China Lancarkan Diplomasi Jebakan Utang untuk Bangun Pangkalan Militer
FAKTA BANTEN – China disinyalir melancarkan diplomasi jebakan utang pada negara-negara kecil dunia ketiga. Sehingga jika mereka menunggak utang maka dipaksa menyerahkan aset atau izinkan China bangun pangkalan militer
China sedang menjajah negara-negara lebih kecil dengan meminjamkan sejumlah besar uang yang tidak akan sanggup mereka dibayar.
China dituduh memanfaatkan pinjaman besar-besaran agar dapat merebut aset dan membangun pangkalan militer di negara kecil dunia ketiga.
Negara-negara berkembang mulai dari Pakistan hingga Djibouti, dari Maladewa hingga Fiji, semua berutang besar ke China.
Bukan sekadar perkiraan, dilansir dari The Sun, nyatanya memang sudah ada negara yang menunggak hutang dan dipaksa untuk menyerahkan kendali aset negaranya atau harus mengizinkan China untuk mempunyai pangkalan militer di negara tersebut.
Ada yang menyebutnya diplomasi jebakan utang atau “kolonialisme utang.”
Mereka menawarkan pinjaman bagi negara-negara yang tidak mampu membayar, dan kemudian menuntut konsesi ketika mereka gagal.
Salah satu yang harus menanggung konsesi ini adalah Sri Lanka.
Tahun lalu Sri Lanka menyerahkan pelabuhan ke perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah China dengan sewa 99 tahun.
Sementara itu, di Djibouti, tempat markas utama militer AS di Afrika, juga tampaknya akan menyerahkan kendali atas pelabuhan ke perusahaan Beijing.
Maret lalu, mantan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson mengatakan bahwa Beijing melakukan praktik peminjaman predator, dan transaksi korup untuk menjadikan negara-negara kecil terbelit utang untuk kemudian melemahkan kedaulatan mereka.
Baru-baru ini, diplomasi jebakan utang ini bahkan telah meluas hingga ke Pasifik.
Beijing membuat pulau-pulau buatan manusia di Laut China Selatan dan hal itu dikhawatirkan akan digunakan sebagai pangkalan militer.
Bahkan, pada April lalu China mendekati Vanuatu, negara kepulauan di Samudra Pasifik Selatan untuk mendirikan pangkalan militer.
The Times juga melaporkan bahwa secara efektif China akan meningkatkan kehadiran militernya di pintu gerbang utama ke pantai timur Australia.
Di antara proyek-proyek yang didanai uang ini adalah dermaga terbesar di Pasifik Selatan yang dianggap mampu mengakomodasi kapal induk.
Lembaga think tank Lowy Institute Sydney, yang telah memantau secara dekat kegiatan-kegiatan Cina di Pasifik, memperkirakan Beijing telah menggelontorkan hampir 1,4 miliar poundsterling atau setara dengan Rp 27 Triliun ke negara-negara Pasifik sejak 2006.
Cina Siapkan 7 Pangkalan Militer untuk Berperang
Komando Pasifik AS memperingatkan semakin berkembangnya kekuatan militer Tiongkok.
Beijing bahkan disebut tengah merencanakan pembangunan tujuh pangkalan militer baru di Laut China Selatan.
“China saat ini tengah berusaha menegaskan kedaulatan de facto mereka di wilayah perairan yang disengketakan.”
“Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membangun basis militer di daratan buatan,” kata Komandan Komando Pasifik AS, Admiral Harry Harris dalam sidang kongres.
Dilansir dari SCMP, Harris mengatakan kepada Komite Dinas Angkatan Bersenjata, fasilitas baru yang bakal dibangun China akan dilengkapi gudang pesawat, fasilitas barak, sistem radar dan persenjataan, serta landasan sepanjang tiga kilometer.
Beijing memiliki wilayah yang disengketakan dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan di Laut China Selatan. Sebuah jalur strategis yang dilalui lebih dari sepertiga jalur perdagangan dunia.
Harris melihat langkah klaim wilayah oleh Beijing di perairan Selatan dan Timur China sebagai tindakan terkoordinasi, bermetode dan strategis.
“China menggunakan kekuatan militer dan ekonominya untuk mengikis tatanan internasional yang bebas dan terbuka,” kata dia.
Di wilayah Laut China Timur, kapal-kapal milik China kerap kali terlihat menyusup ke wilayah perairan Jepang di sekitar kepulauan Senkaku. Ini sebagai upaya merusak administrasi pulau-pulau tak berpenghuni.
Harris mengatakan, AS harus semakin memperkuat hubungan sekutunya dengan Jepang, serta Korea Selatan.
Kamboja Tolak Rencana China Bangun Pangkalan Perang
Sebelumnya Pemerintah Kamboja menegaskan tidak akan mengizinkan adanya pembangunan pangkalan militer asing di wilayahnya.
Pernyataan ini menepis kekhawatiran tentang kemungkinan China membangun pangkalan angkatan laut di wilayah Kamboja, padahal negara itu adalah salah satu debitur dari Negeri Tirai Bambu.
“Saya telah menerima surat dari Mike Pence, Wakil Presiden AS mengenai kekhawatiran akan ada pangkalan Angkatan Laut China di Kamboja. Konstitusi Kamboja melarang kehadiran pasukan asing atau pangkalan militer di wilayahnya, apakah angkatan laut atau angkatan udara,” kata Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, seperti dilansir AFP, Senin (19/11/2018).
Hun Sen juga menolak adanya laporan bahwa China mencoba memanipulasi kabar mereka akan membangun pangkalan militer di sana.
“Saya akan membalas surat dari Wakil Presiden AS, Mike Pence dan membuatnya mengerti dengan jelas mengenai masalah ini,” kata dia.
“Kami menganggap semua negara sebagai teman.”
Hal ini sempat memunculkan dugaan bahwa China sengaja menghabiskan waktu selama bertahun-tahun merundingkan aturan di Laut China Selatan supaya bisa membangun pangkalan militernya.
Namun, Perdana Menteri China, Li Keqiang menepis dugaan itu dan mengatakan aturan mengenai Laut China Selatan yang disengketakan akan selesai dalam waktu tiga tahun.
“Kami tidak akan mencari hegemoni atau ekspansi. Itu adalah sesuatu yang tidak akan kami lakukan,” kata dia.
China telah mengucurkan miliaran dolar dalam bentuk pinjaman, infrastrukur, dan investasi terhadap Kamboja.
Bantuan ini membuat perekonomian Kamboja berkembang pesat dan dimanfaatkan untuk membenahi pemerintahannya.
Sebagai gantinya, Kamboja menjadi sekutu China yang setia.
Hal ini telah melahirkan perpecahan di antara 10 negara ASEAN terhadap sikap agresif China di Laut China Selatan.
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan memiliki klaim yang bersaing dengan pulau-pulau dan perairan yang berpotensi kaya sumber daya.
China juga telah menetapkan posisi militer yang menjadi sengketa di Laut China Selatan dan mengintimidasi nelayan serta kapal angkatan laut dari negara-negara lain khususnya AS.
Sebelumnya, kapal perang AS, Australia, dan Inggris melakukan manuver melewati wilayah itu dan membuat China marah. (*/Red)
Sumber: Intisari/Kompas.com/CNN