SAF Gelar Diskusi Publik, Ini Yang Dibahas
SERANG – Suwaib Amiruddin Foundation (SAF) kembali menyelenggarakan diskusi publik yang mengangkat tema ‘Peran Media dalam Mengungkap Ketidakadilan Sosial dan Kebebasan Pers VS Intervensi Kekuasaan di Banten’.
Diskusi tersebut berlangsung dengan hangat dan antusias di Rumah Buku Suwaib Amiruddin Foundation, Serang, pada Minggu, (15/12/2024) dengan menghadirkan dua narasumber jurnalis Iyos Rosyid, Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Lebak, dan Bung Pacul, Jurnalis Fakta Banten.
Acara dibuka oleh Direktur Rumah Buku SAF, Aji Sahyudi, yang menegaskan pentingnya diskusi ini sebagai upaya membangun kesadaran tentang peran media sebagai pilar demokrasi.
“Diskusi diawali dengan menyoroti fenomena media masa kini yang lebih memilih isu-isu dengan potensi materialistik dan cenderung berpihak kepada kekuasaan, bertolak belakang dengan semangat demokrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang tersebut, media memiliki fungsi untuk memberi informasi, mendidik, menghibur, serta menjalankan kontrol sosial.” ucap aji.
Sementara itu, Iyos Rosyid Anggota PWI Lebak mengungkapkan media harus berperan menjalankan kontrol sosial antara pemerintah dengan masyarakat.
“Hari ini kita melihat banyak media yang menjadi alat kekuasaan dengan tagline yang mendukung pemerintah, bukan menjalankan kontrol sosial sebagaimana mestinya. Padahal, pers harus mampu menjadi pengawas kebijakan yang objektif, baik dari sisi positif maupun negatif.” ungkapnya.
Lebih lanjut, Iyos Rosyid menyampaikan tentang peran jurnalistik yang ideal harus didasarkan pada nilai-nilai jurnalistik, sosial, hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, di Banten, hanya sedikit wartawan yang telah memiliki sertifikasi kompetensi wartawan (UKW).
“Jaminan hukum bagi wartawan hanya dimiliki oleh mereka yang telah tersertifikasi, sementara banyak orang tanpa kompetensi kini mengklaim diri sebagai wartawan,” lanjutnya.
Diskusi juga menyinggung keterkaitan antara media dan kekuasaan. Media, yang seharusnya bersifat netral, kerap menjadi alat citra pemerintah.
Hal ini memerlukan perhatian serius untuk memastikan bahwa media tidak hanya mempublikasikan informasi yang menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga mengangkat isu-isu sosial, seperti kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual, yang sering terabaikan.
Sementara itu, dualisme keadilan yang kerap terjebak antara kepentingan uang dan kebaikan.
Ia menekankan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap media harus diarahkan untuk mendukung kebebasan pers, bukan menjadikannya sebagai alat propaganda.
Sementara disampaikan oleh Bung Pacul jurnalis Fakta Banten dalam pemaparannya, Bung Pacul menegaskan bahwa pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang tak kalah penting dibandingkan lembaga Trias Politica (eksekutif, legislatif, yudikatif).
“Tanpa pers, pilar-pilar demokrasi tidak akan sampai kepada masyarakat,” tegasnya.
Namun, ia juga mengungkapkan adanya dinamika dan tantangan yang dihadapi media saat ini, termasuk potensi pembungkaman melalui rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran, yang menurut dewan pers menghilangkan independensi.
“Misalnya, aturan yang melarang stasiun televisi menyiarkan hasil investigasi kecuali disetujui aparatur keamanan negara. Jika hanya satu pihak yang menyampaikan informasi, manipulasi akan lebih mudah terjadi,” ujar Pacul.
Lebih lanjut, Bung Pacul juga menekankan pentingnya media sebagai penyeimbang dan pengawas sosial.
“Peran pers bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mengonfirmasi kebenaran. Media harus independensi dalam setiap kejadian untuk memastikan keadilan,” tambahnya.
Tantangan lain yang dihadapi pers adalah upaya tekanan dari pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi berita.
“Seringkali media diiming-imingi agar tidak mempublikasikan informasi tertentu. Namun, sebagai wartawan yang berpegang pada kode etik jurnalistik, tugas kita adalah menolak tekanan tersebut sebagai bentuk perlawanan,” tegas Bung Pacul. ***