CILEGON – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten mengungkap adanya pelanggaran dalam insiden kecelakaan kerja yang menewaskan seorang karyawan PT Selago Makmur Plantation di Ciwandan, Kota Cilegon, pada Minggu (10/8/2025).
Penyidik dan Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Banten, Rachmatulah, menjelaskan hasil penelusuran pihaknya di lokasi kejadian menemukan bahwa perusahaan tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di ruang terbatas.
Selain itu, Rachmatulah memaparkan terdapat kondisi berbahaya yang tidak ditangani secara optimal, seperti pengamanan area kerja yang tidak sempurna dan Standar Operasional Prosedur (SOP) keselamatan yang tidak disusun sesuai ketentuan.
Saat ini, Satreskrim Polres Cilegon juga sudah melakukan pemanggilan sejumlah pihak untuk penyelidikan.
Sebelumnya diberitakan, korban berinisial SS tersebut meninggal dunia setelah tercebur ke dalam tangki metanol pada Minggu (10/8/2025).
Kabar dari internal perusahaan menyebutkan bahwa korban tewas tersebut diperintahkan mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya korban tidak memiliki kemampuan. Korban terlibat dalam proses pemindahan sisa cairan metanol dari tangki 10 ke tangki 29 menggunakan pompa tekanan angin.
Jika melihat kronologis kejadian dan temuan dari Disnakertrans, sudah selayaknya penyidik kepolisian bisa menjerat perusahaan dengan pidana korporasi.
“Data kronologi peristiwa, standard operational procedure (SOP), dan penerapan K3 seharusnya memberikan petunjuk adanya unsur kesalahan dari korporasi,” ujar Achmad Syah Al, aktivis serikat pekerja yang juga praktisi hukum.
Achmad Al menyebutkan perlu pemeriksaan menyeluruh untuk menyasar pertanggungjawaban pidana korporasi.
Proses pemeriksaan ini meliputi pemenuhan kriteria standar perusahaan atas kelaikan alat-alat kerja secara berkala dan ketaatan SOP.
“Jika dua hal ini tidak ada ataupun tidak dilaksanakan maka berpotensi tindak pidana dilakukan oleh korporasi,” jelasnya.
“Kita punya Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP terbaru mengatur rumusan norma penerapan tindak pidana korporasi. Selain itu Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi dan Peraturan Jaksa Agung No. 028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi juga mengatur mengenai hal ini.
Menurutnya, pidana korporasi termasuk dimensi kejahatan yang tidak memperdulikan K3. Kebijakan perusahaan yang tidak perhatian terhadap keselamatan, sarana dan prasarana produksi perusahaan tidak memenuhi standar K3.
“Pekerja akhirnya jadi korban akibat lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman yang menjadi faktor penyebab kecelakaan,” tegas Al.
“Dalam Pasal 186 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjelaskan sanksi hukum jika perusahaan tidak memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, kesehatan, dan keselamatan kerja terhadap pekerja sejak mulai rekrutmen maupun saat penempatan dalam pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” imbuhnya.
Selain jeratan pidana korporasi, Achmad Al juga menyebut kemungkinan penyidikan polisi akan menerapkan hukuman yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dalam KUHP.
“Setidak-tidaknya penyidik bisa menerapkan Pasal 359 KUHP, diatur juga dalam Undang-undang No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru Pasal 474 ayat (3). Harus ada pengurus atau manajemen perusahaan yang bertanggungjawab dijerat pidana maksimal 5 tahun,” tegas Al. (*/Rijal)

