
CILEGON – Sebuah Diskusi Bedah Buku No LC No Party karya Rahmatullah Safra’i, yang dikenal dengan nama pena Mang Pram di Kompasiana, berlangsung dengan menghadirkan sejumlah tokoh penting di Cilegon.
Acara ini menghadirkan Kyai Haji Hafidin, ulama penggerak di Banten, Ahmad Fauzi Chan, Ketua PWI Cilegon sekaligus pemimpin media Fakta Banten, serta Ismatullah, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Cilegon kemudian ada budayawan Kota Cilegon, Kang Indra Kusuma.
Diskusi ini menjadi ajang pembahasan mendalam mengenai realitas sosial yang diangkat dalam buku tersebut.
Mang Pram dalam pembukaannya mengungkapkan alasan mengapa ia menulis buku ini.
Dia juga mengaku mempersembahkan buku ini di momen Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025 yang juga bertepatan dengan Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Menurutnya, sebagai seorang penulis dan wartawan, ia merasa perlu melihat langsung kondisi dunia hiburan malam di Cilegon sebelum menuliskannya.
“Saya sebagai penulis atau sebagai wartawan lebih enak jika apa yang kita tulis, lebih baik kita hadir langsung, melihat hiburan malam seperti apa,” ungkap Mang Pram di Kafe Luang Persona, Rabu (26/2/2025) malam.
Ia menyatakan bahwa setiap kali ia menulis tentang hiburan malam, selalu ada pihak yang memperdebatkan dan meminta agar ia tidak membawa-bawa nama Cilegon.
“Di JLS ini, setiap saya menulis tentang hiburan malam, yang selalu didebatkan itu jangan bawa-bawa Cilegon, karena alasannya lokasinya ada di Kabupaten Serang, bukan Cilegon,” tambahnya.
Namun, ia tetap berpegang pada prinsip bahwa realitas yang terjadi perlu didokumentasikan tanpa harus ditutup-tutupi.
“Makanya saya selalu menulis JLS Cilegon,” ujarnya.
Mang Pram juga mengungkapkan bahwa dirinya telah masuk langsung ke dunia yang ia tuliskan.
“Saya sudah pernah masuk. Setiap kali saya masuk, saya selalu didebat,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa dalam tulisannya, ia tidak pernah menghakimi atau menjustifikasi profesi tertentu sebagai sesuatu yang buruk.
“Saya tidak menjustifikasi profesi LC atau profesi mereka tidak baik,” tegasnya.
Kecuali memang dalam beberapa pernyataan di buku nya, sedikit menyinggung terkait adanya alkohol
Menurutnya, dalam regulasi daerah, dalam Perda, terdapat aturan yang mengatur tentang produk alkohol, yang berada di dunia hiburan malam dan tetap eksis.
“Di Perda ada kan ada produk alkohol itu dilarang,” ucapnya.
Ia juga menyinggung bahwa prostitusi merupakan bisnis paling tua di dunia dan masih terus bertahan hingga saat ini.
“PSK adalah bisnis paling tua di dunia. Hingga saat ini, lokalisasi tetap ada. Bahkan karena adanya michat, prostitusi kini sulit terdeteksi pusatnya ada simana,” jelasnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa keberadaan LC di Cilegon tidak hanya sebatas sebagai pemandu lagu, melainkan memiliki peran yang lebih kompleks.
“LC di sini tidak hanya pemandu lagu,” katanya menyindir.
Mang Pram juga menyoroti kondisi di daerah pelabuhan yang memiliki lokalisasi tersendiri.
“Di daerah pelabuhan, di Cilegon, pasti ada lokalisasi,” imbuh Mang Pram.
Ia bahkan membagikan pengalamannya dalam mengeksplorasi fenomena ini lebih jauh.
“Saya habis Rp900 ribu untuk MiChat,” pungkasnya.
Ketika ditanya alasan mengapa ia membukukan No LC No Party, Mang Pram menjelaskan bahwa sebagian besar tulisannya sebelumnya telah dipublikasikan di Kompasiana.
Namun, ia merasa perlu untuk menyusunnya dalam bentuk buku agar lebih sistematis dan memiliki dampak lebih luas.
