*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
FAKTA BANTEN – Pada beberapa bulan ini, bumi ikut meramaikan kegaduhan umat manusia. Bumi ikut berceloteh dengan bahasanya yang ditafsirkan sempit oleh manusia, terutama dengan gempa. Ya, akhir-akhir ini bumi berkata-kata kepada manusia dan makhluk tuhan lain di dalamnya dengan gempa.
Namun sayang, dunia manusia sepertinya sedang mengalami kemunduran yang sangat parah. Kata-kata yang diucapkan bumi hanya ditafsiri dengan kacamata kuda, bernama “bencana alam”. Dan kata “bencana alam” inipun, mungkin bermanfaat di antara sesama manusia. Akan tetapi bila ditinjau dalam prespektif sopan santun komunikasi antar sesama makhluk Tuhan, ungkapan ini cukup subversif.
Dan parahnya lagi, ada segolongan manusia yang begitu berani menegaskan bahwa gempa itu adalah hukuman dari Tuhan buat “mereka”. Bahkan dengan sangat yakinnya sebagian kecil manusia ini menunjuk “mereka” sembari melupakan prilaku (dosa-dosa) dirinya sendiri. Konon, menurutnya, Tuhan menghukum “mereka” karena banyaknya perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender ) di negeri ini, sehingga “mereka” harus menerima akibatnya. Lalu menyeruak ke ruang publik kita dengan kegaduhan pro kontra.
Narasi atau deskripsi semacam itu bias dan sepertinya tidak menempatkan persoalan pada possesioning, koordinat yang presisi. Apa yang salah dengan bumi ketika berkata-kata dengan longsor, gempa, banjir, tsunami (yang kemudian disingkat LGBT juga)? Sebagai makhluk Tuhan, ya sah-sah saja dilakukan. Kan manusia juga sudah diberi ilham oleh Tuhan untuk memahami perilaku bumi melalui berbagai keilmuan yang sedemikian banyaknya.
Jadi benarkah apa yang dilakukan bumi disebut sebagai bencana, yang dalam prasangka kita bumi berbuat jahat pada manusia? Padahal itu, adalah tradisi bumi dalam berkata-kata.
Apakah benar kita menempatkan “mereka” sebagai pihak yang pantas dihukum oleh Tuhan? Sebegitu yakinkah kita dengan kemuliaan diri kita sendiri dan kehinaan “mereka”? Mengapa tidak kita sadari bahwa jika memang bencana itu sebagai azab Tuhan akibat merebaknya LGBT di negeri ini, seharusnya kita semua mendapatkannya, tanpa pandang bulu. Tak bisakah kita berendah hati bahwa sebenarnya ada longsor, gempa, banjir, tsunami yang sedang mengepung kita, lebih besar dari pada yang bumi lakukan?
Apa tidak sebaiknya kita berkaca pada diri kita ini yang bisa jadi sekarang sedang mengalami longsor akal sehat. Sehingga apa pun yang terjadi, kita sering luput memahaminya, sebab termakan aneka dogma dan mitos, sampai lupa mengolahnya dengan akal sehat karunia Tuhan.
Atau siapa tahu kita ini sedang mengalami gempa kehidupan, sehingga mudah goyang ke sana kemari. Kita sering kehilangan keseimbangan, akibatnya tidak jernih melihat segala sesuatu. Berikutnya kita juga kebanjiran aneka hoaks dan isme. Ini adalah zaman di mana kita susah melihat kasunyatan saking banyaknya hoaks dan isme-isme yang memerangkap cara pandang kita. Puncaknya kita mengalami tsunami kehidupan sehingga kita ‘kintir’ hanyut dan tidak sanggup bertahan lagi dari berbagai gempuran persoalan itu.
Maka, perlu kiranya kita upayakan harmonisasi. Bumi adalah rumah kita, maka apa pun yang ia lakukan, pasti ada maksudnya dan ada tanda-tandanya. Sebab bumi dan manusia, sama-sama makhluk Tuhan, seharusnya terjalin komunikasi yang baik. Bangsa manusia, sebaiknya mulai menghentikan sebutan “bencana alam”. Sebab, setiap aktivitas bumi, tandanya bisa dikenali. Hanya saja manusia itu sering lalai, karena terlalu sering bertikai dengan sesamanya.
Kebiasaan sering bertikai ini, akibat kita semua mengidap virus LGBT seperti yang dijabarkan pada paragraf sebelumnya, yaitu LGBT dalam pemaknaan baru yang lebih luas dan kompleks.
Dan perlu disadari bersama, bahwa bumi adalah makhluk seniornya manusia, bukan hanya sebatas dihormati, bumi harus di ruwat atau dirawat. Bumi harus kita perindah sebagai rumah kita. Kita harus _mamayu hayuning bhumi_. Jangan lagi mengeksloitasi bumi, merusak hutan, menggunduli gunung, mencemari lautan dan udara dengan limbah polusi.
Memayu hayuning bumi, demikianlah kira-kira kalimat yang tepat untuk kita gunakan dalam menyebut i’tikad baik kita. Kalimat tersebut mengandung makna memperindah apa yang telah indah di bumi. Tuhan sudah menciptakan bumi seisinya ini dengan keindahan. Mengapa kita justru mengisinya dengan pertengkaran. Sudah bukan saatnya lagi untuk meneruskan perselisihan. Ini adalah saatnya berkolaborasi baik dengan sesama manusia, dengan bumi, dan dengan makhluk tuhan lainnya yang sama-sama meninggali bumi tercinta ini. Sebelum semuanya terlambat. (*)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online
