Dahsyatnya Waktu Sahur

Oleh: Sabrur R Soenardi*)

Waktu sahur adalah saat di mana Allah ber-tajalli ke langit dunia, yakni di sepertiga malam terakhir. Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa waktu sahur adalah seperenam malam terakhir. Entah mana pendapat yang benar, namun bahwa Allah ber-tajalli itu sudah pasti, dan Allah melakukannya semata-mata demi kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia. Hal ini sudah banyak dimaklumi, karena ada sebuah hadis dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasul SAW bersabda, “Allah SWT turun ke langit dunia setiap malam ketika datang sepertiga malam, dan berkata, ‘Akulah Raja, Akulah Raja, siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengijabahinya; siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan member apa yang dia minta; siapa yang beristighfar kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.’ Hal demikian itu berlaku sampai terbit fajar.” (Sahih Muslim, 1/522, hadis no 758).

Imam al-Kalabadzi Ra berkata, “Allah SWT ber-tajalli di sepertiga malam terakhir, tidak lain supaya, jika Dia menghendaki, ada doa dan istighfar yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, maka kemudian Dia mengabulkannya, mengijabahinya; ada permohonan atas sebuah hajat, maka kemudian Allah mencukupinya. Waktu sahur adalah waktu tambahan (suplemen) atas waktu-waktu yang sudah ada, yang juga sangat dicintai-Nya, yakni waktu salat yang lima (auqât al-shalawât al-khams). Waktu sahur adalah bonus yang luar biasa, karena ia merupakan tambahan (bonus) kekuatan secara fisik karena kebolehan makan dan minum di waktu tersebut, bonus rukhshah yang bahkan Allah cinta jika hal itu ditunaikan, bonus karunia kehidupan, bonus keintiman dengan Tuhan di waktu tersebut, bonus untuk menunjukkan ketaatan, serta bonus akan waktu-waktu mustajab untuk berdoa.” (lihat: al-Kalabadzi, Bahr al-Fawâ’id al-Musammâ bi Ma’ânî al-Akhbâr, hlm 179).

Yang luar biasa, waktu yang afdhal ini berulang-ulang setiap malam selama setahun sepanjang masa. Khusus pada bulan Ramadhan, waktu ini bertepatan dengan saat makan sahur, dan memakan makanan sahur pada waktu itu adalah keberkahan. Anas Ibn Malik Ra meriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Makanlah sahur kalian semua, karena dalam makan sahur itu ada keberkahan.” (Sahih Bukhari, 3/29, hadis no 1923). Selain itu, kata Nabi pula, “Sesungguhnya yang membedakan puasa kita dengan puasa kaum Ahli Kitab adalah makan sahur.” (Sunan al-Nasai, 4/146, hadis no 2166) Nabi SAW menyebut makan sahur sebagai makan pagi yang terberkahi. Al-Irban Ibn Sariyah mengisahkan, “Suatu kali Rasul SAW mengajakku makan sahur di bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Ayo ke sini menikmati sarapan pagi yang penuh berkah.’” (Sunan Abu Dawud, 2/303, hadis no 2344)

Disebutkan juga, makan sahur yang utama dengan mengakhirkannya (baca: mendekati waktu subuh). Abu Dzarr Ra meriwayatkan, Rasul SAW bersabda, “Umatku akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.” (Musnad Ahmad, 35/241, hadis no 21312) Sahl Ibn Sa’id Ra meriwayatkan, katanya, “Aku suatu kali sahur bersama keluargaku, kemudian setelah itu aku segera bercepat-cepat untuk mendapatkan sujud (salat) bersama Rasul SAW.” (Sahih Bukhari, 3/29, hadis no 1920). Zaid Ibn Tsabit Ra juga meiwayatkan, katanya, “Saya makan sahur bersama Nabi SAW, kemudian setelahnya beliau bergegas untuk shalat subuh.” Ditanyakan kepada Zaid: “Berapa jarak waktu antara azan subuh dan sahur?” Zaid menjawab, “Sekitar bacaan lima ayat Al-Quran.” (Sahih Bukhari, 3/29, hadis no 1921)

Waktu sahur di bulan Ramadhan peruntukkannya dibagi menjadi dua: untukistighfar dan untuk makan sahur.

Para ulama takwil berselisih pendapat tentang apa yang dimaksud istighfar pada waktu sahur ini. Ibnu Umar Ra, Mujahid Ra, dan al-Dlahhak Ra berpendapat bahwa yang dimaksud istighfar di waktu sahur adalah shalat, maksudnya shalat malam (tahajud). Ini mengandung maksud, bahwa ketika malam menjelang berakhir, mereka ber-istighfar kepada Allah setelah mereka melakukan shalat tahajud; mereka mengharap ridha Allah di waktu-waktu terakhir itu. Ini menunjukkan bahwa mereka terlebih dulu tidur, sedangkan ketika memasuki waktu sahur mereka melakukan shalat tahajud. Inilah yang kemudian membawa Ibnu Umar dan Mujahid pada pendapat bahwa yang dimaksud dengan istighfaradalah shalat (tahajud) di waktu sahur. (al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 26/349)

Sementara, ulama lain berpendapat, bahwa justru (dengan mengacu pada tafsiran di atas) menunjukkan bahwa mereka mengakhirkan istighfar atas dosa-dosa mereka di waktu sahur. Diriwayatkan dari Al-Hasan Ra, katanya, “Mereka memanjangkan shalatnya, terus tiada henti, sampai kemudian mereka beristighfar ketika waktu sahur.” (Tafsîr al-Thabarî, 22/412).