“Kenapa No LC No Party ingin dibukukan? Karena sebelumnya sebagian sudah tayang di Kompasiana,” tandasnya.
Baginya, buku ini bukan sekadar tulisan sensasional, melainkan upaya mendokumentasikan fenomena sosial yang terjadi di Cilegon.
“Tentu saja ada harapan, No LC No Party ini saya tidak mau menjustifikasi apa pun yang ada di Kota Cilegon. Saya hanya ingin menuliskan dan menginformasikan, ini yang terjadi di Cilegon, yang katanya Kota Santri,” kata dia.
Ia juga menyoroti perbandingan antara jumlah kamar santri dengan jumlah kamar LC di Cilegon.
“Kamar santri di Cilegon kalah sama jumlah kamar LC di Cilegon,” jelasnya.
Menurutnya, banyaknya pendatang dan industri yang berkembang di Cilegon memperparah persoalan sosial yang ada.
“Apalagi banyak pendatang, banyak industri, persoalan sosial lebih banyak,” tutup Mang Pram.
Mahkota Wartawan
Kritik sosial dalam dunia jurnalistik bukan hal baru, tetapi hanya sedikit wartawan yang berani mendokumentasikannya dalam bentuk buku.
Mang Pram, jurnalis asal Cilegon, kini menjadi satu-satunya wartawan di kota ini yang berhasil mengubah karya jurnalistiknya menjadi warisan intelektual.
Ahmad Fauzi Chan, Ketua PWI Cilegon sekaligus Bos media Fakta Banten, menyoroti keunikan Mang Pram dalam dunia jurnalistik.
“Mang Pram ini salah satu wartawan paling unik di Kota Cilegon. Dia pernah berkarier dalam satu media sama saya, sekarang kami di satu organisasi PWI, banyak dinamika yang sudah kita alami,” ungkap pria yang akrab disapa Ichan ini.
Ichan mengakui belum membaca keseluruhan buku Mang Pram, tetapi dari kata pengantar dan berbagai testimoni, ia bisa merasakan bahwa tulisan Mang Pram memang selalu dinantikan.
“Kritik atau oto-kritik terhadap masyarakat itu sangat dibutuhkan di era sekarang. Terutama di tengah eksistensi berlebihan di media sosial. Mang Pram cukup berani untuk mengkritik masyarakatnya sendiri,” tambahnya.
Menurut Ichan, ini adalah keunggulan utama Mang Pram. Di antara puluhan wartawan yang ia kenal di Cilegon, hanya Mang Pram yang memiliki keberanian dan kemauan untuk menulis buku.
“Sebagai wartawan, Mang Pram sudah dapat ‘mahkotanya’. Dari sekedar berita harian, reportase harian, dia berani merangkum dan menyusun karya yang lebih cermat, lebih abadi,” tegasnya.
Ichan menjelaskan bahwa karya jurnalistik biasanya cepat berubah seiring dengan perkembangan isu.
“Hari ini kita bahas hiburan malam, minggu depan isu lain, apalagi kalau menyangkut berita nasional, bisa cepat bergeser,” katanya.
“Karya jurnalistik butuh effort lebih. Nggak cuma menyampaikan informasi, tapi harus diverifikasi. Jurnalis nggak bisa asal nulis,” Imbuhnya.
Dalam konteks hukum, Ichan juga menegaskan bahwa jurnalis memiliki peran penting dalam menyampaikan kebenaran.
“Penegak hukum bisa memberikan sanksi berdasarkan kewenangan mereka. Tapi jurnalis? Kita bisa menyampaikan pendapat hukum berdasarkan karya jurnalistik kita, karena ada reportase berbasis verifikasi informasi yang jelas,” kata dia.
Ia juga menegaskan bahwa meskipun penegak hukum belum melakukan penyelidikan terhadap suatu praktik yang salah, jurnalis bisa lebih dulu mengungkapnya.
“Bahkan sebelum ada tindakan dari aparat, kita bisa bilang ini salah, dengan versi kebenaran jurnalistik,” pungkasnya. (*/Hery)
