Makna Hari Santri; Demokratisasi Pendidikan Ala Pesantren Salafi
CILEGON – Tahun ini, adalah tahun ke-6 perayaan Hari Santri Nasional (HSN) setelah ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015 lalu. Menurut Presiden Jokowi, penetapan tersebut merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sejak tahun 2015 santri memiliki kedudukan pengakuan dari pemerintah sebagai kado istimewa, ditambah lagi dengan adanya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi sejarah baru bentuk (pengakuan) Negara terhadap pesantren yang eksistensinya sudah ada berabad-abad silam.
Salah seorang pengamat sosial yang juga alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jawa Timur, Achmad Juhaini memberikan makna hari santri yang berbeda antara makna hari santri dan makna pondok pesantren salafi, yaitu menurutnya santri adalah komponen bangsa dan pesantren salafi adalah sebagai demokratisasi pendidikan.
“Kalau sekarang Prabowo mengangkat komponen cadangan bela negara, ya santri itu adalah komponen bangsa. Pendidikan santri itu tidak tercipta dengan sedemikian rupa tapi dia dengan budaya yang sudah dilakukan turun temurun dari zaman ratusan tahun yang lalu, sehingga bisa di klaim demokratisasi pendidikan itu ada di pesantren salafi,” kata Achmad Juhaini kepada Fakta Banten, Jumat (22/10/2021).
Juhen sapaan akrabnya lebih jelas menerangkan pesantren salafi sebagai demokratisasi pendidikan dengan sistematika informal dan juga belajar itu dari santri oleh santri dan berjalan dengan sendirinya.
“Santri tidak bisa begitu saja dikesampingkan apalagi dengan munculnya adagium (pepatah) Islamophobia. Pesantren salafi itu memiliki sistem yang dibentuk oleh mereka sendiri yang tidak bisa dihukumi. Sistem pendidikan nasional secara umum apakah bisa seperti salafi? Agak susah, nilai pendidikan secara umum belum masuk seluruhnya kepada anak dibanding nilai pendidikan salafi. Finlandia sudah menggunakan sistem itu, kita belum,” ungkapnya.
Menurutnya pada hari santri yang diperingati sejak tahun 2015 ini jangan dijadikan sebagai euforia belaka akan tetapi hari santri itu mengandung nilai nilai santri jika tidak ada, maka santri akan terbelakang.
“Hari santri itu bukan euforia belaka tapi ancaman, betul tidak santri itu eksis? bukan hanya itu, terbukti sekarang panggung politik siapa yang menduduki? oke sekian persen santri, tapi apakah itu diakui santrinya? tidak. Diakuinya di universitas ini, tokoh bidang ini, gak ada santri, jarang,” katanya.
Lebih jauh Juhen menjelaskan langkah pemerintah saat ini sangat tepat tetapi mengandung misteri, akan bahaya jika diteruskan tanpa muara yang pasti. Menurutnya juga hari santri itu bukan hanya slogan, bukan hanya mengingatkan, bukan hanya penghargaan dari pemerintah, tapi nilai oleh santri itu harus terakui ditengah tengah masyarakat umum.
“Dengan pengakuan ini tuntutan santri semakin banyak, kita tidak hanya berkepentingan dengan orang Islam, kite berdampingan dengan orang yang ada di negara bhinneka tunggal ika, yang di dalamnya itu multi etnis,” Katanya
“Hari santri itu ada batasan, batasannya kepatutan, takala itu dinyatakan patut dilakukan maka dilakukan dengan garis-garis tersendiri, tapi kalo itu sekadar euforia maka ke depan pengembaliannya adalah antipati,” pungkasnya (*/Ihsan)