Pengertian istighfar sendiri, dalam konteks ini, kemudian dibagi menjadi beberapa macam. Pertama, meminta maghfirah (ampunan dari Allah) dengan cara zikir, ini tersirat dari doa-doa mereka: Rabbanâ ighfir lanâ (Ya Tuhan kami, ampuni dosa-dosa kami).

BI Banten

Kedua, meminta ampunan dengan perbuatan (tindakan), atau bahwa ketika datang waktu sahur, mereka melakukan sesuatu sembari berharap akan ampunan Allah, yakni dengan cara salat atau ibadah-ibadah lainnya.

Ketiga, ini yang agak aneh, bahwa istighfar tak ubahnya “memanen tanaman” ketika datang saat panen, setelah sebelumnya mereka menanam kekhusyukan dan keintiman tahajud atau ibadah-ibadah lain. Seakan-akan dikatakan bahwa di waktu sahur mereka berhak mendapatkan maghfirah (ampunan Allah), dan memang tergapailah maghfirah itu di waktu tersebut. Apa ini mengandung arti bahwa Allah mengakhirkan curahan maghfirah-Nya di waktu sahur? Para ulama yang mengacu pendapat ini berargumen: Waktu sahur adalah waktu di mana malaikat malam dan malaikat siang berkumpul, bertemu, dan itu adalah waktu yang disaksikan oleh para malaikat, waktu ketika Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku sudah mengampuni hamba-Ku.

Dari ketiga pendapat tentang pengertian istighfar di atas, yang paling tepat dan pas adalah yang pertama, sedangkan yang termasyhur adalah yang ketiga. (Lihat: Al-Razi, Mafâtih al-Ghaib aw al-Tafsîr al-Kabîr, 28/168).

Terlepas dari itu semua, jika kita mengacu ke Al-Qur’an yang mulia, akan kita dapati bahwa sifat atau ciri orang-orang yang takwa tampak dari shalat mereka,istighfar mereka, serta munajat mereka kepada Allah di waktu sahur ini. Ada dua surat yang secara khusus menyinggung masalah ini.

Pertama adalah QS Ali Imran: 15-17. Di sini Allah menyebutkan lima sifat dari sekian sifat orang-orang yang takwa, dan menutupnya dengan sifat ini, yakni: mereka adalah orang-orang yang meminta ampun kepada Allah di waktu sahur. Allah berfirman, “Katakan, Muhammad: Maukah kalian aku kabari sesuatu yang lebih baik dari itu semua? Bagi orang-orang yang bertakwa, ada pahala di sisi Tuhan mereka, yakni surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Mereka juga mendapatkan pasangan-pasangan yang suci serta ridha dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui atas hamba-hamba-Nya.Yakni orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami, sesungguhnya kami beriman, maka ampunilah dosa kami, dan jagalah kami dari siska neraka. Yakni orang-orang yang sabar, yang jujur (benar), yang tunduk, yang menafkahkan hartanya, dan yang meminta ampun di waktu sahur.

Kedua pada QS al-Dzariyat: 15-20, di mana Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa tinggal di kebun-kebun dan mata air-mata air. Mereka mengambil apa saja yang Tuhan berikan kepada mereka. Sesungguhnya dulu ketika mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat bajik. Di malam hari, mereka sedikit sekali tidurnya. Dan di waktu sahur mereka meminta ampun. Dalam harta mereka ada hak bagi peminta-minta dan orang yang kurang beruntung.

Sebagai khatimah dalam kajian kita kali ini, ada tiga kesimpulan penting yang bisa kita ambil di sini. Pertama, yang tersurat baik dalam QS Ali Imran: 17 maupun al-Dzariyat: 19 tentang “mereka yang beristighfar di waktu sahur”, itu adalah ciri, sifat, atau karakter orang-orang yang bertakwa. Menariknya adalah, bahwa kita semua yang menjalankan ibadah puasa, di mana di dalamnya ada tahapan makan sahur yang sangat disunnahkan, dianjurkan, melakukannya dalam rangka meraih derajat muttaqin (QS al-Baqarah: 183). Jikalau di bulan-bulan lain kita agak kesulitan untuk meraih waktu yang mulia ini (waktu sahur), maka di bulan Ramadhan kita, dengan adanya makan kegiatan sahur, dimudahkan, dikondisikan, untuk meraihnya.

Maka, kedua, memang seyogianya kegiatan shalat malam, qiyamul lail, taraweh, atau tahajud, dilaksanakan di sepertiga malam terakhir. Nabi SAW sendiri meneladankan demikian, shalat witir (taraweh) di sepertiga malam terakhir dan munfarid. Adalah khalifah Umar Ibn al-Khaththab yang mengawali tradisi shalat taraweh (witir) sebakda isyak dan secara berjamaah.

Ketiga, jika tidak memungkinkan shalat qiyamul lail (taraweh, witir) di sepertiga malam terakhir, karena sudah telanjur melaksanakannya sebakda isyak (di sepertiga malam pertama), hal prinsip yang perlu diperhatikan adalah, seyogianya kegiatan di waktu sahur atau menjelang terbit fajar itu bukan hanya berkutat pada persoalan makan minum, tetapi bisa disertai dengan kegiatanubudiah lain yakni (minimal) berdzikir dengan mengucapkan istighfar. Tujuannya adalah agar kita tidak kehilangan momentum untuk mendapatkan keberkahan dan rakhmat Allah di waktu yang sangat dahsyat itu, waktu di mana para malaikat siang dan malaikat malam bertemu, waktu yang disaksikan para malaikat, waktu di mana Allah berfirman, “Aku telah mengampuni hamba-Ku.Wallahu a’lam.

*) Penulis adalah pegawai DP3AKBPMD Gunungkidul, guru ngaji di PP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul, dan eksponen PII wilayah Yogyakarta Besar.

KS Anti Korupsi
WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien