5 Mantan Direktur Krakatau Steel Bergiliran Diperiksa Kejaksaan Agung Terkait Korupsi Blast Furnace

 

JAKARTA – Kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace PT Krakatau Steel sudah memasuki babak baru, dengan telah dilakukannya pemeriksaan saksi-saksi secara maraton oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Tim penyidik telah memeriksa 3 orang Mantan Direktur Utama PT Krakatau Steel, beserta sejumlah mantan direksi lainnya.

Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, menjelaskan bahwa pemeriksaan saksi-saksi dalam kasus tersebut ditangani oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

Adapun sejumlah mantan direksi Krakatau Steel yang telah diperiksa adalah:

1. Fazwar Bujang, mantan Direktur Utama PT Krakatau Steel November 2007-Juni 2012

2. Irvan Kamal Hakim, Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel periode November 2007-Juni 2012 yang juga menjabat Direktur Utama periode 2012-2015.

3. Sukandar, Mantan Direktur Keuangan Krakatau Steel yang kemudian menjabat Direktur Utama periode 2015-2017.

4. Syahrir Syah Pohan, Direktur Produksi PT Krakatau Steel periode 2009-2012.

5. Dadang Danusiri, Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel periode 2015-2016.

Selain mantan direksi, sejumlah pejabat lain juga telah diperiksa, yakni;

1. ASS selaku Deputi Direktur Proyek Strategis PT Krakatau Steel tahun 2010-2012.

2. H selaku Deputi Head of Internal Audit PT Krakatau Steel periode 2017-2019.

Selain di internal Krakatau Steel, Kejagung juga menggarap pemeriksaan terhadap sejumlah Direktur Utama PT Krakatau Engineering, anak perusahaan Krakatau Steel di bidang konstruksi. Diantaranya:

1. IP, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2011.

2. BP, Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2013.

3. WK, Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2016.

4. LAD selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering Tahun 2018.

Diketahui, kasus korupsi ini bermula ketika pada 2011-2019 PT Krakatau Steel (Persero) membangun pabrik blast furnace (BFC) bahan bakar batu bara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi lebih mahal.

Selanjutnya, pada 31 Maret 2011, dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik blast furnace (BFC) yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.

Sumber pendanaan pembangunan pabrik blast furnace awalnya dibiayai bank ECA/Export Credit Agency dari China. Namun, dalam pelaksanaannya, ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT KS tidak memenuhi syarat.

Selanjutnya, pihak PT KS mengajukan pinjaman ke Sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank, dan LPEI.

Nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp 6.921.409.421.190. Pembayaran yang telah dilaksanakan sebesar Rp 5.351.089.465.278 dengan rincian porsi luar negeri Rp 3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp 1.817.072.694.382.

Dalam perjalanannya, pekerjaan pembangunan pabrik itu dihentikan pada 19 Desember 2019 karena pekerjaan belum 100%. Setelah dilakukan uji coba operasi, biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

“Bahwa pekerjaan belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi/mangkrak. Bahwa PT Krakatau Steel melakukan pembangunan pabrik blast furnace dengan tujuan untuk peningkatan produksi baja nasional, proyek tersebut dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2015 dan dilakukan beberapa kali adendum sampai dengan tahun 2019. Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar,” papar Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana.

Dalam kasus ini, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*/Red)

Honda