Wah.. Terdakwa Koruptor BLBI Dinyatakan Bebas oleh MA

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) membebaskan terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung. Majelis hakim menerima permohonan kasasi yang diajukan terdakwa.

Dalam amar putusan No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019. Majelis hakim kasasi menyatakan, Syafruddin terbukti melakukan tindakan seperti didakwakan jaksa, namun perbuatan itu tak dikategorikan sebagai tindak pidana. Dengan begitu, Pak Syaf, begitu ia biasa dipanggil, dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.

“Menyatakan Syaruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam konferensi pers di Gedung MA, Selasa (9/7/2019).

Selanjutnya “Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, harkat, dan martabatnya Terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Menetapkan barang bukti dikembalikan kepada Terdakwa.”

Kerugian negara Rp4,58 triliun

Syafruddin, menjadi tersangka dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejak April 2017 lalu. KPK menahan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, Kamis (21/12/2017).

KPK mempersoalkan Surat Keterangan Lunas(SKL) kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim pada 2004. BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. Sebelumnya BDNI adalah Bank yang mendapat suntikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp37 triliun.

SKL sendiri terbit berdasarkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres dikeluarkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Dalam perkembanganya, berdasarkan audit investigatif BPK, yang diterima KPK 25 Agustus 2017, ditemukan kerugian keuangan negara terkait penerbitan SKL terhadap BDNI, sebesar Rp4,58 triliun. Kerugian itu dihitung dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.

Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Syafruddin 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Syafruddin didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim.

Pengadilan Tipikor Jakarta, memvonis Syafruddin dengan hukuman 13 tahun penjara. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menambah huuman menjadi 15 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa.

Tantangan berat KPK

Dengan bebasnya Syafruddin, KPK mempunyai tantangan sangat besar. Pada 10 Juni lalu, KPK menetapkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI).

Tudingan terhadap Sjamsul dan Itjih ini masih terkait dengan apa yang dituduhkan kepada Syafruddin, yaitu kerugian negara karena ketidakberesan dalam penerbitan SKL untuk BDNI, yang besarnya Rp4,58 triliun. Padahal dalam kasus Syafruddin penerbitan SKL yang merugikan negara hingga Rp4,58 triliun itu dinilai bukan tindak pidana.

Tantangan berat KPK yang lain adalah, saat ini Sjamsul dan Itjih sudah permanent resident di Singapura, artinya tidak gampang untuk menghadirkan keduanya dalam pemeriksaan di KPK, maupun menyeretnya ke pengadilan. KPK memang sempat mewacanakan pengadilan in abstentia, artinya pengadilan berlangsung tanpa kehadiran tersangka. (*/)

Honda