JAKARTA – Pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan. Aturan ini merevisi Permendag 59 Tahun 2016. Dalam aturan itu, impor produk hewan tak lagi diwajibkan mencantumkan label halal sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam Permendag 59 Tahun 2016.
“Meskipun tidak mencantumkan ketentuan label dan sertifikat halal, Permendag 29 Tahun 2019 tetap mengatur persyaratan halal melalui persyaratan rekomendasi,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu kepada Tempo, Kamis 12 September 2019.
Wisnu menuturkan Permendag 29/2019 fokus untuk mengatur tata niaga impor hewan dan produk hewan. Ia menegaskan bahwa ketentuan itu sama sekali tidak berkaitan dengan sengketa yang dilayangkan oleh Brasil. Wisnu menilai Permendag 29/2019 tidak akan mengganggu kewajiban sertifikasi halal yang sudah diatur sebelumnya.
Menurut Wisnu, kewajiban pencantuman label dan sertifikat halal sudah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain itu, jaminan produk halal juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Pasal 2 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan peraturan tersebut, setiap produk yang masuk ke Indonesia wajib bersertifikat halal.
“Sertifikat halal tersebut diterbitkan oleh lembaga halal dari luar negeri dan wajib diregistrasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Halal sebelum produk tersebut diedarkan di Indonesia,” ujar Wisnu.
Wisnu menambahkan Kemendag juga mewajibkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian terhadap impor daging yang memenuhi persyaratan halal. Hal ini diatur dalam Permendag No. 29 Tahun 2019 Pasal 13 ayat (1), ayat (2) serta ayat (3) yang menyebutkan bahwa importir dalam mengajukan permohonan Persetujuan Impor harus melampirkan persyaratan Rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita menjamin produk halal impor karena diatur dalam sejumlah kebijakan. Menurut dia, penerbitan rekomendasi impor karkas, daging, dan atau olahannya diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir kali menjadi Permentan Nomor 23 Tahun 2018.
Saat ini, kata dia, Kementan juga tengah mengatur aturan baru yaitu Permentan Nomor 42 Tahun 2019 tentang jaminan kehalalan produk hewan. Aturan tersebut, kata dia, akan diselaraskan dengan UU Nomor 33 Tahun 2019 dan PP Nomor 31 Tahun 2019.
“Jaminan halal sudah diatur dalam peraturan tersebut. Saya kira persyaratan dan label halal masih tetap berlaku. Dan halal itu adalah satu benteng kita,” tutur Ketut.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Dirkesmavet) Kementan Syamsul Ma’arif menambahkan jaminan halal juga diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 58 junction UU Nomor 42 Tahun 2014. Aturan itu, kata Syamsul, aturan itu mewajibkan poduk hewan yang diproduksi di dalam negeri atau impor harus disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal. “Permendag 29 Tahun 2019 tidak akan menghalangi itu, karena undang-undang lebih tinggi daripada Permendag,” ujar Syamsul.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menuturkan Permendag Nomor 29 Tahun 2019 sangat bertolak belakang dengan aturan jaminan halal yang ada saat ini. Menurut dia, apabila pemerintah tetap menjalankan aturan itu, maka akan memicu beberapa masalah karena tidak sinkorn dengan sejumlah aturan jaminan halal yang dibuat sebelumnya. “Permendag berpotensi melanggar hak-hak konsumen muslim, khususnya yang saat ini menurut data statistik berjumlah 220 juta jiwa,” ujar Ikhsan.
Sekretaris Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menuturkan konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur dari setiap barang yang dikonsumsi, termasuk informasi jaminan halal. Menurut dia, apabila diabaikan maka pemerintah dinilai telah mengabaikan hak konsumen, khususnya bagi konsumen muslim.
“Kalau Permendag dipaksakan, ini bertentangan dengan undang-undang jaminan produk halal, padahal seharusnya peraturan yang mengikuti undang-undang, bukan sebaliknya,” kata Agus. (*/Tempo)