Pembebasan PBB-P2 di Lebak Dinilai Berpotensi Menguntungkan Pemilik Lahan Besar, Aktivis Minta Kebijakan Lebih Tepat Sasaran
LEBAK– Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak yang menetapkan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) untuk tanah hingga 5.000 meter persegi menuai beragam tanggapan.
Meski banyak yang menyebutnya sebagai kado ulang tahun daerah dan bentuk perhatian pemerintah terhadap masyarakat, sejumlah aktivis menilai kebijakan tersebut perlu dikaji lebih dalam agar tidak melahirkan ketimpangan baru.
Langkah penghapusan pajak memang tampak melegakan bagi warga. Namun, menurut para pemerhati kebijakan publik, terdapat celah yang patut diwaspadai, terutama terkait potensi keuntungan bagi kelompok yang memiliki banyak bidang tanah.
Ketua Kumala Perwakilan Rangkasbitung, Idham Mufarrij Haqim, mengungkapkan bahwa kebijakan yang terlihat populis tersebut bisa menimbulkan bias penerima manfaat.
Menurutnya, desain kebijakan perlu dibedah ulang agar benar-benar menyentuh masyarakat kecil.
“Di permukaan kebijakan ini terlihat ringan dan berpihak. Namun tanpa pembatasan yang jelas, ruang manfaatnya bisa lebih besar dinikmati kelompok yang memiliki akses dan kepemilikan lahan lebih luas,” ujar Idham, Kamis (4/12/2025).
Senada dengan itu, Ketua Agitasi Media dan Propaganda Kumala Perwakilan Rangkasbitung, M. Arin Nurdiansyah, menyebut bahwa pembebasan pajak dihitung per bidang, bukan per individu.
Hal ini membuka peluang bagi pemilik banyak lahan untuk menikmati penghapusan pajak secara berulang.
“Seseorang yang memiliki satu bidang tanah kecil tentu merasakan manfaatnya, tetapi tidak seberapa. Namun seseorang yang menguasai belasan bidang tanah di bawah 5.000 meter persegi bisa menikmati pembebasan pajak berkali-kali tanpa batasan. Ini yang menjadi titik kritis,” jelas Arin.
Sementara itu, bagi petani kecil dengan kepemilikan lahan terbatas, nilai manfaat dari kebijakan ini relatif kecil.
Mereka masih berhadapan dengan persoalan klasik: akses produksi, kestabilan harga panen, serta keberlanjutan usaha tani yang belum sepenuhnya terjawab oleh kebijakan fiskal semacam ini.
Dari sisi fiskal, kebijakan pembebasan pajak ini juga berpotensi memangkas pendapatan daerah dalam jumlah besar.
Padahal, kebutuhan pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan program pemberdayaan masyarakat terus meningkat setiap tahun.
Para aktivis menilai bahwa jika tujuannya adalah memperkuat kesejahteraan petani dan masyarakat berpenghasilan rendah, maka kebijakan perlu disertai batasan penerima, klasifikasi ekonomi, serta mekanisme verifikasi yang akuntabel.
Mereka juga mendorong pemerintah daerah untuk membuka ruang dialog publik serta melakukan sosialisasi kebijakan secara jelas dan merata.
Minimnya informasi bisa membuka peluang bagi kelompok tertentu untuk bergerak lebih cepat memanfaatkan celah yang muncul.
“Transparansi sangat penting. Jika sosialisasinya tidak merata dan datanya tidak dibuka, maka kelompok pemodal bisa lebih dahulu memanfaatkan kebijakan ini. Kita menginginkan manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat luas,” tegas Arin.
Dengan demikian, para aktivis menekankan bahwa setiap kebijakan publik harus dirumuskan secara adil dan inklusif.
Penghapusan pajak dapat menjadi langkah positif, namun tanpa klasifikasi penerima dan batasan yang tegas, kebijakan ini justru berpotensi memperlebar kesenjangan kepemilikan tanah di masa mendatang. (*/Sahrul).

