PK Ahok itu Siasat, Kini Hancur Dihantam Palu MA

BI Banten Belanja Nataru

JAKARTA – Pupus sudah harapan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang ingin lepas dari jerat hukum. Melalui palu hakim agung, Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Ahok.

Dengan begitu, maka status hukum Ahok sudah tidak bisa lagi diganggu-gugat. Karena PK merupakan upaya hukum terakhir dalam proses peradilan.

Sebenarnya, sejak awal, upaya PK yang dilakukan Ahok sudah mengangkangi aturan. Sebab, pengajuan PK hanya bisa dilakukan setelah status hukumnya inkrah, yakni dengan melalui proses banding dan kasasi.

Hal itu sesuai dengan ungkapan M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615).

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Dalam proses hukumnya, jelas sekali terlihat bahwa Ahok dan kuasa hukumnya berupaya mengakal-akali dan menyiasati aturan. Yakni, PK yang diajukannya tanpa melalui proses banding dan kasasi.

Padahal seharusnya, sejak vonis dijatuhkan dan menyatakan terdakwa terbukti bersalah, maka Ahok dan kuasa hukumnya mengajukan banding (7 hari setelah vonis), lalu kasasi, agar status hukumnya menjadi inkrah. Sehingga proses hukum PK bisa dilakukan secara normal.

Ahok Tidak Banding
Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana.

Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap setelah:
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
(lihat Pasal 67 KUHAP).

b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).

c. Putusan kasasi

Itulah yang terjadi dalam proses hukum Ahok. Yakni, Ahok dan kuasa hukumnya tidak mengajukan banding ke pengadilan tinggi.

Patut diduga itu adalah siasat yang dilakukan Ahok dan kuasa hukumnya. Ahok ingin melangkahi proses banding dan kasasi.

Bisa jadi, baik Ahok maupun kuasa hukumnya menganggap bahwa kedua proses itu masih bersifat ‘gambling’, yakni hukuman 2 tahun yang dijatuhkan PN Jakut bisa jadi akan bertambah. Atau, berkurang.

Tentu saja, Ahok tak ingin hukumannya bertambah lama. Karenanya, vonis 2 tahun dinilai cukup bagi Ahok dan kuasa hukumnya. Toh, tanpa banding dan kasasi pun status hukumnya akan menjadi inkrah. Sehingga dengan status inkrah, PK bisa diajukan.

Siasat di Balik Alasan
Memang, alasan yang disampaikan Ahok saat membatalkan upaya banding cukup elegant, yakni tak ingin aksi demo yang dilakukan massa pendukungnya maupun massa lawannya berkelanjutan. Apalagi sampai dimanfaatkan secara politis.

Pijat Refleksi

Namun di balik itu, Ahok dan kuasa hukumnya (Fifi Lety Indra, adik kandung Ahok) ternyata mempunyai rencana lain. Mereka berharap, tanpa banding dan kasasi, kekuatan hukum Ahok otomatis inkrah. Sehingga status inkrahnya dapat dijadikan alasan untuk mengajukan PK.

Karena memang, salah satu syarat mengajukan PK adalah status hukumnya harus sudah inkrah.
Hal ini berdasarkan Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP yang menyebutkan bahwa putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP).

Namun, dalam proses ini, Ahok dan kuasa hukumnya sudah mengangkangi dua proses hukum banding dan kasasi, yang justru merupakan syarat inkrahnya status hukum, agar bisa melanjutkan ke proses PK.

“Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi,” kata Yahya Harahap.

Hal itulah yang ‘kemungkinan besar’ menjadi pertimbangan dan latar belakang Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan Ahok.

“Majelis hakim (MA) menolak PK Ahok,” kata juru bicara MA Suhadi saat dikonfirmasi, Senin (26/3/2018).

Dalam putusannya, kata Suhadi, majelis hakim menolak seluruh alasan yang diajukan Ahok dalam PK tersebut. “Alasanya (alasan mengajukan PK) ditolak majelis hakim,” ujar Suhadi.

Memang, Suhadi belum memberikan penjelasan secara rinci, apa yang menjadi alasan majelis hakim MA menolak PK Ahok. “Tunggu, nanti kita upload di website MA,” kata Suhadi.

Alasan PK Ahok Ngaco
Seperti diketahui, Ahok mengajukan PK pada 2 Februari 2018. Dan, sidang perdananya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin (26/2/2018) .

Ada sejumlah poin yang menjadi pertimbangan Ahok mengajukan PK, salah satunya vonis 1,5 tahun penjara terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung.

Buni Yani merupakan pihak yang disebut-sebut mengubah video Ahok mengutip ayat suci di Kepulauan Seribu.
Pertimbangan lain, kuasa hukum Ahok menilai hakim (PN Jakut) banyak membuat kekeliruan dalam putusannya. Karena tidak mempertimbangkan saksi ahli yang diajukan Ahok.

Salah satu anggota JPU Sapta Subrata mengatakan, alasan PK yang diajukan Ahok bahwa vonis 1,5 tahun Buni Yani dan vonis 2 tahun penjara Ahok tidak saling berkaitan, karena deliknya berbeda.

Vonis Buni Yani merupakan masalah ITE, sedangkan Ahok divonis karena kasus penodaan agama.

“Deliknya berbeda, sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembuktian, karena buktinya beda-beda,” ujar Sapta usai sidang PK di PN Jakarta Utara, Senin (26/2/2018).

Terkait alasan adanya kekhilafan hakim, karena mengambil dan mencantumkan sebagian fakta dengan mengabaikan fakta persidangan Ahok, menurut Sapta, seluruh fakta telah dipertimbangkan hakim berdasarkan kesesuaian alat bukti yang dihadirkan saat persidangan.

Artinya, fakta persidangan yang dianggap menguntungkan Ahok tidak terkait dengan pembuktian unsur tindak pidana yang didakwakan penuntut umum.
“Sehingga sudah tepat pertimbangan majelis hakim yang tidak mempertimbangkan sebagai suatu fakta ketika mempertimbangkan unsur delik yang didakwakan penuntut umum,” ujar Sapta.

Berdasarkan sejumlah alasan tersebut, jaksa berpendapat bahwa alasan PK yang diajukan Ahok tidak dapat diterima, karena seluruh alasan tersebut tidak masuk dasar permohonan PK sebagaimana yang dimaksud Pasal 263 ayat 2 KUHAP. (*/Kabarjitu)

PJ Gubernur Banten
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien