Pasca Gereja Ilegal Ditutup, Masyarakat Pertanyakan Akankah Hiburan Malam Juga Ditutup?

*) Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

 

TERJALINNYA kekompakan antara masyarakat dan Pemerintah Kota Cilegon dalam aksi penutupan tempat ibadah Gereja yang dianggap terselubung atau ilegal pada hari Minggu (23/7/2017) lalu, merupakan semangat sosial culture yang memiliki nilai keberagamaan yang perlu kiranya kembali digelorakan untuk mengatasi persoalan-persoalan lainya di Kota Cilegon.

Terinisiasinya gerakan aksi penutupan Gereja di Kecamatan Citangkil tersebut, bisa jadi terletup bukan karena sentimen atau intoleransi agama, melainkan faktor sosio culture yang berlaku sejak lama di kota yang dulunya wilayah Kerajaan Islam Banten ini.

Kalau masyarakat dan tokoh agama saja bisa meletupkan peristiwa Geger Cilegon 1883 yang melegenda, apalagi kalau masyarakat, tokoh agama dan pemerintah bersatu. Bisa dibayangkan power atau kekuatannya seperti apa? Akan tetapi tentunya power ini harus memiliki nilai dan tujuan untuk mendayagunakan kemashlahatan sesama manusia serta alam dan isinya dalam mengkhalifai bumi Cilegon sebagaimana amanat Allah SWT “Khalifah fil ardl”.

Baca Juga : Masyarakat Bersama Pejabat Pemkot Cilegon Resmi Menutup Gereja “Ilegal” di Citangkil

 

Penutupan Gereja Karena Faktor Adat

Perlu diketahui umat Kristiani sebagai minoritas di Cilegon, namun tidak bisa dipungkiri keberadaannya terus bertambah di kota ini.

Menurut salah satu panitia penyelenggaraan ibadah paskah di sekolah Mardiyuana, Kelurahan Sukmajaya, Kecamatan Jombang, yang pernah saya datangi beberapa bulan yang lalu mengatakan, jema’atnya sudah mencapai 3.000 orang dan mengaku beribadah di sekolahan karena tidak punya tempat atau Gereja di Cilegon dan sudah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kecamatan.

Walaupun dalam isi Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. Dimana pada ayat; (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Namun, persoalan penutupan Gereja di Cilegon dalam analisa saya adalah karena faktor Adat, sebagaimana diketahui, adanya ‘otonomi khusus’ pada daerah-daerah tertentu seperti juga penerapan UU Pemilu pada adat masyarakat Papua dan Baduy di Banten. Hal ini menjadikan kedaulatan regulasi adat lebih tinggi atas regulasi Negara pada persoalan-persoalan yang tidak mengganggu integrasi dan keamanan Negara. Sebagaimana hal adat cium tangan pada tradisi kita, walau secara mainstream banyak cara kita sudah didominasi cara internasional, tapi adat cium tangan masih tetap dilestarikan.

Tidak sedikit para kasepuhan Cilegon yang pernah mengatakan kepada saya: “Silahkan membangun, tapi titip jangan sampai ada Gereja di Cilegon.” Seruan tersebut dikatakan merupakan wasiat dari pada orang tuanya. Seperti halnya pada saat awal akan dibangunnya Pabrik Trikora yang kini berubah nama menjadi Krakatau Steel.

Pada tahun 1959, saat pemerintahan rezim Bung Karno meminta izin kasepuhan di Cilegon untuk membangun pabrik tersebut, dan dipersilahkan bahkan orang-orang Cilegon rela memberikan tanahnya dengan syarat “Asal tidak ada Gereja”.

Dan kalau lebih jauh meninjau kajian sejarah, dalam banyak versi salah satu faktor Geger Cilegon 1883 disebutkan, karena sebelum peristiwa berdarah itu meletus Assisten Gobel (orang Belanda yang Ibadahnya di Gereja), melarang adzan di Masjid. Maka, bisa jadi sentimen inilah yang menjadikan masyarakat Cilegon menolak keberadaan Gereja berada di tanah Cilegon. Apalagi konon keberadaannya terselubung atau ilegal.

