Jelang 133 Tahun Geger Cilegon, Sejarawan Nilai Investigasi Bentukan Pemerintah Kolonial Janggal

CILEGON – Sejarah perlawanan ulama dan masyarakat Banten pada 9 Juli 1888 lampau, baik tingkat pusat hingga daerah. Padahal, bagi pengamat sejarah peristiwa yang akan genap 133 tahun ini, merupakan satu-satunya peristiwa perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang terencana.

Saat wartawan Fakta Banten meminta keterangan salah satu sejarawan Bambang Irawan yang concern pada persoalan yang dikenal Geger Cilegon ini, Bambang mengatakan ada yang cukup janggal dalam hasil investigasi oleh tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

“Ada tim investigasi dari pusat (Pemerintah Kolonial), kalo diceritakan penemuan yang asli kami menduga mungkin akan menurunkan kredibilitas Belanda. Dan laporan itu seolah-olah hanya peristiwa kecil,” kata Bambang, Selasa (15/06/2021).

Tapi, Bambang menemukan fakta atas dugaan tersebut dimana ia mendapat keterangan hingga Tahun 1932 di sekolah desa di wilayah Banten, peristiwa itu hanya disebut perampokan yang dipimpin KH Wasyid untuk merampok rumah pejabat, ada seolah ajakan bahwa KH Wasyid itu tak perlu diikuti.

“Tim ini bekerja pun karena seperti banyak kebingungan banyak surat kabar yang beredar, ada yang mungkin berpihak ke pemerintah Hindia Belanda. Hingga cerita ini beragam versi bahkan jadi headline terus dari 1888-1889 bahkan hingga Belanda,” terangnya.

Kartini dprd serang

Bagi dirinya dan sejarawan Indonesia, ini peristiwa besar yang perlu diangkat kembali, yang sayangnya Pemerintah pasca kemerdekaan, peristiwa ini tak pernah diperingati.

“Ini sebenarnya pemberontakan rakyat Banten yang bertujuan untuk membentuk Pemerintahan yang merdeka sebagai pengganti kesultanan Banten, yang sudah tidak ada. Di buku profesor Sartono ada ucapan KH Abdul Karim untuk menggantikan Pemerintahan dibawah kaum kafir (Kolonial Hindia Belanda),” tuturnya saat ditemui di kediamannya.

Khotbah KH Abdul Karim di Tanara di pesantrennya yang selalu menyampaikan untuk memperbaiki agama Islam di Banten, karena saat itu banyak yang percaya mitos dan mistis. Sekembalinya KH Abdul Karim dari Mekah, ia ingin memurnikan kembali dan meningkatkan peribadatan.

“Ya walau hanya 3 tahun, dan ini dilanjutkan oleh muridnya. Karena kembali ke Mekkah untuk memimpin salah satu tarekat,” jelasnya.

Dalam pidatonya selalu mengobarkan semangat jihad fisabilillah, tapi sesuai etika sebagai warga negara, tak di kampung-kampung memprovokasi hanya di pondok pesantren saja.

Baginya, Kesultanan Banten satu-satunya kerajaan di Indonesia yang dihapus bangunan fisik dan sistem kerajaannya termasuk jabatan kepemimpinannya, dan ini satu-satunya yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda.

“Kalau yang lain misal Jogja kan dirawat,” pungkasnya. (*/A.Laksono).

Polda