Ternyata Pabrik Blast Furnace Krakatau Steel Sudah Berhenti Operasi

Jakarta – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memutuskan untuk menghentikan operasional pabrik peleburan tanur tinggi atau blast furnace sejak 5 Desember 2019. Pabrik tersebut tak mampu menghasilkan baja dengan harga bersaing. “Biaya operasinya terlalu tinggi,” kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kepada Tempo, Rabu 29 Januari 2020.
Silmy menuturkan blast furnace dirancang dengan estimasi harga gas senilai US$ 4,5 per MMBTU. Namun kini harga gas industri melonjak di kisaran US$ 8,5-9 per MMBTU. Dia menyatakan, produk pabrik ini tetap tak bisa kompetitif meski Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang mematok harga gas untuk industri sebesar US$ 6 per MMBTU berjalan.
Menurut Silmy, pabrik yang digadang-gadang mampu menghasilkan 1,2 juta ton metal panas per tahun ini baru bisa efisien jika tak lagi menggunakan gas. Artinya, perusahaan perlu membangun fasilitas baru. Dia mengaku sedang mencari investor untuk menyuntikkan dana pembangunan. “Kami upayakan tahun ini,” kata dia.
Keuangan Krakatau Steel masih belum memungkinkan untuk investasi. Pada 12 Januari lalu, emiten berkode KRAS ini baru saja menandatangani kesepakatan restrukturasi utang senilai US$ 2 miliar dengan 10 bank pemberi pinjaman. Kesepakatan tersebut mengurangi beban bunga dan kewajiban pembayaran pokok utang perusahaan yang tak menumpuk sejak sekitar delapan tahun lalu.
Dari restrukturasi itu perusahaan dapat memperpanjangan pembayaran utang hingga 2027. Dampaknya, total beban bunga berkurang dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Perseroan juga menghemat beban keuangan sebesar US$ 522 juta dan optimalisasi operasional perseroan hingga US$ 163 juta.
Silmy menyatakan utang besar perusahaan salah satunya berasal dari pembangunan blast furnace. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Beban Pokok Pendapatan dan Investasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Tahun Buku 2015 dan 2016 dari Badan Pemeriksa Keuangan, nilai investasi pabrik peleburan baja ini membengkak akibat keterlambatan penyelesaian proyek.
Nilai investasi awal pembangunan pabrik tersebut hanya US$ 674 juta namun meningkat menjadi US$ 682 juta. Akibat keterlambatan selama sebelas bulan, KRAS kehilangan potensi penghematan biaya produksi sebesar US$ 96,7 juta. Perusahaan juga terbebani pinjaman Rp 683 miliar.
Atas dugaan pemborosan tersebut, BPK merekomendasikan agar pembangunan pabrik itu dihentikan. Saran yang sama disuarakan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas. Dia menjelaskan bahwa proyek blast furnace sudah terlambat 72 bulan dan merugikan perusahaan. Dia mencatat harga pokok produksi yang dihasilkan lebih mahal US$ 82 per ton jika dibandingkan dengan harga pasar.
Roy beberapa kali menyampaikan surat kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara terkait potensi kerugian negara tersebut. Namun menurut dia, tak ada respons positif dari pemerintah. Dia pun mengajukan surat berisi dissenting opinion terkait proyek blast furnace sekaligus mengajukan pengunduran dirinya sebagai komisaris independen pada Selasa 23 Juli 2019.
Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menyatakan proyek tersebut sudah bermasalah sejak awal. Dia menilai perlu ada audit operasional dan finansial untuk menemukan akar masalah yang utama serta menentukan rekomendasi untuk injeksi modal pembangunan pabrik ke depan agar lebih efisien. “Mengharapkan injeksi Penanaman Modal Negara cukup berat sehingga lebih baik KRAS mulai mencari investor strategis untuk menghidupkan kembali proyek tersebut,” ujarnya. (*/Tempo.co)