Buruknya Standar Pelayanan Publik Kota Serang Menurut Ombudsman RI

SERANG – Dari hasil survei tentang Kepatuhan Standar Pelayanan Publik yang dilakukan lembaga Ombudsman RI terhadap 22 Kementerian, 6 Lembaga Pemerintahan, 22 Pemerintah Provinsi, 45 Pemerintah Kota dan 107 Pemerintah Kabupaten, salah satu hasilnya menyebut Pemerintah Kota Serang masih masuk pada zona merah.

Meski ada kemajuan terkait pelayanan publik di Provinsi Banten, ternyata ini tidak berimplikasi positif terhadap Kota Serang yang merupakan ibukota Provinsi Banten tersebut.

“Untuk Provinsi Banten kita ambil 5 entitas, yaitu Provinsi Banten, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Banten, Bambang Poerwanto Sumo, Selasa (5/12/2017).

Tahun 2017 ini, Ombudsman masih menilai entitas yang sama di tahun sebelumnya, karena di Provinsi Banten belum ada yang masuk zona hijau.

“Adapun untuk Provinsi Banten terjadi peningkatan, yang beberapa tahun belakangan ini berada di zona merah tahun ini menjadi zona kuning. Begitupun untuk Kabupaten Tangerang yang sekarang masuk zona kuning, untuk Kota Tangerang dan Tangerang Selatan masih tidak bergerak dari zona kuning, sedangkan Kota Serang tetap zona merah,” terang Bambang P Sumo, di sela-sela acara Penganugerahan Predikat Kepatuhan di Balai Kartini Jakarta.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, sejak tahun 2013 lalu Ombudsman RI melaksanakan penilaian dan pemeriksaan tingkat kepatuhan pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah terhadap standar pelayanan publik.

Penilaian ini bertujuan untuk mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. Hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakan traffic light system yakni zona merah, zona kuning dan zona hijau.

Penilaian terhadap pemenuhan standar pelayanan publik berpedoman kepada Pasal 8 UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.

“Dalam penelitian kepatuhan, kami memposisikan diri sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin mengetahui hak-haknya. Misalnya, ada atau tidak persyaratan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, sarana pengaduan, pelayanan yang ramah,” jelas Bambang.

Menurutnya, pengabaian terhadap standar pelayanan publik berpotensi memburuknya kualitas pelayanan. Misalnya, dengan tidak terdapat maklumat pelayanan yang dipampang, maka potensi ketidakpastian hukum terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Untuk standar biaya yang tidak dipampang, maka praktek pungli, calo, dan suap menjadi lumrah di kantor tersebut.

Pengabaian terhadap standar pelayanan publik juga akan mendorong terjadinya potensi perilaku maladministrasi dan perilaku koruptif yang tidak hanya dilakukan oleh Aparatur Pemerintah secara individu, namun juga secara sistematis lembaga.

“Dalam jangka panjang, pengabaian terhadap standar pelayanan publik berpotensi menurunkan kredibilitas peranan pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pembangunan pelayanan publik,” tutup Bambang. (*/Yosep)

Honda