Menata Ulang Negara Hukum, Mewujudkan Undang-Undang Contempt of Court
Oleh TM Luthfi Yazid*
Belum lama ini ada tiga peristiwa yang dianggap mencoreng marwah lembaga peradilan dan ramai disorot di berbagai media.
Pertama, tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, seorang advokat/pengacara, dan mantan pejabat Mahkamah Agung RI ditangkap jaksa karena diduga menerima suap (dan kini kasusnya sedang disidangkan).
Mereka adalah Erintuah Damanik (Ketua Pengadilan Negeri Surabaya), Mangapul (Hakim Anggota), dan Heru Hanindyo (Hakim Anggota).
Tiga hakim ini menjatuhkan vonis bebas untuk pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya.
Ketiga hakim tersebut oleh jaksa dianggap melanggar Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18, dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Peristiwa pidana tersebut juga menyeret mantan pejabat MA Zarof Ricar dan advokat Lisa Rachmat yang didakwa melakukan penyuapan.
Kedua, ada dua advokat yang dianggap melakukan penistaan/penghinaan kepada pengadilan serta dibekukan Berita Acara Sumpahnya sehingga mereka tidak dapat berpraktek lagi di pengadilan.
Dua orang advokat itu adalah Razman Arif Nasution dan M Firdaus Oiwobo. Saat berlangsungnya sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Razman dianggap mengeluarkan kata-kata kotor dan intimidatif kepada hakim, sementara M Firdaus Oiwobo dengan tetap memakai toga menaiki meja di dalam ruangan persidangan.
Ketiga, kejadian yang juga mencoreng dunia peradilan di Indonesia, yakni menjelang akhir April 2025 empat hakim, panitera, dan dua advokat beserta kliennya ditangkap jaksa penuntut umum karena kasus penyuapan.
Mereka adalah Muhammad Arif Nuryanta (Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), Djuyamto (Ketua Majelis), Agam Syarief Baharuddhin (Hakim Anggota), Ali Muhtarom (Hakim Anggota), Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata Jakarta Utara), Ariyanto Bakri (Advokat), Marcella Santoso (Advokat) dan Muhammad Syafei (Head of License PT Wilmar Group).
Sementara itu, mengacu kepada data KPK, selama 15 tahun terakhir ini ada 31 hakim terjerat kasus korupsi, seperti hakim PN Surabaya Itong Isnaini Hidayat yang divonis lima tahun penjara atau hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Dede Suryawan yang diberhentikan secara tidak hormat karena menerima suap terkait kasus Wali Kota Kediri Jawa Timur.
Pertanyaannya, apakah yang mereka lakukan adalah sebuah Contempt of Court (COC), ataukah Contempt of Court hanya ditujukan kepada advokat saja?
Menurut saya, siapapun yang mencederai proses pencarian keadilan terhadap institusi yang bernama peradilan, maka itu adalah COC. Tidak peduli apakah ia seorang advokat, jaksa penuntut umum, pengunjung sidang atau hakimnya sendiri, karena sebenarnya yang ingin dijaga adalah marwah lembaga peradilan sebagai sebuah institusi.
Memang di Indonesia definisi tentang COC yang fix dan pasti belum ada, sementara untuk memberikan kepastian hukum yang adil harus dihindari definisi COC yang multi-tafsir.
Begitu pula regulasinya masih ada di beberapa peraturan terutama dalam KUHP, misalnya dalam Pasal 207 (penghinaan terhadap pengadilan), Pasal 209 (suap terhadap pejabat pengadilan), dan Pasal 211 (memaksa pejabat pengadilan dengan kekerasan). Artinya, belum ada UU khusus tentang COC.
Persoalan COC ini di negara kita juga belum menjadi prioritas. Buktinya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sudah lama membuat naskah akademis dan sudah lama berdiskusi dengan DPR (periode yang lalu) untuk membahas RUU COC. Tetapi sampai hari ini RUU COC belum pernah lahir.
Sebuah seminar internasional yang diselenggarakan IKAHI di Gedung MA baru-baru ini dengan narasumber Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Justice See Kee Oon, Guru Besar hukum China Prof Jiang Min, Hakim Agung MA Dr. Prim Haryadi, Ketua Komisi Yudisial Prof Amzulian Rifai dan Ketua Komisi 3 DPR Dr Habiburokhman patut diapresiasi.
Pada kesempatan itu Dr Habiburrokhman pun berjanji akan menjadikan pembahasan UU COC sebagai sebuah atensi termasuk ide untuk melahirkan UU Jabatan Hakim.
Bagaimana dengan penerapan COC di negara-negara lain? Di negara-negara yang menganut British Legal System seperti Singapura atau Australia, COC menjadi perhatian penting. Mereka mengaturnya terutama di dalam KUHP (Criminal Code) serta di beberapa peraturan perundangan lainnya untuk memperkuat pengaturan COC.
Di negara-negara yang menganut common law system, COC dikategorikan menghalang-halangi proses persidangan (contempt by scandalizing) di pengadilan seperti mengintimidasi hakim atau berkata kotor dalam persidangan. Kemudian tidak mematuhi perintah pengadilan (contempt by disobedience) seperti dengan sengaja tak mematuhi perintah atau putusan pengadilan.