Andaikan Masyarakat & Pemkot Juga Kompak Pada Berbagai Persoalan di Cilegon Persoalan

Gereja adalah faktor adat yang bersinggungan dengan agama, karena logikanya dalam hal yang dilarang agama seperti halnya Tempat Hiburan Malam yang masih saja dibiarkan.

Sebagaimana saya singgung di awal, seandainya power atau kekuatan dari masyarakat, tokoh agama dan Pemkot Cilegon tersebut juga didayagunakan untuk merefleksikan benarnya sendiri, benarnya orang banyak dalam mencari kebenaran ing kang sejati. Benarnya sendiri dalam arti secara individu dilandasi dari hasil survay yang sudah saya lakukan, memang kebanyakan masyarakat Cilegon menolak keberadaan Tempat Hiburan Malam (benarnya orang banyak). Dalam mencari benar, benar ingkang Sejati, dalam arti aktivitas yang merusak moral tersebut memang dilarang oleh agama, dan agama adalah panduan dari Yang Maha Sejati, Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasul untuk ummat manusia.

Persoalan Tempat Hiburan Malam di Kota Cilegon

Keberadaannya yang kini makin menyebar dibanyak tempat tentu saja memudahkan masyarakat mendatangi dan terpengaruh oleh keberadaannya. Dari mulai jalan protokol, kawasan Timur JLS (Jalan Lingkar Selatan), sampai kawasan Merak.

Justru keberadaannya pada saat Kota Cilegon masih tergabung dengan Kabupaten Serang, masih terelokasi pada satu titik yakni di Sangkanila, Merak. Namun karena kebijakan Walikota pada awal berdiri Kota Cilegon membubarkannya, maka bak rumah tawon yang hancur, tempat hiburan malam kini menyebar ke segala penjuru.

Bukan bermaksud menyalahkan masa silam, namun alangkah baiknya jika persoalan kemaksiatan ini kembali ditangani setidaknya diminimalisir oleh aliansi masyarakat, Tokoh Agama dan Pemkot Cilegon kembali bergabung dalam aksi menolak Tempat Hiburan Malam, dalam opsi menolak total atau merelokasi keberadaannya untuk meminialisir kemaksiatan.

Tempat hiburan malam adalah tempat dimana kemasiatan seperti zina dan minuman memabukan yang dilarang oleh semua agama. Bahkan dalam agama Islam hal ini disinggung dengan ayat:

“Innamal khomru walmaisiru wal ansobu wal azlamu rijsun min amalissyaiiton”

“Sesunngguhnya khomer/minuman keras, judi, menyembah berhala, mengundi+meramal nasib, semua adalah perbuatan keji dan termasuk dari perbuatan syetan” (Al-maidah: 90)

Juga pada Ayat: ‘Walaa taqrobuz zina innahu kaana faahisyatawwa sa’a sabiila’

“Janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk” (Qs. Al-Israa’: 32)

 

Kekompakan Masyarakat dan Pemerintah Diharapkan Menjadi Solusi

Setelah terwujudnya kekompakan masyarakat, tokoh agama dan Pemkot Cilegon berhasil menutup Gereja yang dianggap terselubung tersebut, maka tidak ada salahnya kekompakan itu kembali diinisiasi untuk menutup atau merelokasi dan membatasi aktivitas Tempat Hiburan Malam yang selama ini menjadi ancaman rusaknya moralitas masyarakat.

Tidak mudah memang, mengingat kompleksnya persoalan ini, dari banyaknya oknum yang bermain sampai tidak beraninya masyarakat bergerak karena ‘sungkan’ berbenturan dengan tokoh-tokoh yang seakan dijadikan backup.

Maka, tidak cukup kekompakan dalam hal ini, diperlukan juga tekad yang bulat dan strategi yang piawai dalam mengatasi kedua persoalan yang aslinya kebanyakan masyarakat Cilegon tidak menyetujui keberadaannya.

So, siapakah yang akan menginisiasi perjuangan ini?

Siapapun nanti yang berani akan saya anggap ia sebagai pahlawan Kota Cilegon. Masyarakat menunggu! (*)

 

 

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Honda