CILEGON – Meski sering dianggap faktor determinan menjadi penyebab semakin parahnya banjir di Kota Cilegon, aktivitas tambang pasir cadas sejak dibangunnya Jalan Lingkar Selatan (JLS) dan kini terus merangsek ke kawasan pedalaman wilayah Selatan Cilegon. Namun hingga kini, belum ada ketegasan dari otoritas terkait untuk berani menutupnya.
Selain itu, kerusakan lingkungan hidup akibat tambang pasir cadas di Kota Cilegon sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sepertinya belum mendapat perhatian serius dari Pemkot Cilegon dan Pemprov Banten.
Untuk mengungkap hal ini, faktabanten.co.id coba menelusuri lebih jauh mengapa bisa demikian. Dari obrolan santai dengan salah satu pelaku usaha tambang pasir cadas yang enggan disebut namanya, ia menceritakan bagaimana usahanya bisa aman dan lancar dengan cara menyuap otoritas terkait yang tidak berani menyebutkan nama instansinya.
“Kalau belum punya izin usaha perataan lahan, setiap bulan kita harus setor ke instansi ini Rp 5 juta, itu Rp 5 juta, belum lembaga lainnya. Tapi kalau sudah punya izin paling ngasih uang koordinasi. Kalau ada yang datang ke lokasi tambang kasih uang bensin,” ungkapnya.
Selain itu, untuk menghindari masuk kategori tambang galian C, para penambang mensiasatinya dengan berpindah-pindah lokasi tambang dengan luas garapan di bawah volume tertentu.
“Bahan cadas belinya yang luasnya di bawah ketentuan, kalau habis ya pindah lokasi dulu. Saya beli ke warga, ada yang angkat surat, ada yang cuma beli tanahnya saja dengan ketinggian kali luas tanah. Solar untuk bahan bakar alat berat/ beko, kita beli, mau itu resmi atau ‘kencingan’ yang penting aman dan mudah (mau ngirim ke lokasi tambang pasir),” terangnya.
Dari pantauan langsung, kini aktivitas tambang pasir sudah kian masuk ke wilayah pedalaman JLS, ada beberapa diantara penambang yang membuat jalur sendiri untuk akses keluar masuk truk pasir. Tapi faktanya lebih banyak penambang yang memanfaatkan akses jalan yang sudah ada. Seperti di Jalan Bagendung- Mancak, Jalan Pemkser-Mancak, Jalan Krotek- Cikerai, Jalan Bulakan dan sebagainya.
Kalau memang pasir dibutuhkan untuk pembangunan di Kota Cilegon, kenapa penjualan pasir cadas Cilegon justru faktanya lebih banyak diangkut oleh truk-truk tronton ke luar Cilegon?
Dan kiranya sudah sepatutnya ada pembatasan atau regulasi khusus, untuk membatasi aktivitas tambang pasir yang terus mengeksploitasi alam sekaligus menjadi upaya konkrit dalam mencegah terjadinya bencana banjir di Kota Cilegon. (*/Ilung)