Di Jepang dan China, meskipun tidak menerapkan common law system namun mereka mengatur COC dalam peraturan perundangannya. Intinya, di Jepang misalnya, mereka menganggap COC adalah sebuah perbuatan pidana serius yang mengancam kemandirian lembaga peradilan. Seorang advokat yang dikenai sanksi, maka ia tidak akan bisa berpraktek hukum di mana pun di Jepang.
Semuanya terkoneksi, antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya. Hal serupa berlaku di China dengan sistem sentralistik ala komunis. Sebab itu, pelakunya harus memperoleh hukuman yang setimpal.
Di Indonesia, selama ini yang “dianggap” atau dikenakan sanksi dengan ketentuan COC adalah advokat saja, padahal, sekali lagi, apa yang dimaksud COC itu dapat dilakukan oleh siapa saja: pengunjung sidang, advokat, jaksa penuntut umum dan bahkan oleh hakim sendiri.
Pada dasarnya, siapapun yang menghalangi agar terciptanya peradilan yang bebas dan imparsial dengan tindakan atau ucapan apapun, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai COC.
Seseorang yang berperkara melakukan sogok, advokat menyuap, jaksa menyuap, panitera merayu advokat agar perkaranya “diurus” untuk menang, atau hakim menerima imbalan materi, semua tindakan itu pada prinsipnya adalah COC. Itu semua terjadi karena ada supply dan demand. Tak mungkin terjadi penyuapan jika tak ada penyuap dan tersuap.
Jika di kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian, misalnya, ada pengawas yang “mengamputasi” dan menindak mafia hukum, maka untuk unsur mafia hukum dari luar/eksternal (di luar aparat penegak hukum), siapa yang akan melakukan “amputasi”?
Dengan realitas semacam itu dan untuk mewujudkan proses peradilan yang berintegritas serta mewujudkan negara hukum dan kepastian hukum yang adil, maka ada beberapa hal yang harus dibenahi atau dilakukan:
Pertama, dari mulai pembentuk UU, DPR RI, pelaksana UU dan pemerintah dari hulu sampai hilir harus memiliki komitmen untuk memberantas korupsi yudisial dengan segala siasat dan bentuknya.
Meski peraturannya bagus, namun jika the man behind the gun (aktor manusianya) tidak beres, maka korupsi yudisial dan mafia masih akan bergentayangan. Jadi, unsur manusianya berperan sangat penting.
Seperti dikatakan Bernadus Maria Taverne, ahli hukum pidana dan mantan Jaksa Agung Belanda: “Geef me een goede rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen” atau dalam bahasa Inggrisnya “give me a good judge, and even with bad legislation, I can bring justice”. Terjemahan bebasnya: beri aku hakim yang berintegritas, maka akan aku ciptakan keadilan meski tanpa UU sekalipun.
Kedua, kehadiran UU COC merupakan suatu keniscayaan yang pembentukannya harus dibuat sesegera mungkin. Untuk pembuatan UU COC, proses legislasinya harus melibatkan partisipasi publik.
Semua stakeholders mesti dilibatkan, harus transparan dan harus melalui kajian akademis yang komprehensif dan mendalam. Syarat keberlakuan sebuah UU, yakni syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis harus pula menjadi pertimbangan penting oleh DPR sebelum UU COC benar-benar disetujui.
Ketiga, semua aparat penegak hukum (APH) harus dibekali tentang kode etik yang mereka harus pahami dan laksanakan. Ketika mereka bertugas, mesti diadakan evaluasi dan pendidikan berkala soal kode etik tersebut.
Kalau di Jepang, sebagai contoh, untuk menjadi jaksa, hakim, atau advokat, mereka wajib menempuh pendidikan yang sama selama 1,5 tahun pada Research Training Institute (RTI) di Mahkamah Agung Jepang.
Kemudian, ada dewan komite yang nantinya akan menentukan apakah seseorang lebih cocok jadi hakim, jaksa, atau advokat. Jadi modal awal mereka adalah sama, berbeda dengan kita.
Keempat, budaya hukum, sebagaimana dikemukakan Lawrence M Friedman, harus digalakkan di semua level termasuk di dalam masyarakat dan mesti menjadi bagian integral dari karakter masyarakat. Karakter, keutamaan moral, dan perilaku sangat penting dan menentukan kemajuan suatu bangsa sebagaimana dikemukakan filosof China Confucius (551-479 SM).
Kelima, memaksimalkan peran media massa. Jika media massa, terutama media massa nasional sudah tidak peduli dengan suara-suara penegakan hukum dan keadilan dengan tidak lagi memuat berita dan tulisan tentang ketidakadilan di negeri ini, maka sudahlah kita tidak perlu lagi bicara tentang negara hukum dan keadilan, sebab semuanya hanya akan sia-sia!
Ini berarti kita akan terus memasuki kubangan dimana sesama anak bangsa hanya akan saling menelikung, saling menyandera, saling mengintai dan saling menjatuhkan! Kita hanya menunggu waktu kehancuran yang sempurna.
*Penulis, Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LL.M adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) dan Penasehat Hukum Calon Presiden RI dalam sengketa Pilpres tahun 2019 dan 2024. Penulis adalah alumni University of Warwick Inggris dan berpengalaman sebagai Personal Assistant (PA) dari Adnan Buyung Nasution (Almarhum), seorang pengacara terkemuka, aktivis, dan pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).