Gadis Pemetik Cabe Rawit di Cilegon Selatan

DPRD Pandeglang Adhyaksa

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

FAKTA BANTEN – Serasa sedang tidak berada di Kota Cilegon yang dikenal sebagai daerah dengan suhu yang panas, ketika berada di Cilegon bagian Selatan, suatu kawasan lereng pegunungan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Serang. Tepatnya di Kampung Jeruk Tipis, Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber, Rabu (23/5/2018) sore.

Suasana teduh sesudah hujan siang tadi serta sejuknya udara merasuk hingga ke jiwa, ditambah pemandangan rindangnya suasana pepohonan hijau yang masih banyak tumbuh. Ada romantika tersendiri saat ingat suasana alam Cilegon tempo dulu sewaktu saya kecil, sekira 25-30 tahun yang lalu.

Suatu nostalgia yang begitu kuat menyusupi jiwa raga, sehingga rasa haus dan lapar puasa di bulan Ramadhan hari ini, seketika saja hilang tak terasa. Saya beberapa kali tertegun oleh indahnya alam yang terbentang, kesan eksplisit dari anugerah Tuhan yang patut disyukuri ini. Dan tak terasa bibir ini terdesak hati dan ikut berkspresi; Subhanallah…

Hijaunya hamparan perkebunan warga berupa tanaman Singkong, Pisang, Kelapa, Kacang, Tangkil, Cabe Rawit, serta buah dan sayuran lainnya, tampak begitu indah dipandang mata. Salah satu bentuk kearifan lokal Cilegon yang masih terus dipertahankan oleh masyarakat di Cilegon di bagian Selatan dan nyaris dilupakan oleh masyarakat Cilegon di wilayah Barat, Timur, Tengah bahkan mungkin Utara yang begitu ueforia akan kemajuan jaman.

Tentu saja keadaan ini sangat kontras bahkan mungkin berbalik 180° bila dibandingkan dengan suasana Cilegon di kawasan perkotaan yang penuh hingar bingar aktivitas glamour serta semakin macetnya lalu lintas. Apalagi dengan panasnya wilayah pesisir dari Kecamatan Pulomerak hingga Kecamatan Ciwandan yang sudah dipadati oleh industri-industri raksasa, yang setiap saat mengeluarkan polusi ke udara, daratan dan air.

Loading...

Enggan rasanya kaki ini bergegas pergi dari sudut tepi jalan di pojok Kampung Jeruk Tipis ini. Namun hari semakin gelap, saya harus kembali ke rumah untuk berbuka puasa bersama keluarga. Dengan langkah agak berat, kembali menyusuri jalanan sepi di Kampung tersebut dengan perlahan.

Hanya beberapa ratus meter, kembali bibir ini terdesak untuk mengungkapkan ekspresi; Subhanallah. Ketika tampak seorang gadis berparas cantik sedang memanen Cabe Rawit di kebun yang jaraknya hanya beberapa meter dari jalan. Ia begitu setia menemani Ibu dan Bapaknya memetik Cabe Rawit satu persatu dan memasukannya ke Ceceting.

Langsung kuhentikan laju sepeda motor, kutatap gadis ayu yang tampak ayu alami tanpa make up kosmetika itu. Tiba-tiba menghadirkan rasa segan dan sungkanku, pada sifat baktinya kepada kedua orang tuanya serta kesetiaannya merawat dan berharmoni pada alam yang memberikan hasil untuk kehidupan manusia. Kaki ini terasa berat untuk menjumpai, menyapa dan berkenalan dengan gadis desa yang begitu menggoda itu.

Dan sayang beribu sayang, saat kutanyakan tentang gadis desa itu pada tetangganya yang habis pulang berkebun dan melewati jalan di depanku, kudapatkan kabar; bahwa gadis itu sudah dijodohkan oleh orang tuanya, dan akan dinikahkan pada bulan haji nanti. Wow!

Suatu tatanan desa yang merupakan kearifan lokal Indonesia yang masih bertahan dan patut diapresiasi. Saya enggan untuk mengusiknya.

Suatu nilai yang sudah berlangsung dan masih terjaga sekian dekade, abad bahkan milenium dari manusia berkatakter nomaden, menjadi suku, terbentuk kerajaan hingga membikin negara seperti sekarang.

Namun ada dua keindahan dari Tuhan yang berpadu sekaligus kudapatkan sore tadi. Indahnya pemandangan hamparan alam hijau dan kecantikan alami gadis desa. Sungguh saya sangat menikmati dan mensyukurinya. (*)

 

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien