Pembebasan Warga Binaan dalam Diskursus Hukum

BI Banten Belanja Nataru

Oleh : Yusril Hardiansyah Pratama


Akhir-akhir ini publik dibuat kaget atas rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang berencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan dan membebaskan 35.000 warga binaan di lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia.

Hingga kemarin Minggu tanggal 05 April 2020 kementerian hukum dan HAM RI telah mengeluarkan 31.786 warga binaan berdasarkan surat Keputusan kementerian hukum dan HAM Nomor: M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Sistem Pemasyarakatan yang dikenal khalayak umum adalah “penjara” atau pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.

Namun jika merujuk pada sistem pemidanaan modern maka akan dijumpai bahwa tugas pokok dan fungsi Sistem Pemasyarakatan juga mencakup pelayanan terhadap tahanan, perawatan terhadap barang sitaan, pengamanan, serta pembimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan dan klien pemasyarakatan. Oleh karenanya, sub-sub sistem dari Sistem Pemasyarakatan (yang kemudian disebut Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan) tidak hanya Lembaga Pemasyarakatan yang melakukan pembinaan, namun juga Rumah Tahanan Negara untuk pelayanan tahanan, Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara untuk perawatan barang-barang milik warga binaan atau yang menjadi barang bukti, serta Balai Pemasyarakatan untuk pembimbingan warga binaan dan klien pemasyarakatan.


Jika dikaji lebih dalam, maka filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sesuai dengan konsep pidana sebagaimana teori retributifteleogis yang pada akhirnya akan berlabuh pada konsep restoratif justice sebagai konsep hukum modern.

Dengan sistem pemidanaan sebagaimana penulis sebutkan, maka sistem pemasyarakatan Indonesia sudah jauh meninggalkan teori pemidanaan Retributif (pembalasan), Deterrence (penjeraan), dan Resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi).

Sebagaimana pasal 2, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.


Setiap warga binaan memiliki hak. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 14 undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan warga binaan. Bahwa warga binaan berhak :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

Pijat Refleksi

i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapatkan kesempatan mengunjungi keluarga; berasimilasi

k. mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan termasuk cuti

m.mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Menurut harian kompas, saat ini terdapat 254.750 warga binaan diseluruh Indonesia, dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan hanya 131.931 warga binaan, artinya kapasitas lembaga pemasyarakatan di Indonesia over kapasitas sebesar 123.320 warga binaan. Hal ini tentu akan menyebabkan dampak sistemik seperti kerusuhan, APBN yang membengkak karena memberi makan ratusan ribu orang serta yang paling penting adalah gagalnya pembinaan yang diberikan di dalam lembaga pemasyarakatan. Tentunya dampak ini tidak sejalan dengan prinsip pemidanaan modern sehingga Kementerian Hukum dan HAM mengambil jalur membebaskam sekitar 35.000 warga binaan melalui program asimilasi dan integrasi Pembebasam Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas Serta merevisi Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.


Masyarakat memiliki peran dan fungsi yang vital dalam bidang pelaksanaan kegiatan kerja guna menunjang keberhasilan dari program pembinaan yang telah ditentukan oleh lembaga pemasyarakatan. Dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana diperlukan program pembinaan yang menunjang ke arah integrasi dengan masyarakat. Seluruh proses pembinaan narapidana selama proses pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang integral guna menuju kepada tujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat bebas dengan bekal kemampuan seperti mental, fisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin finansial dan materi yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.


Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan tujuan dari fungsi sistem pemasyarakatan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan bahwa Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.


Syarat untuk mengajukan asimilasi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 36 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan dan syarat ini kemudian dibedakan untuk warga binaan yang di pidana karena melakukan tindak pidana terorisme,narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya harus memenuhi syarat sebagai mana Pasal 36 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.


Selain dari asimilasi, Kementerian Hukum dan HAM pula membebaskan warga binaan dengan program integrasi Pembebasam Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.


Opsi ini dipilih oleh Kementerian Hukum dan HAM RI karena sedang terjadi pandemi covid-19 di Indonesia dan negara-negara lain sehingga perlu kiranya Kementerian Hukum dan HAM membuat suatu terobosan hukum yang tentunya berdasar pada tujuan hukum itu sendiri sebagaimana adagium “ Solus Popoli Suprema Lex” (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Dengan lembaga pemasyarakatan yang telah melebihi kapasitas nya, akan menyebabkan kemungkinan semakin cepat pula Covid-19 menyebar kepada setiap warga binaan dan petugas lembaga pemasyarakatan, tentunya ini sangat membahayakan keselamatan, kesehatan dan keamanan serta bertolak belakang pada hak-hak yang harus negara penuhi kepada para warga binaan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 undang-undang nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

Oleh karenanya, sudah barang tentu membebaskan warga binaan dengan program asimilasi, cuti bersyarat, pembebasan ersyarat dan cuti menjelang bebas adalah pilihan yang baik.

Namun, hal ini tidak relevan apabila warga binaan kasus korupsi ikut dibebaskan, karena lembaga pemasyarakatan untuk warga binaan yg dipidana karena korupsi dipisahkan alias khusus dari pada lembaga pemasyarakatan kasus lainnya. Menurut data kementerian hukum dan HAM, warga binaan yang dipidana karena kasus korupsi sekitar 3.000 warga binaan saja, tidak ada satu persen dari keseluruhan warga binaan di seluruh Indonesia. Dan tentunya ini akan mencederai rasa keadilan di masyarakat sehingga akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum di lingkungan masyarakat.


Kasus narkotika menjadi penyumbang terbanyak kedua setelah kasus tindak pidana umum. Menurut data Kementerian Hukum dan HAM bahwa terdapat 23.000 warga binaan kasus gembong/produsen narkotika, 34.000 pengedar narkotika, dan 20.171 warga binaan kasus pemakai narkoba. Sehingga menurut hemat penulis, bahwa lebih tepat untuk mengurangi kapasitas lembaga pemasyarakatan selain dari tindak pidana umum yang harus mendapatkan prioritas program integrasi asimilasi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat adalah warga binaan yang terjerat kasus pemakaian narkoba.
Selain dari pembebasan, pemerintah pun akan merevisi Peraturan Pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan sebagai upaya untuk merespon ketertinggalan hukum akan suatu peristiwa.

Revisi ini akan dilakukan untuk membuat warga binaan yang diatas umur 60 tahun, mendapatkan prioritas mendapatkan program integrasi karena umur tersebut dirasa adalah umur rentan terkena Covid-19. Revisi tersebut tentunya harus mengedepankan keadilan bagi setiap warga binaan dan harus mencerminkan nilai yang terkandung dalam pasal 2 undang undang nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Demi terciptanya tujuan dari hukum itu sendiri karena hukum adalah untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum (Prof. Satjipto Rahardjo).

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Untirta

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien