FAKTA BANTEN – Setelah berkali-kali mangkir dari panggilan kepolisian, Zaadit Taqwa akhirnya dijemput paksa. Ketua BEM UI itu ditangkap dengan tuduhan menghina presiden usai aksinya memberi kartu kuning sang kepala negara. Berniat mengkritik penguasa, Zaadit dituding menghina dan terancam dibui lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Skenario cerita itu ada di kepala saya belakangan ini. Lantaran kebetulan, peristiwa Zaadit hampir bersamaan dengan kerja DPR yang kini sedang membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di antara pasal ‘kontroversi’ yang tengah dibahas DPR dan pemerintah adalah soal pasal-pasal yang berhubungan dengan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. DPR dan pemerintah sepakat menghidupkan kembali pasal demi membela simbol-simbol negara.
Dihidupkan kembali, karena pasal penghinaan presiden di (Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137) KUHP memang pernah ‘mati’ setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan Eggi Sudjana dkk pada 2006. Pasal yang dibatalkan MK itu berbunyi, “Penghinaan dengan sengaja terhadap presiden dan wakil presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.”
Ketua MK yang juga ketua majelis hakim konstitusi saat itu, Jimly Asshiddiqie dalam pertimbangan putusannya menegaskan, delik penghinaan presiden adalah bagian dari sistem feodal (melindungi Ratu Belanda). Menurutnya, teori tata negara zaman dahulu itu menganggap kepala negara sebagai simbol atau lambang negara.
Jika mengacu pada Pasal 26 UUD 1945, simbol negara itu adalah Garuda Pancasila, bukan kepala negara. MK saat itu mengkategorikan lembaga kepresidenan sebagai institusi negara yang tidak memiliki perasaan sehingga tak dapat terhina. Putusan MK juga bertujuan untuk menghentikan tafsir manipulatif atas pasal ‘karet’ penghinaan presiden.
Jimly saat itu tak mengira putusannya membuat geger bukan hanya Indonesia, tapi juga dunia. Atas putusan itu, Indonesia sampai dipuji Dewan HAM PBB. Bahkan, negara seperti Belanda dan Belgia saja masih memiliki delik penghinaan presiden meski sudah sangat jarang diterapkan dalam praktik hukum di negara masing-masing.
Hampir 12 tahun setelah putusan MK itu Indonesia merasakan berada pada era pencerahan (bahasa Dewan HAM PBB). Kini, para penyusun beleid seperti ingin kembali mengekang demokrasi dalam kegelapan. Momentumnya memang sekarang, saat DPR dan pemerintah berambisi menyelesaikan rancangan pembaruan KUHP yang telah lama mangkrak direvisi.
Mereka berupaya menciptakan norma baru yang tujuannya sebenarnya sama; yakni melindungi penguasa yang usulan pasalnya telah ada sejak zaman pemerintahan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 2015, DPR dan pemerintah juga sudah pernah berusaha membahas pasal ini dalam RUU KUHP. Namun, karena kerasnya penolakan publik saat itu dan revisi KUHP yang tidak menjadi prioritas legislasi, DPR menghentikan pembahasan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu berdalih, pemerintahannya hanya melanjutkan usulan pemerintah sebelumnya soal pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Sekarang, saat RUU KUHP kembali dikebut pembahasannya oleh DPR, ternyata pasal penghinaan presiden tidak dicabut dan malah sedang diupayakan untuk bisa disahkan menjadi undang-undang. Putusan MK pada 2006 pun seperti dianggap tidak pernah ada.
Adapun, pasal penghinaan presiden dalam pembahasan di tingkat tim perumus Revisi KUHP, diatur pada pasal 239 ayat (1) disebutkan, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 500 juta).
Sementara ayat (2) menyebut, “Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Kedua pasal ini sempat mengalami perdebatan oleh sejumlah anggota fraksi di tim perumus RUU KUHP sebelum disepakati bersama pemerintah untuk dibahas di tingkat panitia kerja (panja). Ada permintaan agar pasal penghinaan presiden diubah menjadi delik aduan, bukan delik umum sebagaimana rumusan dari pemerintah. Namun, akhirnya tetap disepakati pasal 239 sebagai delik umum.
Sehingga, dalam konteks insiden Zaadit, jika nantinya pasal ini disahkan dalam KUHP, dan tindakan Zaadit mengartu kuning Jokowi patut diduga sebagai perbuatan pidana (delik), maka polisi tetap bisa memproses hukum Zaadit hingga ada putusan pengadilan. Berbeda dengan delik umum, delik aduan adalah perbuatan hukum yang hanya bisa diproses jika ada laporan polisi dan bisa dihentikan jika si pelapor mencabut laporannya.
Apa yang terjadi sejak 2015 hingga sekarang menunjukkan sekuens bahwa siapa pun yang berkuasa tetap berupaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden di KUHP. Termasuk di DPR saat ini, tak ada fraksi yang menolak pasal kontroversial ini. Gerindra yang notabene sebagai partai oposisi pun idem ditto dengan fraksi lain.
Jika pasal penghinaan presiden jadi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR nantinya, siapa pun yang menang Pilpres 2019 dan berkuasa sudah barang tentu mendapat ‘perlindungan’ KUHP. Itulah mungkin kenapa para elit saat ini kompak melindungi salah satu kepentingan masa depan penguasa dengan cara menjamin pasal penghinaan presiden tetap ada di KUHP.
Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip kalimat masyhur milik Thomas Jefferson, “When government fears the people, there is liberty. When the people fear the government, there is tyranny. (Saat pemerintah takut kepada rakyat, di situ ada kemerdekaan. Saat rakyat takut kepada pemerintah, di situ ada tirani). (*/Republika)