CILEGON – Meski semakin langkanya pohon kelapa, yang daun mudanya (Janur Kuning) sebagai bahan utama membuat ketupat. Tidak menyurutkan antusiasnya masyarakat Kota Cilegon untuk terus melestarikan tradisi ‘Kupat Qunut’, di pertengahan bulan suci Ramadhan 1439 Hijriah yang jatuh pada hari Kamis (31/5/2018) hari ini.
Tidak seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, yang mana umat Islam menyajikan hidangan ketupat hanya pada saat Hari Raya ‘Idul Fitri saja. Tapi di Cilegon dan sebagian daerah di Banten, selain menyajikan ketupat pada Hari Raya ‘Idul Fitri, pada masa pertengahan bulan Ramadhan juga secara serempak, masyarakat yang mayoritas beragam Islam ini, ramai-ramai membuat ketupat.
Kupat Qunut ini juga bisa diartikan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, karena sudah bisa melewati separuh puasa.
Bila dulu ketika sehari menjelang pertengahan bulan Ramadhan masyarakat Cilegon yang akan merayakan tradisi Kupat Qunut, mengambil Janur Kuning begitu mudahnya dengan memanjat pohon kelapa yang masih banyak tumbuh di ‘berimah tegal’ atau kebun di belakang rumah, dimana satu papah daun muda kelapa itu biasanya cukup untuk dua kepala keluarga.
Namun kini, akibat dampak negatif pembangunan khususnya industri, dalam kurun dua dekade terakhir yang pesat terus menerabas lahan-lahan pertanian di kota industri tersebut. Sehingga pohon kelapa yang dulu banyak tumbuh di Cilegon yang merupakan wilayah agraris sekaligus di plot sebagai kawasan pertanian pada masa era Kesultanan Banten ini juga ikut tergusur.
Meski demikian, tidaklah menyurutkan antusiasnya masyarakat Cilegon untuk tetap melestarikan tradisi Qunutan yang konon kabarnya sudah turun menurun sejak masa Kesultanan Banten.
Hal ini didasari dari pantauan faktabanten.co.id pada hari Rabu (30/5/2018) kemarin dan Kamis (31/5/2018) pagi ini, dimana banyak masyarakat khususnya di Perkampungan yang tengah membuat kerangka ketupat. Baik di dalam maupun di halaman rumah masing-masing.
Dan walaupun kini masyarakat Cilegon sudah banyak yang tak lagi memiliki pohon kelapa, namun sebagian masyarakat lainnya yang berprofesi sebagai pedagang bisa mendapatkan Berkah Ramadhan dengan berinisiatif menjual Janur Kuning dengan harga Rp 4000/ 25 batang Janur.
Selain menjual janurnya, di Pasar Induk Kranggot juga tampak pagi tadi selain menjual Janur Kuning, para pedagang juga sekaligus kerangka ketupat yang sudah jadi, dengan harga yang bervariasi tergantung ukuran.
Sesudah sore hingga malam hari masyarakat Cilegon membuat kerangka ketupat, biasanya malam hingga pagi kerangka ketupat ini diembunkan agar tidak alum atau mengering. Kemudian pagi harinya baru di isi beras dan direbus hingga beberapa jam lamanya.
Sambil merebus ketupat, untuk menu lauk hidangan ketupat ini masyarakat Cilegon memotong biasanya ayam kampung yang biasanya dimasak menjadi opor, ada juga sebagian yang membeli daging sapi atau kerbau untuk menu lauk rabeg.
Yang kemudian pada sore menjelang buka atau ba’da tarawih, dari rumah masing-masing, masyarakat membawa ketupat dan lauknya ke masjid atau langgar di kampung setempat untuk mengadakan riungan yang diiringi pembacaan do’a, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur sudah melewati separuh puasa di bulan suci Ramadhan.
Suatu tradisi atau kearifan lokal asli Cilegon yang perlu kiranya untuk terus dilestarikan dan dijaga oleh para generasi yang akan datang di kota santri yang kini lebih bangga menjadi kota industri tersebut. (*/Ilung)