Hati-hati, Tukar Uang untuk THR Hukumnya Bisa Haram
JAKARTA – Jasa penukaran uang bisa ditemukan dengan mudah di jalan menjelang Lebaran. Untuk sebagian orang, jasa yang ditawarkan ini bisa memudahkan karena tidak perlu repot untuk pergi ke bank.
Namun, dalam perkembangannya, praktik penukaran uang ini ternyata menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bahkan, jasa penukaran uang tersebut erat kaitannya dengan hukum riba, terlebih jika penyedia jasa sengaja melebihkan uang yang ditukarkan.
“Melebihkan tarif uang yang ditukar itu jelas tidak boleh. Milsanya, ada yang tukar uang Rp1 juta tapi sang penyedia jasa meminta bayaran Rp1,1 juta. Ini jelas hukumnya riba karena bentuk bendanya sama. Sama-sama uang,” kata Ustaz Najmi Fathoni yang dikutip dari Okezone, Sabtu (18/5/2019).
Namun, lain halnya jika seseorang meminta tolong kepada penyedia jasa untuk menukarkan uang mereka, dan setelah selesai ia memberikan sejumlah uang sebagai bentuk rasa terima kasih. Hal tersebut justru lebih baik karena uang ‘tambahannya’ dipisahkan dari akadnya.
Seperti keterangan dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Sementara itu, bila mengutip pernyataan nu.or.id, praktik penukaran uang THR dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.
Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah.
Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:
“Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena perbedaan mereka dalam memandang titik akad penukaran uang itu sendiri (ma’qud ‘alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan jasa penukaran.
Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:
“Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 259).
Tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya, bukan pada barangnya, yaitu uang. Pembayaran tarif pada jasa itu sendiri disebutkan dalam Al-Quran perihal perempuan sebagai penyedia jasa asi, bukan jual-beli asi seperti keterangan berikut ini:
“Allah berfirman, ‘Bila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka,’ (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 249).
Soal tarif jasa penukaran uang THR ini memang tidak diatur di dalam fiqih. Tarif jasa disesuaikan dengan kesepakatan atau keridhaan antara kedua belah pihak. Kami menyarankan pemerintah untuk memberikan tarif referensi untuk jasa penukaran uang di tepi jalan mengingat praktik ini terus berulang setiap tahun. (*/iNews)