius menangani perkara dugaan korupsi BPO Wahidin Halim (WH) dan Andika Hazrumy ini.
Hal itu dibuktikan dengan berhasilnya melakukan pengumpulan data dan keterangan (Puldata dan Pulbaket) serta sejumlah dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perkara tersebut.
“Sehingga pada hari ini Rabu tanggal 16 Februari 2022, hasil Puldata dan Pulbaket dari Bidang Intelijen Kejati Banten diserahkan kepada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Banten,” kata Kasi Penkum Kejati Banten, Ivan Hebron Siahaan, di Kota Serang, pada Rabu, 16 Februari 2022.
Langkah ini dilakukan kata Ivan, untuk dilakukan penanganan selanjutnya sesuai hukum acara pidana yang berlaku.
Ivan menegaskan, bahwa siapapun akan diperiksa untuk mendukung proses penangan perkara tersebut, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur Banten.
“Yang pasti untuk kelancaran pemeriksaan siapa saja sesuai dengan petunjuk pimpinan kita akan panggil untuk dimintai keterangan,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, MAKI telah melaporkan dugaan korupsi BPO Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017-2021 ke Kejaksaan Tinggi Banten melalui saluran elektronik pada Senin, 14 Februari 2022.
Anggaran operasional Wahidin Halim dan Andika Hazrumy itu diduga tidak tertib administrasi dan tidak dibuat laporan pertanggungjawabannya.
“Biaya Penunjang Operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten diduga telah dicairkan dan dipergunakan secara maksimal jumlah pencairannya namun diduga tidak dibuat SPJ yang kredibel,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam keterangan tertulisnya.
Perhitungannya, biaya operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten dari tahun 2017 hingga 2021 menurutnya senilai Rp 57 miliar.
Diungkapkannya, biaya penunjang operasional tersebut tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya.
Patut diduga kata dia, biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay), dan dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap, sehingga dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi. (*/Faqih)