Bringasnya Pemerintah Kolonial Belanda Pasca Geger Tjilegon 1888
*) Oleh: Bambang Irawan
KEKUASAAN Pemerintahan Kolonial Belanda yang mampu bertahan hingga ratusan tahun di bumi Nusantara ini dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan semangat perlawanan dari kaum pribumi berhasil dipatahkan. Selain itu dari berbagai versi sejarah menyebutkan, tidak sedikit kaum pribumi yang mau menjadi antek atau kaki tangan dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Namun tidak bisa dipungkiri apalagi dilupakan begitu saja, bentuk-bentuk perlawanan pahlawan bangsa yang memberontak terhadap pemerintahan saat itu dikendalikan oleh pihak yang secara kedaulatan dan budaya merupakan tamu di bumi Nusantara ini.
Bila di Jawa Tengah ada Pangeran Diponegoro yang dikejar-kejar oleh Belanda, bahkan sampai bersembunyi di Goa Selarong, yang kemudian dijebak dan ditangkap oleh Belanda.
Kemudian di Maluku ada Patimura, orang yang paling dibenci oleh Belanda, yang kemudian dicari dan dijatuhi hukuman gantung. Kedua peristiwa sejarah itu sangat dikenal oleh bangsa Indonesia karena memang diajarkan di sekolah-sekolah.
Dan sebagai orang Banten, kita juga mesti mengetahui jasa-jasa pahlawan yang berjuang melawan penjajahan Belanda Di tatar Banten. Dari Perang Gudang Batu, Ciruas, Menes, dan Geger Tjilegon 1888 yang disebut banyak memakan korban jiwa serta kerugian materil yang besar di pihak Belanda.
Akan tetapi peristiwa sejarah perlawanan dan upaya merebut kemerdekaan dari panjajah Belanda di tatar Banten ini sepertinya masih banyak orang Banten yang belum mengetahuinya. Hal ini bisa dimaklumi karena catatan sejarahnya tidak sebagaimana di daerah lain yang masih diajarkan pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Kisah sejarah perjuangan rakyat Banten seolah terkubur dan luput dari perhatian orang.
Padahal peristiwa yang terjadi pada tahun 1888 ini adalah satu-satu bukti nyata bahwa bangsa Indonesia juga punya nyali untuk merebut kemerdekaan dari Belanda. Bukan hanya membuat pemerintahan Belanda di Kewedanaan Cilegon saat itu kabur kocar kacir, tapi sampai banyak menewaskan penjajah termasuk seorang Wedana yang menjabat saat itu.
Dan peristiwa yang kemudian dikenal dengan istilah Geger Cilegon yang menginspirasi perang gerilya pada awal tahun 1900an hingga1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda yang kedua.
Adapun perang gerilya yang dilakukan oleh bangsa Indonesia di tatar Banten ini salah satu rangkaian terbesarnya adalah kejadian Geger Cilegon. Peristiwa besar yang membuat penjajah Belanda bringas alias marah besar. Sehingga terus mengejar para pimpinan pemberontak dan anak buahnya untuk ditangkap hidup-hidup maupun mati.
Para pahlawan bangsa asal Banten itu minggir dan bersembunyi di hutan dan gunung-gunung sampai akhirnya terjadi pertempuran sengit di desa Cisiit, Pandeglang dan mereka semua gugur sebagai syuhada.
Sampai ada diantara tokoh pejuang yakni Haji Mahmud, yang tidak turut bersembunyi. Beliau ditangkap di rumahnya di Terate Udik, tanpa perlawanan. Hal ini beliau lakukan demi untuk menghindari banyak korban dari balas dendam pasukan Belanda yang sedang memburu para pemberontak. Tapi dasar penjajah, sekalipun Haji Mahmud sudah bersedia ditangkap, tetap saja Desa Terate Udik dibakar.
Semoga dengan diangkatnya kisah sejarah ini, akan mengenal jati dirinya. Dimana para leluhurnya lebih bangga menjadi pemberontak ketimbang harus berkerja sama dengan pihak penjajah. Dan bukan berarti saat ini tidak ada penjajahan, telitilah polanya yang halus. (*)
*) Penulis adalah Sejarawan asal Kota Cilegon yang semangat meneliti sejarah kotanya.