Mathla’ul Anwar, Muktamar, dan Khittah
Oleh : Destika Cahyana*
PANDEGLANG – Mathla’ul Anwar (MA) akan menggelar muktamar ke-20 dan peringatan hari ulang tahun yang ke-105 dalam dua bulan ke depan dengan memilih tema “Menata ummat dan merekat bangsa” untuk menegaskan komitmennya pada ummat dan bangsa.
Tema tersebut penting sekali karena khittah dari Ormas Islam yang disebut-sebut terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah itu memandang kesadaran kebangsaan sebagai salah satu prasyarat seorang muslim tergolong ahlu sunnah waljama’ah atau tidak.
Khittah adalah garis-garis yang dijadikan landasan oleh organisasi Mathla’ul Anwar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Ormas Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.
Pada khittah itu jelas tertulis bahwa MA mengikuti ahlu sunnah waljama’ah dalam bidang aqidah, syari’ah, siyasah (baca: politik atau pemerintahan dan kenegaraan), dan ibadah.
Pada khittah MA itu disebutkan juga bahwa ahlu sunnah waljama’ah memiliki pemahaman siyasah kenegaraan untuk selalu menjaga kemaslahatan ummat dan menghindari kemudaratan atau kerusakan sebagai wujud kesadaran kebangsaan.
Bahkan dalam khittahnya pula MA membuat definisi yang jelas tentang terminologi “ulil amri minkum”, yaitu para penguasa atau pemimpin yang beriman dan mengurus urusan kemaslahatan ummat seperti lembaga DPR/MPR atau organisasi dalam pemerintahan seperti kementerian dan lembaga-lembaga negara lainnya.
Produk keputusan ulil amri wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan Islam, dan ketaatan pada Allah dan rasulnya belum lengkap bila seorang Muslim yang mengaku ahlu sunnah waljama’ah tapi belum taat pada ulil amri yang sah pada sebuah negeri.
Kita tentu memahami hingga saat ini masih ada pihak yang memposisikan Islam dan Pancasila secara berhadap-hadapan, terutama oleh kalangan yang tidak memahami sejarah Islam dan kebangsaan di tanah air. Tapi MA sejak dulu tidak pernah mempertentangkan demokrasi maupun Pancasila.
Tentu komitmen positif Ormas Islam yang kini berusia 105 tahun itu harus terus-menerus digaungkan agar resonansinya dapat diterima oleh para kader di seluruh penjuru tanah air.
Kesadaran MA untuk mengambil bagian merekatkan bangsa yang majemuk menjadi kontribusi penting bagi terwujudnya bangsa Indonesia yang modern. MA juga dapat dikatakan sebagai pilar penopang bangunan kebangsaan bersama NU dan Muhammadiyah serta Ormas-ormas Islam lainnya.
Khittah MA juga menyimpan kebijaksanaan yang luar biasa dalam menata ummat, karena salah satu garis pokok pada khittah adalah “Mathla’ul Anwar bersikap tasamuh terhadap semua pendapat para ulama mujtahidin”, sehingga sikap tasamuh atau toleran merupakan bagian pokok bagi Ormas tersebut.
Tasamuh dalam Bahasa Arab dapat dimaknai sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling pemaaf. Pada pengertian yang lebih umum tasamuh merupakan sikap akhlak terpuji dalam pergaulan dengan rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan oleh ajaran Islam.
Pedoman ini menjadi penting karena semua sudah mafhum bahwa dalam khazanah Islam terdapat beragam pendapat dan pandangan para mujtahid. MA menerima beragam pendapat itu dengan sikap tasamuh sehingga mampu merekatkan ummat dan bangsa yang pendapat dan pandangan keislamannya heterogen.
Jauh lebih ke dalam, khittah MA juga sangat toleran pada adat yang berlaku di suatu masyarakat. Dalam mewujudkan kemaslahatan ummat misalnya, MA memegang kaidah pokok yang salah satunya berbunyi: “al adatu muhakamatun” yang maknanya kurang lebih “adat itu dipandang hukum” sepanjang tidak menyalahi syari’ah.
Kaidah tersebut menjadi salah satu pertimbangan ulama MA dalam menetapkan hukum suatu masalah baru. Tujuannya agar penetapan hukum sesuai dengan tuntunan dan jiwa syari’ah, yaitu tercapainya kemaslahatan dan kesejahteraan lahir dan bathin, sehingga syari’ah Islam tetap dapat diterapkan di segala tempat dan waktu.
Khittah MA bahkan memberi pedoman sikap seorang Muslim terhadap khilafiyah (perbedaan) pandangan para ulama yang tidak bisa dihindari. Sikap seorang Muslim hendaklah menurut tingkat daya pemahaman masing-masing yang terdiri dari tiga tingkatan.
Pertama, sebagai ‘alim (orang berilmu) alias mujtahid. Hendaklah ‘alim melakukan ijtihad sesuai kadar mujtahidnya atau melakukan tarjih. Tarjih sederhananya adalah melakukan penilaian dalil atas suatu pendapat hukum yang secara kasat mata tampak bertentangan.
Kedua, sebagai orang awam hendaklah mengikuti pendapat ulama dengan menghormati pendapat ulama lain yang berbeda pendapat, dan meninggalkan pendapat yang ada padanya bila jelas menyalahi dalil.
Bahkan khittah membolehkan berpindah-pindah dari suatu mazhab ke mazhab lain pada masalah tertentu, sementara orang awam adalah setiap orang yang tidak dapat mengetahui hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya serta tidak mengetahui jalan memahaminya. Orang awam boleh taqlid setelah bertanya kepada orang yang berilmu.
Ketiga, sebagai muta’alim, yaitu orang di bawah mujtahid dan di atas awam. Hendaklah muta’alim melakukan tarjih bagi yang memenuhi syarat. Namun, bagi yang belum mampu hendaklah mengikuti pendapat ulama seperti orang awam.
Tiga pedoman MA dalam bersikap sebagaimana disebutkan di atas tentunya penting sekali untuk terus digaungkan ke seluruh kader MA, bahkan kepada ummat Islam di tanah air dan dunia.
Terakhir, muktamar MA di era pandemi kali ini tentu akan melahirkan nahkoda baru. Semoga nahkoda baru tersebut dapat menjadi teladan untuk menata ummat dan merekatkan bangsa seraya membimbing ummat melewati pandemi ini dengan tetap sehat wal afiat. (***)
*Penulis adalah Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Generasi Muda (DPP GEMA) Mathla’ul Anwar. Destika saat ini mendapat amanah sebagai Peneliti di Kementerian Pertanian.