FAKTA BANTEN – Pesatnya pembangunan di Kota Cilegon membuat kota yang terus berganti julukan ini semakin kebanjiran. Bukan saja banjir terendam air saja, tapi banjir apa saja dalam salam segala aspek bidang kehidupan. Terutama pada ikhwal urusan mengejar kehidupan duniawi.
Dulu, pada masa Kesultanan Banten dan sesudahnya , Cilegon dijuluki Kota Santri. Ketika datang ekspansi Trikora di tahun 60an dengan mengatasnamakan Negara dan membedol banyak Desa, Cilegon pun beralih julukan menjadi Kota Baja. Kemudian di era tahun 2005, saat penguasa kota yang baru dilantik dengan bangganya menyebut dan menjadikan jargon Cilegon sebagai Kota Mandiri. Tak lama sesudah itu, saat industri terus berkembang pesat, Cilegon pun dijuluki Kota Industri. Dan sekitar dua tahun yang lalu, entah karena rajin apa emang gratis dibiayai rakyat, para pejabat kerap study banding, hasilnya seolah menjadi muqalidin, peniru, pembebek, doyan copas alias copy paste, lalu penguasa kota ini dengan bangganya menyebut Cilegon Smart City. Konsep pengelolaan kota pintar yang sudah lebih dulu bahkan sudah banyak diadopsi oleh kota- kota lain.
Terserah, sekarang kita mau menjuluki Kota Cilegon ini kota apa. Tapi sebelum jauh menela’ah jauh persoalan banjir, ada baiknya kita mundur sejenak ke belakang. Coba mengenali diri kita dari riwayat kehidupan nenek moyang kita di Cilegon. Ibarat busur panah yang ditarik lebih jauh ke belakang, akan melesat lebih jauh ke depan. Maka cobalah kenali diri kita dengan meneliti asal- usul kita sejauh mungkin ke belakang.
Maka, perlu kita ketahui kalau Alam; Tumbuhan, Hewan dan Jin adalah makhluk seniornya mbah buyut kita Adam AS. Meksi penting juga kita tahu “Sangkan Paran Ing Dumadi”, bahwa makhluk pertama yang di Ciptakan oleh Allah SWT adalah Nur Muhammad. Dan ada baiknya juga sih kita meraba sejarah kehidupan dari manusia pertama Adam AS hingga zaman now dimana kita hidup.
Tak usah jauh-jauh deh, pada tahun 1960an saja, sebelum ekspansi industri datang ke Cilegon, profesi kehidupan masyarakat Cilegon mayoritas adalah sebagai petani, nelayan dan pedagang. Kok seakan kita tidak berdaulat, begitu saja meninggalkan profesi warisan orang-orang tua kita dulu. Malah gagap berebut mengikuti industri?
Dan saya kira dengan mengetahui asal usul siapa diri kita, bisa membentuk karakter yang kuat, hidup kita lebih berdaulat dan bermartabat. Kita tidak mudah meniru dan diganggu oleh hal-hal yang bersifat baru.
Cilegon Banjir Uang
Kehadiran industri di Cilegon yang terus merambah merangsek ke pemukiman penduduk seolah tanpa batas ini. Tentu merupakan “Banjir Uang” dari para investor ke Cilegon. Bahkan banjir kiriman penduduk dari luar daerah hingga luar negeri yang ingin ikut meraup pundi-pundi uang tersebut. Belum lagi uang-uang dari pata investor di bidang property serta perdagangan dan jasa lainnya yang menunjang eksistensi industri.
Dan dalam pemerintahan kota pun Cilegon banjir uang yang setiap tahunnya selalu bertambah, APBD tahun 2018 sudah nyaris menembus 2 triliun, penerimaan pajak pun tahun ini ditarget 4 triliun lebih.
Sudah hampir semua pojok Kota Cilegon saya pijak frekuensi, saya lihat, pandang dan tatap dimensinya, saya amati nuansa-nuansa masyarakat asli kota ini. Akan tetapi setelah saya bandingkan dengan kondisi ekonomi para pelayannya atau pejabat yang dibayarnya di kota ini. Saya hanya bisa berkata miris! Yang kalau saya hitung… Seandainya saya ungkapkan… Bila saya tumpahkan… Apabila saya hujan deraskan perasaan ini… Dan jika saya jebol air bah perasaan apalagi sampai saya ledakkan semuanya itu, saya tak tega pada masyarakat Cilegon akan menjadi sedih karena mengetahuinya. Jadi biarlah, “Gustiallah Mboten Sareh”!
Tapi ada hal-hal dimana masyarakat Cilegon perlu mengetahuinya, seperti terjadinya penggumpalan uang di pusat Kota Cilegon yang dominan untuk pembangunan struktur kota. Sementara untuk pembangunan di sektor desa yang kini diganti kelurahan sejumlah 43 itu, hanya diberi 5 persen saja dari APBD melalui program Dana Pembanguan Wilayah Kelurahan (DPWKel).
Sudahlah, izinkan saya hanya sekadar mengingatkan para penguasa di kotaku, secara halus melalui puisi ini:
Apa ada angin di Cilegon ini
Seperti dilepas desa Curug Kenari
Apa cintaku bisa mencari
Oyot bukit Cadasari
Mengendap di lubuk jiwa
Tersentak jauh ke sudut kota
Lalu siapa yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Ingat siapa kita
Membangun esok hari
Kembali ke huma dengan hati
Selain itu, sadarilah dengan pembangunan yang dilakukan selama ini Cilegon Banjir Uang, Cilegon juga Banjir Dosa…
Cilegon Banjir Dosa
Wah… sungkan rasanya membahas urusan dosa yang abstrak ini, yang mungkin bisa dideteksi oleh kedalaman kesadaran rasa, akal dan hati orang yang beragama. Apalagi saya sendiri hidupnya masih berlumur dosa, jadi tak enak hati saya. Bukan juga bermaksud mendiskreditkan kota kelahiran tercinta ini.
Ini hanya sebagai bahan untuk intropeksi diri saya yang ingin mengajak berjama’ah, melakukan perenungan massal dan bermuhasabah bersama-sama. Perlu juga kiranya hal ini di ulas untuk saling mengingatkan. Karena walaupun abstrak, dosa bisa diketahui dengan ilmu Agama.
Dengan mempelajari ilmu agama kita bisa ber-amal ilmiah dan ber-ilmu amaliyah, untuk tidak berbuat dosa yang jelas-jelas dilarang oleh Agama.
Maka, karena kita orang yang beragama setidaknya kita tahu akan definisi apa itu dosa. Dan lihatlah realitas di kota yang seakan bangga dan jumawa dengan kemajuan materiil duniawi yang berkonsekuensi pada banyaknya prilaku-prilaku dosa. Mungkin diskotik yang banyak terdapat di pusat kota dan mulai merambah ke perkampungan ini identik dengan dosa. Tapi itu masih mending, meski polanya mirip-mirip dosa oknum pejabat korupsi, yang dilakukan tertutup didalam ruangan. Mungkin kadar dan jenis dosanya saja yang berbeda.
Adanya diskotik juga tidak lepas dari majunya pembangunan di Cilegon yang dianggap sebagian orang sebagai komoditas untuk hiburan melepas penat.
Kalau mengacu pada konteks ruang dan waktu, ada juga bentuk dosa yang disebut dosa sosial dan dosa jariyah, cobalah para pemangku kewenangan dan kebijakan serta penegak hukum dan Perda di kota ini berkeliling lihat-lihat sesuatu yang itu dosa. Dosa yang bahkan dilakukan secara terang-terangan dan tidak malu-malu, seperti banyaknya tongkrongan pemuda dengan meminum miras, mesum berpacaran di fasilitas umum, kejahatan seperti penjambretan HP yang kabaranya belakangan marak di Cilegon. Tentu fenomena ini harus bisa dicegah dengan melakukan langkah-langkah preventif secara komperhensif.
Dan karena saya yang bukan Ustadz ini tentu saja tak mampu lebih jauh menjabarkan definisi-definisi dosa secara literer sebagaimana tertera dalam teks kitab Suci Al-Qur’an dan Hadist. Saya hanyalah gelandangan di kota ini.
Kepada rekan-rekanku komunitas gelandangan filosof, kusiapkan semacam doa dalam bahasa balaghoh dan ushlub berikut ini:
“Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka”
“Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret,
menggangsir atau syukur merampok rumah mereka”
“Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit”
“Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-dosa ini sebagai wujud pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan lil’alamin”.
Cilegon Banjir Air
Tentu masih hangat peristiwa banjir di Kota Cilegon di awal tahun 2018 ini, bahkan mungkin ada korban banjir yang masih merasakan dampaknya. Meski terjadi di wilayah yang memang menjadi langganan banjir, seperti kecamatan Ciwandan dan Jombang. Namun banjir pada musim penghujan kali ini dianggap yang terparah dan lebih meluas titik-titik banjirnya.
Pengakuan pihak Pemkot Cilegon dalam hearing tuntutan penanganan banjir Ciwandan di gedung DPRD pada tanggal 13 Februari lalu. Dimana Pemkot Cilegon yang menjadi salah satu pihak yang dituntut menyelesaikan persoalan banjir oleh masyarakat Ciwandan, mengakui karena pada tahun 2017 lalu penanganan banjir difokuskan pada dua kecamatan yaitu Pulomerak dan Jombang. Tapi anehnya, titik-titik banjir di Jombang sebagai kawasan pusat kota justru malah meluas dan makin parah. Seperti di Rokal, Kampung Jambu, Jombang Gardu serta beberapa titik di Kelurahan Sukmajaya.
Banyak faktor memang yang menjadi penyebab banjir di Cilegon. Diantaranya masyarakat Cilegon yang kerap membuang sampah sembarangan disekitar bantaran Kali. Sehingga menyumbat laju air meluap ke atas menjadi banjir.
Adanya penanganan banjir Ciwandan yang kini tengah dilakukan oleh pihak industri terkait, yang dituding menjadi penyebab banjir, dengan normalisasi Daerah Alirah Kali (DAK) wilayah hilir. Namun sepertinya persoalan banjir Ciwandan bukan hanya itu, perlu juga adanya rekondisi lahan hijau pada kawasan hulu yang makin kritis akibat dieksploitasi oleh pelaku tambang pasir.
Banyak faktor penyebab banjir yang sangat kompleks di kota ini, maka perlu adanya kesadaran bersama-sama untuk mencari solusi terbaik.
***
Tiga ulasan “Banjir” di Cilegon tersebut mungkin lebih jelasnya sebagai bentuk kritik kepada majunya pembangunan yang dilakukan kurang memperhatikan terhadap ketiga dampaknya tersebut. (*/Red)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online